Indonesia lanjutkan pembayaran proyek jet tempur KF-21 dengan Korsel
2022.11.07
Jakarta
Indonesia telah melanjutkan kembali pembayaran proyek pembangunan jet tempur dengan Korea Selatan yang sebelumnya sempat ditangguhkan, ungkap seorang pejabat Kementerian Luar Negeri, Senin.
Kedua negara pada 2016 sepakat bahwa Indonesia akan membayar 20 persen dari biaya pengembangan jet tempur KF-21, tetapi Jakarta menunggak pembayaran sejak 2019 dan berusaha menegosiasi ulang perjanjian.
“Betul, Indonesia telah melanjutkan pembayaran dimaksud,” ujar Staf KBRI Seoul Amelia Senjaya kepada BenarNews pada Senin (7/11).
Kementerian Pertahanan Indonesia telah melakukan pembayaran sebesar 9,4 miliar won (US$6,6 juta) kepada pemerintah Korea Selatan (Korsel) untuk proyek pengembangan jet KF-21, menurut Kantor Berita Korea, Yonhap News Agency, pada Rabu lalu (2/11)
“Ya, jumlahnya sebesar itu,” kata Amelia mengonfirmasi.
Diluncurkan pada tahun 2015, ungkap Yonhap, proyek senilai 8,8 triliun won (Rp.99,4 triliun) ini bertujuan untuk mengembangkan pesawat tempur generasi ke-4,5 untuk menggantikan armada jet F-4 dan F-5 Korea Selatan yang sudah tua.
Indonesia telah sepakat untuk menanggung 20 persen dari total biaya pembangunan sebagai negara mitra. Terlepas dari kesepakatan itu, Jakarta telah menghentikan pembayaran sejak Januari 2019 dan diperkirakan memiliki pembayaran yang terlambat sekitar 800 miliar won, kata Yonhap.
Pada bulan Juli, KF-21 berhasil melakukan uji terbang pertamanya.
Spesifikasi KF-21
Menurut laporan Antara, kerja sama pengembangan pesawat tempur KF-21 dimulai pada tahun 2009 ketika Indonesia dan Korsel menyatakan minat untuk bersama-sama mengembangkan sistem pertahanan.
Pada tahun 2011, Kementerian Pertahanan Indonesia dan Badan Program Akuisisi Pertahanan Korsel menandatangani nota kesepahaman tentang pengembangan jet tempur KFX/IFX yang kemudian berganti nama menjadi KF-21 seperti yang dikenal saat ini.
Fitur visual pesawat tempur KF-21 meniru Raptor F-22 AS dan diperkirakan memiliki panjang 16,7 meter dengan lebar sayap mencapai 10,6 meter, demikian dilaporkan Popular Mechanics seperti dikutip Yonhap. Ini lebih lebar dari pesawat tempur joint strike F-35A namun lebih kompak dibandingkan F-22 Raptor, keduanya dipelopori oleh militer Amerika Serikat.
Berat minimum KF-21 adalah 7.700 kilogram saat meluncur dan memiliki berat maksimum hingga 25.000 kilogram dalam operasi.
Pesawat ini dilengkapi dengan rudal udara ke udara Meteor, sebuah rudal aktif yang dipandu radar yang dirancang untuk memberikan kemampuan multi-tembakan terhadap target manuver jarak jauh, dan juga dipersenjatai dengan meriam Gatling M61 20-milimeter, sebuah senapan panjang senjata api berlaras dengan kemampuan menembak cepat.
Jet tempur KF-21 yang dikembangkan Korsel ditenagai oleh General Electric F-414, jenis mesin yang sama dengan pesawat tempur F/A-18E/F Super Hornet milik perusahaan Boeing.
Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, mengatakan keputusan Indonesia melanjutkan pembiayaan merupakan upaya melanjutkan kapabilitas alat utama sistem pertahanan (alutsista) kita.
“Walaupun dengan keterbatasan anggaran, ternyata Indonesia masih mencoba bangkit dari ketertinggalan dalam kekuatan angkatan udara,” ujar Beni kepada BenarNews.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Kementerian Pertahanan sebesar Rp131,9 triliun.
Anggaran tersebut dipangkas Rp1,5 triliun (1,12%) dibanding outlook 2022 yang nilainya Rp133,4 triliun.
Anggaran terbesar Kementerian Pertahanan pada 2023 adalah untuk dukungan manajemen dan modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista).
Beni menambahkan pilihan Indonesia melakukan kerja sama jet tempur dengan Korsel karena negara itu dianggap memiliki keinginan bekerja sama yang tinggi, selain kemampuan teknologinya.
Indonesia, kata dia, juga tidak ingin bergantung kepada satu negara dalam mengembangkan teknologi pertahanan.
“Iya, itu hal penting dalam konteks membeli alutsista dari lebih satu negara,” ucap dia.
Pengamat pertahanan dari Universitas Al Azhar, Ramdhan Muhaimin, mengatakan hal senada terkait pilihan Indonesia bekerja sama dengan Korsel.
“Bahkan beberapa manufaktur militer mereka (Korsel) masuk dalam 100 industri militer terbesar dunia,” ujar Ramdhan kepada BenarNews.
Khairul Fahmi, pengamat militer sekaligus co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengatakan bahwa Indonesia menghadapi tantangan dan ancaman yang tidak kecil baik dari dalam maupun dari luar negeri terhadap kedaulatannya.
Namun, kata Fahmi, komitmen untuk terus memodernisasi alutsista, termasuk di antaranya melalui proyek kerja sama pengembangan KF-21 memang tidak mudah dilakukan di tengah keterbatasan anggaran dan upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi.
“Memang cukup sulit dan dilematik juga bagi pemerintah untuk menyikapi. Pasalnya, dibutuhkan ruang fiskal yang memadai untuk menjawab harapan masyarakat agar TNI dapat segera menggunakan alutsista muda, layak dan mumpuni,” kata Fahmi kepada BenarNews.
Berlanjutnya kerja sama dengan Korea ini membawa optimisme bahwa postur pertahanan Indonesia dapat menjadi lebih baik, ujar dia.
“Belum lagi jika dikaitkan dengan komitmen kita untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri dan mencapai kemandirian alutsista,” ujar dia, menambahkan bahwa ini juga akan meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis.
Pada Februari, Indonesia menandatangani kesepakatan untuk mengakuisisi enam dari 42 jet tempur Rafale Prancis yang berencana dibeli oleh Jakarta.
Sementara itu, pada bulan yang sama, Departemen Luar Negeri AS menyetujui kemungkinan penjualan pesawat F-15ID dan peralatannya ke Indonesia dalam kesepakatan potensial senilai US$13,9 miliar. Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan AS (DSCA) mengatakan Indonesia telah meminta untuk membeli 36 pesawat tersebut.
Indonesia juga menandatangani perjanjian awal untuk produksi bersama dan perakitan kapal selam Scorpene Prancis.
Dokumen Rancangan Peraturan Presiden yang bocor tahun lalu menunjukkan Kementerian Pertahan RI berencana mengajukan pinjaman hingga US$124,9 miliar atau setara Rp1.760 triliun, yang lebih dari separuhnya bakal dialokasikan untuk pembelian alat pertahanan untuk tahun 2020-2024, sisanya adalah anggaran pembayaran bunga dan pemeliharaan.