Pro-Kontra Pengampunan Pajak

Arie Firdaus
2016.05.04
Jakarta
tendangkoruptor_1000.jpg Aktivis anti-korupsi menendang bola ke arah poster Gayus Tambunan, pegawai pajak yang melakukan korupsi, di kantor KPK di Jakarta, 9 Desember 2010.
AFP

Keinginan pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara dengan menerapkan aturan pengampunan pajak (tax amnesty) masih berliku. Nada-nada negatif tetap bermunculan dari beberapa pihak.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menentang Rancang Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak yang kini sedang dibahas di DPR RI karena "jurus" itu tak akan efektif menambah pendapatan pemerintah.

"Jumlah uang tebusannya kecil, itu salah satunya. Tidak berdampak besar pada peningkatan pendapatan negara," kata Manajer Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi kepada BeritaBenar, Rabu, 4 Mei 2016.

Daripada memaksakan RUU Pengampunan Pajak, Apung mengharapkan pemerintah seharusnya bisa memberdayakan piutang negara yang tersebar di Badan Usaha Milik Negara.

"Jumlahnya mencapai Rp562 triliun. Berdayakan itu saja," ujarnya, "daripada memaksakan tax amnesty. Lagipula, asumsi penerimaannya di Anggaran Pendapatan Belanja Negara hanya Rp 60 triliun, sedangkan dana di luar negeri sekitar Rp 8 triliun."

Tak jauh berbeda penilaian guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda. Menurutnya, dengan tebusan kecil seperti termaktub dalam RUU Pengampunan Pajak yang digagas pemerintah, ia pesimis karena penerimaan negara lewat kebijakan ini tak akan banyak.

"Terlalu murah tebusannya," ujarnya.

Ia juga menyoroti dampak psikologis yang bakal muncul dari kebijakan itu.

"Jangan sampai nanti pengampunan pajak menjadi seperti menyakitkan bagi para wajib pajak yang selama ini sudah patuh," kata Candra lagi.

Tarif tebusan terlalu rendah

Dalam Pasal 3 RUU Pengampunan Pajak, tarif tebusan peserta yang mengumumkan asetnya di luar negeri adalah sebesar dua persen jika dilaporkan dalam kurun tiga bulan pertama sejak aturan diberlakukan.

Nominal itu meningkat menjadi empat persen jika dilaporkan pada bulan keempat hingga keenam. Adapun jika dilaporkan setelah bulan keenam hingga penghujung 2016, uang tebusan naik menjadi enam persen.

Soal nominal tarif tebusan, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo berpendapat pemerintah seharusnya berani mematok tarif yang lebih tinggi.

Untuk pemohon yang mengumumkan aset dan memindahkannya ke dalam negeri, Yustinus menilai nominal 5 persen sebagai ganjaran yang pas. Sedangkan pemohon yang mengumumkan asetnya namun tak memindahkannya ke dalam negeri, angka 10 persen dinilai pas.

"Sekarang terlalu rendah. Kalau rendah begini, seperti menunjukkan pemerintah tunduk terhadap para pemilik modal," ujar Yustinus saat dihubungi BeritaBenar.

Perihal tarif tebusan yang termaktub di Pasal 3 RUU Pengampunan Pajak itu masih menjadi perdebatan sejauh ini. Hal ini jugalah, menurut anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat I Gusti Agung Rai, yang membuat pembahasan aturan tersebut mandek di parlemen.

Fraksi PDI-P, tambah Agung Rai, menginginkan tarif sebesar 6 persen, 9 persen, dan 12 persen untuk pemohon tanpa repatriasi alias tetap menempatkan asetnya di luar negeri. Sedangkan repatriasi dipatok masing-masing 5 persen, 6 persen, dan 7 persen.

Tampaknya, target akhir Mei untuk penyelesaian aturan yang berisi 27 pasal itu sepertinya sulit terwujud. Apalagi, DPR baru kembali bersidang usai reses pada 17 Mei nanti.

Pemerintah memang menargetkan aturan itu selesai pertengahan 2016 sehingga bisa menjadi acuan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.

Meski begitu, Agung Rai tetap menyimpan keyakinan. "Kami tetap percaya ini bisa selesai dibahas," ujarnya, tanpa mematok target.

Berpotensi kembali gagal

Andaikata jadi terlaksana, aturan Pengampunan Pajak itu bakal menjadi kebijakan ketiga sepanjang sejarah Indonesia. Kebijakan serupa pernah dibuat pada 1965 dan 1984.

Namun sayang, dua kebijakan sebelumnya dinilai gagal. Ketika itu, tak banyak wajib pajak yang mengikuti program tersebut.

Bayang-bayang kegagalan masa lalu itu dinilai Yustinus bisa saja terulang. Apalagi jika pembahasan di parlemen berlarut-larut dan tak kunjung disahkan sehingga bertabrakan dengan pelaksanaan aturan soal pertukaran data secara otomatis terkait pajak antarnegara yang diberlakukan tahun 2017.

Aturan pertukaran informasi itu memungkinkan pemerintah mengejar dana warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.

"Jadi, bisa tak relevan lagi itu (pengampunan pajak)," pungkas Yustinus.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.