Program Deradikalisasi Pemerintah Indonesia Dinilai Lemah
2016.01.26
Program deradikalisasi militan yang dilakukan pemerintah Indonesia masih lemah dengan tidak adanya kesepakatan politik mengenai bentuk ekstremisme seperti apa yang dinilai berbahaya. Hal ini diungkapkan oleh pendiri sekaligus Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC), Sidney Jones, Selasa (26/1).
Sidney mengatakan program deradikalisasi di Indonesia tidak tepat sasaran dan tidak didasarkan pada studi menyeluruh tentang dimana dan bagaimana radikalisasi terjadi.
“Kunci dalam mengembangkan program-program tersebut agar lebih efektif adalah lewat penelitian yang mendalam, yang pada dasarnya tentang bagaimana dan dimana tiap-tiap individu kenal paham radikalisme,” ujar Sidney dalam Konferensi Internasional Deradikalisasi dan Penanggulangan Ekstremisme 2016 di Kuala Lumpur.
Para menteri, pejabat senior, dan pakar penanggulangan terorisme dari 19 negara berkumpul di Ibukota Malaysia tersebut untuk membahas dan mengembangkan strategi-strategi penanggulangan para militan ISIS dan kelompok radikal lainnya.
Waspada Penuh
Sidney mengatakan, meskipun penelitian tidak sepenuhnya menjamin kesuksesan dalam upaya deradikalisasi, “program-program yang tidak berlandaskan data konkret dijamin akan gagal”. Ia juga menambahkan bahwa wawancara dan analisis data biografi adalah kunci.
“Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan institusi-institusi pemerintah lainnya memiliki akses ke data-data yang lebih bersifat rahasia. Informasi tersebut harus menjadi landasan dalam mengembangkan strategi-strategi pencegahan, terutama di era ISIS,” ujarnya.
BNPT didirikan pada tahun 2010 usai insiden bom di dua hotel besar di Jakarta dan terungkapnya rencana untuk menyerang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang semuanya terjadi pada tahun 2009.
Indonesia juga diguncang dua kali peristiwa bom di Bali pada tahun 2002 dan 2005, yang menyasar kawasan-kawasan turis di daerah selatan pulau tersebut. Dalam dua kejadian tersebut, 230 orang tewas sementara ratusan orang lainnya terluka. Kedua serangan tersebut dilancarkan oleh Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al-Qaida.
Sejak saat itu, pasukan elit antiterorisme Densus 88 memusatkan pada penanggulangan ancaman teroris. Namun dalam perjalanannya, Densus juga kerap dituduh melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga sipil yang tidak bersalah.
Sementara itu, BNPT terus bekerja sama dengan para mantan anggota kelompok radikal dan ulama-ulama besar dari Timur Tengah untuk mengisi ceramah di sejumlah penjara dan sekolah.
Indonesia berada pada kewaspadaan tingkat tinggi usai serangan bom dan aksi tembak-menembak di kawasan Jalan Thamrin Jakarta dua minggu lalu, dimana empat orang sipil dan empat pelaku teror tewas. ISIS mengklaim berada di balik serangan tersebut, yang merupakan serangan pertama kelompok militan itu di kawasan Asia Tenggara.
Sedikitnya dua orang pelaku merupakan mantan terpidana yang sudah menjalani masa hukumannya dan dibebaskan dari penjara.
Masalah Sesungguhnya
Sidney mengatakan munculnya ISIS telah mendorong pemerintah Indonesia untuk fokus terhadap program-program deradikalisasi melalui kampanye di media sosial. Namun, dia mengakui hanya segelintir ide baru yang telah dilakukan.
Dia menekankan bahwa penelitian berkelanjutan harus dilakukan terhadap para militan ISIS yang tertangkap dan dideportasi ke Indonesia saat akan menuju ke Suriah.
“Kelompok ini sekarang total hampir 200 orang, dimana lebih dari separuhnya adalah perempuan dan anak-anak berusia di bawah 15 tahun,” ungkapnya.
Sidney menambahkan lebih dari 400 WNI saat ini telah bergabung dengan ISIS, dimana 45 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
“Tidak seperti perkiraan sebelumnya yang menyebutkan ada 600 hingga 800 pejuang Indonesia yang bergabung, perkiraan yang lebih tepat adalah sekitar 250 hingga 300 orang. Tetap saja ini menjadi masalah besar bagi Indonesia, seandainya dan kapan mereka kembali, meski sepertinya mereka tidak punya keinginan untuk melakukannya,” papar Sidney.