Analis: Prabowo kemungkinan hadapi tantangan oposisi di DPR

Kursi koalisi partai pendukung Anies dan Ganjar jika bergabung akan lebih besar dibanding koalisi Prabowo.
Pizaro Gozali Idrus dan Nazarudin Latif
2024.02.16
Analis: Prabowo kemungkinan hadapi tantangan oposisi di DPR Menteri Pertahanan RI sekaligus calon presiden, Prabowo Subianto, menyapa para pendukungnya sebelum berziarah ke makam Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi di Masjid Al Riyadh, Jakarta, 16 Februari 2024.
Ahmad Ibrahim/AP

Presiden Indonesia terpilih versi hitung cepat, Prabowo Subianto, akan mendapatkan tantangan kuat di DPR dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya karena parlemen tampaknya akan dikendalikan oleh partai oposisi, demikian sejumlah analis.

Partai-partai politik pendukung Prabowo, yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, menguasai 42% dari 580 kursi di DPR, sementara parpol yang tidak mendukungnya meraih 46% kursi legislatif nasional, menurut hasil hitung cepat pemilu pada Rabu (16/2).

Menurut pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menyokong Ganjar Pranowo, dan tiga partai penyokong Anies Baswedan yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) solid menjadi oposisi, maka koalisi partai ini dapat menghambat program-program pemerintah, salah satunya proyek Ibu Kota Nusantara. 

“Karena mereka powerful dari sisi jumlah dan dapat mengontrol pemerintah. Prabowo dalam risiko jika tidak berhasil mengamankan parlemen karena oposisi jumlahnya lebih besar ketimbang partai pendukungnya,” kata Devi kepada BenarNews.

Prabowo – yang didukung Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan empat partai yang tidak lolos ke DPR, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora Indonesia, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Garuda – harus menggandeng pesaingnya untuk melancarkan kebijakannya.

Mantan menantu presiden kedua Indonesia, Suharto, yang memiliki catatan pelanggaran hak asasi manusia tersebut, telah mendeklarasikan diri sebagai pemenang dalam kontestasi pemilihan presiden menggantikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo setelah penghıtungan cepat dari sejumlah lembaga survei mencatat perolehan suaranya sekitar 58%.

Rivalnya, mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, masing-masing memperoleh 25% dan 17% suara, menurut penghitungan tidak resmi.

Dari partai-partai yang mendukung Prabowo, partai yang dipimpinnya, Gerindra, memperoleh sekitar 13%, Golkar sekitar 15%, dan PAN dan Demokrat masing-masing sekitar 7% – dengan total 42%. Sekitar 11% suara diberikan kepada partai-partai yang diperkirakan gagal memenuhi ambang batas parlemen masing-masing sebesar 4%.

Prabowo berjanji untuk melanjutkan kebijakan ekonomi Jokowi dan melaksanakan program-programnya, seperti proyek pemindahan ibu kota senilai Rp501 triliun dan hilirisasi industri – kebijakan yang melarang ekspor bahan mentah sebelum mengolahnya menjadi produk jadi.

Devi mengatakan partai oposisi juga bisa menggagalkan rancangan undang-undang kontroversial yang memungkinkan presiden menunjuk gubernur Derah Khusus Jakarta (DKJ) secara langsung, alih-alih mengadakan pemilihan kepala daerah.

PDIP, yang sekarang ini memerintah, menjadi partai oposisi terbesar dengan 17% suara jika koalisi partai-partai oposisi terbentuk.

Calon presiden Megawati Sukarnoputri (kiri) saat itu dan pasangannya Prabowo Subianto dalam  kampanye menjelang Pemilu 2009 di Jakarta, 30 Juni 2009. [Bay Ismoyo/AFP]
Calon presiden Megawati Sukarnoputri (kiri) saat itu dan pasangannya Prabowo Subianto dalam kampanye menjelang Pemilu 2009 di Jakarta, 30 Juni 2009. [Bay Ismoyo/AFP]

Ketua PDIP, Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo pernah berpasangan sebagai calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2009. Namun kali ini, Megawati kemungkinan besar tidak akan bergabung dengan koalisi Prabowo mengingat hubungannya yang renggang dengan Jokowi, kata Arga Pribadi Imawan, analis politik dari Universitas Gadjah Mada.

Jokowi adalah anggota PDIP, partai utama yang mengantarkan kemenangannya sebagai presiden dalam Pemilu 2014 dan 2019 dengan mengalahkan Prabowo

Jokowi yang hingga saat ini masih tercatat sebagai kader PDIP, tidak pernah secara resmi mendukung kandidat mana pun dalam pemilihan presiden, namun pengamat dan masyarakat luas percaya bahwa dia menentang partainya sendiri, dan mendukung Prabowo dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung dari Jokowi.

“PDIP punya peluang untuk melakukan regenerasi politik, dan melakukan konsolidasi internal jika menjadi oposisi,” kata Arga kepada BenarNews.

Arga mengatakan pengalaman partai tersebut sebagai oposisi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah dari 2004 hingga 2014 dapat menjadi batu sandungan Prabowo.

PDIP telah menunjukkan kinerja yang baik seperti halnya oposisi, dengan menjaga pemerintahan tetap terkendali dan memperkuat kesatuan internalnya, hingga partai tersebut menjadi kekuatan dominan dalam pemerintahan setelah berakhirnya masa dua periode kepresidenan SBY, katanya.

Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo (tengah) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (belakang), dan Yahya Cholil Staquf (kanan), Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menghadiri peringatan Hari Santri Nasional di Surabaya, Jawa Timur, 22 Oktober 2023. [Juni Kriswanto/AFP]
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo (tengah) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (belakang), dan Yahya Cholil Staquf (kanan), Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menghadiri peringatan Hari Santri Nasional di Surabaya, Jawa Timur, 22 Oktober 2023. [Juni Kriswanto/AFP]

Sejalan dengan preferensi Jokowi

Prabowo mungkin akan mencari dukungan dari mantan lawannya, seperti PKB dan Partai Nasdem, yang sebelumnya mendukung Jokowi tetapi kali ini mendukung Anies, untuk memperkuat pemerintahannya, kata para analis.

“Dengan tawaran yang lebih kecil, bisa jadi Nasdem dan PKB sudah bisa bergabung dengan koalisi Prabowo. Beda dengan PDIP yang tawarannya harus besar,” ujar Arga.

Menurut Dedi Kurnia Syah, direktur eksekutif Indonesia Political Opinion, Prabowo masih berpeluang untuk berkoalisi dengan PDIP karena Ketua Dewan Pimpinan Pusat-nya, Puan Maharani, yang juga anak Megawati, yang cenderung berpihak kepada Jokowi dan Prabowo ketimbang Ganjar.

“Misalnya saja banyak kritik kader PDIP ke pemerintah dan Prabowo yang sering ‘diluruskan’ oleh Puan, bukan tidak mungkin Prabowo lakukan pendekatan melalui jalur Puan Maharani,” ujar Dedi kepada BenarNews.

Namun, kata Dedi, PDIP memang sejauh ini punya catatan berani mengambil risiko, termasuk berseberang dengan Jokowi pada pemilihan presiden 2024.

Dalam Pilkada Jakarta 2017 yang membawa Anies sebagai gubernur mengalahkan Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama, Prabowo mendukung Anies.

Namun Dedi memperkirakan kecil kemungkinannya Prabowo akan menawarkan Anies jabatan di kabinet karena renggangnya hubungan Anies dengan Jokowi.

Anies pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan pada periode pertama Jokowi namun diberhentikan padahal baru memimpin kementerian tersebut selama dua tahun.

Sekelompok massa pendukung calon presiden Anies Baswedan mengadakan aksi unjuk rasa di depan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta pada 16 Februari 2024, dan menuntut KPU mengungkap kecurangan yang dilakukan calon presiden Prabowo Subianto yang menang pemilihan presiden 2024 berdasarkan penghitungan cepat, yang didukung oleh presiden petahana Joko Widodo. [Bay Ismoyo/AFP]
Sekelompok massa pendukung calon presiden Anies Baswedan mengadakan aksi unjuk rasa di depan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta pada 16 Februari 2024, dan menuntut KPU mengungkap kecurangan yang dilakukan calon presiden Prabowo Subianto yang menang pemilihan presiden 2024 berdasarkan penghitungan cepat, yang didukung oleh presiden petahana Joko Widodo. [Bay Ismoyo/AFP]

“Strategi politik Prabowo kemungkinan besar akan sejalan dengan preferensi Jokowi,” kata Dedi.

Dedi mengatakan bahwa ada dampak baik jika oposisi lebih besar dari koalisi pemerintah, sehingga tidak ada aktivitas politik yang serba instan seperti masa Jokowi.

“Kekuatan pengawasan diperlukan di parlemen, agar pemerintah tidak sewenang-wenang,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.