Proyek Kereta Api Cepat 'Penuh Malpraktik Administrasi'
2016.02.26
Jakarta
Kendati ground breaking telah dilakukan Presiden Joko Widodo pada 21 Januari lalu, proyek pembangunan kereta cepat yang menghubungkan Jakarta dan Bandung belum bisa dimulai karena tidak ada izin konstruksi.
Akibatnya, proyek yang digadang-gadang menjadi investasi percontohan ini terhenti. Di lokasi pembangunan yang terletak di perkebunan Panglejar, Walini, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, aktivitas pembangunan tidak terlihat.
Tidak ada seorang pun pekerja tampak di lokasi. Yang ada hanya beberapa truk besar berjejer dan terdapat garis pembatas bertuliskan WIKA di pinggiran lahan milik PTPN VIII itu.
Seorang anggota Komisi V DPR RI, Nizar Zahro dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Kamis, menyatakan proyek kereta cepat “penuh malpraktik administrasi” karena banyak data yang tidak sesuai dan peraturan tumpang tindih.
Misalnya, kata dia, Peraturan Presiden Nomor 107 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta dan Bandung, dimana disebutkan proyek ini dilaksanakan business to business tanpa jaminan pemerintah.
Namun, Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang proyek strategis terdapat poin penggunaan jaminan pemerintah, dan proyek kereta cepat masuk di antara proyek strategis tersebut.
“Ini harus konsisten, perlu ada penjelasan dan kepastian kenapa kereta cepat bisa masuk dalam Perpres Nomor 3 tahun 2016 dan kenapa disebutkan bisa memakai jaminan pemerintah,” ujar politisi fraksi partai Gerindra itu.
Selain itu, tambahnya, banyak data yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satunya dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) yang diselesaikan dalam waktu singkat.
“Dokumen Amdal diselesaikan dalam waktu sangat singkat, padahal di Karawang ada lahan Perhutani. Kalau ditabrak semua bagaimana, harus dipikirkan pembebasan lahan,” tegasnya.
Umar Arsal, anggota DPR dari Partai Demokrat, melihat pembangunan kereta cepat tersebut belum perlu, karena banyak alternatif transportasi yang menghubungkan Jakarta – Bandung seperti bus dan layanan travel minibus.
“Lagipula sebaiknya presiden lebih fokus mengerjakan tol laut dan pengembangan infrastruktur di luar Pulau Jawa,” tegasnya.
Sebaliknya, politisi Partai Golkar, Roem Kono mengatakan proyek kereta cepat harus didukung karena merupakan percontohan transportasi teknologi dan kebanggaan anak bangsa, asalkan dikerjakan sesuai peraturan yang berlaku.
“Tetapi, tak menyalahi prinsip yang diinginkan presiden yaitu tidak dibiayai negara. Kita harus pegang teguh itu,” tuturnya.
Izin belum dikeluarkan
Dalam RDP itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyebutkan sejumlah revisi belum dilengkapi PT. Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sehingga izin pembangunan sampai kini tidak dikeluarkan Kementerian Perhubungan. Salah satunya, mengenai revisi uji kelayakan China yang perlu dievaluasi.
Dalam uji kelayakan China disebutkan jarak 150 km dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Gedebage dengan kecepatan 350 km/jam. Tapi dalam izin trase yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan disebutkan jarak kereta cepat Jakarta-Bandung 142,3 km melewati Halim dan berakhir di Tegal Luar Bandung, tidak melalui Gambir.
“Nilai investasi masih tertera US$5,5 miliar. Ini mungkin nilainya akan berubah sebab jaraknya akan berkurang, kita mau lihat lebih lanjut perhitungannya bagaimana,” ujarnya.
Jonan menambahkan, jumlah prediksi penumpang yang diajukan dalam uji kelayakan juga terlalu tinggi, yaitu 78.000 orang saat operasional tahun 2019. Padahal angka yang dinilai wajar sekitar 51.000 penumpang.
“Kami mengatur supaya perizinan perlu dievaluasi teknis dan dinilai tim independen (konsultan publik). Datanya lengkap sehingga bisa dipahami bersama resikonya apa, struktur pembangunan seperti apa,” tambahnya.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, Hermanto Dwiatmoko menambahkan pihaknya masih mendiskusikan perihal waktu konsesi. Selain itu, beberapa dokumen dan rancang bangun yang masih berbahasa Mandarin sehingga menyulitkan untuk membacanya.
“Semua sedang dalam proses, kemarin tanggal 22 Februari, pihak KCIC datang untuk konsultasi dan kami kembalikan lagi, masih ada revisi sehingga belum ada dokumen baru,” ujarnya.
Manajemen KCIC yang dikonfirmasi BeritaBenar, enggan berkomentar. Tapi, sumber di perusahaan itu menyatakan, pihaknya belum bisa memulai pembangunan karena izin belum dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan.
Infrastruktur kota harus siap
Pengamat Transportasi dan Analis Riset dan Pembangunan dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan proyek kereta api tidak akan berhasil apabila infrastruktur dalam kota belum siap. Menurutnya, akan sia-sia perjalanan singkat Jakarta-Bandung jika angkutan kota masih macet.
“Ini sepertinya sedikit memaksa karena banyak izin belum selesai. Amdal selesai dalam waktu singkat. Seharusnya tidak begitu karena ini proyek besar yang butuh banyak ahli dan enginering disain yang sempurna,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Dia pesimistis proyek ini bakal rampung tepat waktu karena modal yang dibutuhkan sangat besar. BUMN harus menyetorkan dana sarana dan prasarana senilai Rp1,25 triliun.
“Dana ini tidak kecil. Meskipun tidak sampai membuat bangkrut namun proyek ini bisa mengganggu rencana bisnis BUMN,” kata Djoko.
Karena itu, ia menyarankan proyek ini ditunda karena tak mendesak dan menunggu kepastian perizinan sesuai peraturan.
“Presiden tak tahu semuanya. Dia ingin cepat namun kurang hati-hati. Sebaiknya diusulkan ada proyek penggantinya. Mungkin dengan transportasi massal jarak jauh seperti Jakarta – Surabaya atau luar Jawa untuk memecah kepadatan transportasi udara,” katanya.