PTUN Semarang Tolak Gugatan Polisi yang Dipecat karena Gay

TT mengaku belum menyerah, tetap memperjuangkan keadilan dengan harapan bisa kembali menjadi anggota kepolisian.
Kusumasari Ayuningtyas
2019.05.23
Solo
190523_ID_Gay_1000.jpg Aktivis hak-hak kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) melakukan unjuk rasa di Jakarta, 21 Mei 2011.
AP

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis, 23 Mei 2019, menolak gugatan yang diajukan mantan polisi berinisial TT terhadap Kapolda Jawa Tengah karena dipecat setelah diketahui sebagai seorang homoseksual.

Ketua Majelis Hakim, Panca Yunior Utomo, dalam putusan menyatakan bahwa gugatan TT melalui tim kuasa hukumnya prematur sehingga tidak dapat diterima.

"Menyatakan gugatan penggugat tidak diterima dan menghukum penggugat membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp348 ribu," kata Panca saat membacakan amar putusannya.

Hakim menjelaskan bahwa gugatan TT ditolak karena dianggap belum melewati upaya administratif setelah pemecatan yang ditandai dengan turunnya Surat Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) bertanda tangan Kapolda Jateng yang saat itu dijabat Irjen. Pol. Condro Kirono.

“Harus ada upaya administratif terlebih dahulu. Jika masih merasa tidak puas maka yang bersangkutan baru bisa mengajukan gugatan,” tambah Panca.

Majelis hakim juga memberikan kesempatan kepada penggugat maupun tergugat untuk mengajukan banding apabila keberatan dengan putusan dengan batasan waktu 14 hari sejak putusan dibacakan.

Belum Menyerah

Ma’ruf Bajammal dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) selaku kuasa hukum TT menyesalkan penolakan majelis hakim yang menurutnya membuat posisi TT menjadi semakin tidak pasti.

“Saya rasa ini belum bisa disebut penolakan karena kita bahkan belum bisa pastikan ini sudah ditolak atau diterima karena perkaranya saja belum diperiksa,” ujar Ma’ruf kepada BeritaBenar.

Menurutnya, hakim tidak bisa melanjutkan perkara karena menilai belum ada keberatan yang diajukan secara internal ke Polda Jawa Tengah setelah obyek sengketa berupa surat pemecatan diterbitkan pada 27 Desember 2018.

“Permasalahannya, memang di institusi kepolisian itu tidak ada mekanisme atau upaya yang dapat dilakukan oleh anggota setelah terbit yang namanya surat keputusan PTDH atau surat keputusan pemberhentiannya,” ujar Ma’ruf.

Dia bersama timnya mengaku tidak sepakat dengan keputusan majelis hakim dan masih memikirkan langkah yang akan diambil nanti karena menurutnya putusan itu terlalu dipaksakan.

Upaya banding secara internal pernah dilakukan TT, tapi hal tersebut dilakukan di masa-masa sidang oleh institusinya sebelum dimunculkan PTDH.

“Di peraturannya tidak diatur kewenangan upaya administratif setelah terbitnya PTDH, kenapa hakim seolah-olah memaksakan untuk menolak gugatan? Jelas kami tidak sepakat dengan putusan ini,” tegasnya.

Ma’ruf juga mengatakan, LBHM telah meminta pendampingan ke Komnas HAM yang juga telah merespons dan menyatakan siap untuk menjadi saksi ahli dalam persidangan jika diperlukan.

Hanya saja, saat BeritaBenar mencoba mengonfirmasi ke pihak Komnas HAM melalui sambungan telepon tidak diangkat.

Tidak menyerah

Sementara itu, TT mengaku masih belum menyerah dan akan tetap memperjuangkan keadilan meskipun dia belum memastikan langkah seperti apa yang bisa ditempuh.

“Apakah memang tidak ada mekanisme yang adil untuk orang-orang dengan orientasi seksual seperti saya,” ujar TT yang masih berharap bisa kembali bertugas di kepolisian.

“Ketika saya mengusahakan upaya persidangan kenapa malah saya dikembalikan lagi ke institusi saya padahal saya sudah bukan lagi anggota Polri.”

TT merupakan anggota Kepolisian Polda Jateng yang sebelum dipecat bertugas sebagai Banum Subditwisata Ditpamovit Polda Jateng dan berpangkat Brigadir Polisi.

TT tidak pernah membuka jati dirinya sebagai seorang gay hingga dia tiba-tiba ditangkap oleh kepolisian pada 14 Februari 2017 ketika dia sedang bersama pasangannya.

Alasan penangkapan saat itu adalah pemerasan, yang kemudian tidak terbukti.

Meski demikian, TT tetap dipaksa menjalani pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik profesi sebanyak tiga kali pada bulan itu.

Pelanggaran yang dituduhkan adalah melakukan hubungan seks menyimpang. Setelah proses internal kepolisian, surat pemecatan TT dikeluarkan.

Mengenai pemecatan itu Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Brigjen Pol. Dedi Prasetyo dalam pernyataan tertulisnya mengatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Kepolisian anggota Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

“Pada norma agama dan kesopanan jelas bahwa LGBT masih menjadi hal yang tabu oleh agama dan tidak diakui secara yuridis oleh negara sehingga tersirat bahwa anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki kelainan atau disorientasi seksual,” terangnya.

Ketua Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, seperti dikutip di Jakarta Post, mengatakan bahwa keputusan kepolisian memberhentikan TT justru melanggar UU Kepolisian, khususnya pasal yang mengatakan bahwa anggota kepolisian harus menghormati hak asasi manusia.

Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa manusia memiliki hak dasar untuk tidak diperlakukan berbeda karena perbedaan ras, etnis, ideologi, budaya, agama, kepercayaam, status sosial dan orientasi seksual.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.