Ormas di Sulteng Minta Pengusutan Dugaan Salah Tembak oleh Polisi
2020.06.04
Palu

Diperbarui Sabtu, 6 Juni 2020, 07:30 WIB.
Tiga organisasi masyarakat di Sulawesi Tengah, Kamis (4/6), mendesak agar pihak kepolisian mengusut tuntas dugaan salah tembak oleh Satuan Tugas (Satgas) operasi Tinombala di Poso yang bertujuan untuk memburu Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok militan bersenjata terafiliasi ISIS di wilayah itu.
Tuntutan Tim Pembela Muslim (TPM) dan Forum Umat Islam (FUI) dan Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LSADI) itu menyusul tewasnya dua orang petani bernama Firman (17) dan Syarifudding (25) pada hari Selasa yang menurut ayah salah satu korban diduga ditembak anggota Satgas Tinombala, kelompok gabungan TNI-Polri yang telah beroperasi sejak 2016 untuk memburu anggota MIT yang ditengarai berada di balik sejumlah tindak kriminal dan pembunuhan warga sipil di Poso.
Sebelumnya, anak muda berusia 20 tahun, Qidam Alfariski Mofance, tewas dengan luka tembak dan tanda penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota satgas Tinombala di Kecamatan Poso Pesisir Utara pada 9 April.
Anggota TPM Sulteng Andi Akbar meminta agar Kapolda Sulteng Irjen Pol. Syafril Nursal bertanggung jawab dan segera melakukan evaluasi serta menghentikan operasi Tinombala, karena operasi tersebut dinilai gagal dan memakan banyak korban warga sipil.
“Sebagai penanggung jawab operasi, Kapolda harus bertanggung jawab. Evaluasi dan dihentikan operasi itu,” kata Akbar seusai melakukan pertemuan bersama ormas lainnya dan perwakilan DPRD Sulteng di Palu, Kamis (4/6).
Akbar mengatakan penyelidikan kasus Qidam sendiri belum jelas, walaupun menurutnya bukti yang dikumpulkan menunjukkan dia merupakan korban salah tembak pasukan keamanan.
“Kasus Qidam ini kami lihat polisi seperti tidak peduli. Nyatanya sampai saat ini kami belum dapat update seperti apa kelanjutan kasus salah tembak itu,” terang Akbar.
“Ditambah dengan kasus terbaru ini, kami pesimis dengan kinerja Polda mau menyelesaikan semua ini,” ungkapnya.
Ketua FUI Sulteng Hartono Yasin mengatakan Polda harus dengan segera mengambil sikap terkait dugaan salah tembak.
“Mereka itu adalah warga sipil biasa. Jangan karena mereka beraktivitas di area operasi kemudian dikira pengikut MIT. Ini harus segera diusut oleh Polri,” kata Hartono kepada BenarNews.
“Makanya kami mendesak Kapolri Jenderal Idham Aziz hentikan operasi Tinombala lalu proses hukum semua yang terlibat dalam pembunuhan ini,” ujar Hartono.
Ormas Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LSADI) wilayah Sulteng selain menuntut kepolisian mengusut tuntas kematian Qidam, Firman, dan Syarifudding, juga menyerukan pencopotan Kapolda.
“Kami juga mendesak agar Kapolri mencopot Kapolda, karena sebagai penanggung jawab operasi Kapolda sudah gagal total,” tukas perwakilan LSADI Sulteng Renaldy saat melakukan unjuk rasa di depan kantor Polda Sulteng.
DPRD akan panggil Kapolda
Wakil Ketua DPRD Sulteng, Arus Abdul Karim, seusai menemui sejumlah perwakilan ormas di Sulteng mengaku akan segera mengadakan rapat dengar pendapat dengan Kapolda Sulteng Syafril Nursal untuk membahas isu terkait.
“Dalam waktu dekat hearing kita lakukan. Besok kita menyurat dulu ke Polda,” kata Arus kepada wartawan.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI, Syarifudin Suding, mengatakan jika aparat keamanan yang melakukan pembunuhan warga sipil di Poso harus dimintai pertanggung jawaban secara hukum.
"Tindakan aparat yang melakukan penembakan terhadap warga yang tidak ada kaitannya dengan teroris sangat disesalkan dan karenanya pelaku harus diproses dan dimintai pertanggungjawaban hukum,” katanya kepada BenarNews.
Suding mengatakan akan mengundang Kapolri untuk membahas dugaan salah tembak yang sudah dua kali terjadi di Poso tahun ini.
"Saya kira setiap persoalan penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan dengan tupoksi Polri yang terjadi akan kita konfirmasi saat rapat kerja dengan Kapolri," ujarnya.
“Termasuk soal penghentian operasi Tinombala akan kami bahas juga dalam waktu dekat,” ungkap Syarifudin.
Tidak mudah
Sementara itu, Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Didik Supranoto, mengatakan tidak mudah untuk langsung memutuskan penghentian operasi Tinombala.
“Polda sebagai penanggung jawab berhak untuk melakukan evaluasi. Tapi untuk melakukan penghentian tidak berwenang karena itu instruksi pusat,” tegas Didik.
Pejabat Polri dan pemerintah di Jakarta tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Menurut Didik, semua permintaan yang masuk ke Polda terkait penegakan hukum atas dugaan salah tembak telah diterima Polda dan akan ditindaklanjuti.
Dia mengatakan satu regu yang berjumlah delapan orang personel Tinombala masih dalam pemeriksaan.
“Diperiksa untuk dimintai keterangan terkait peristiwa penembakan. Kami minta teman-teman media untuk sabar menunggu karena proses penyidikan sementara dilakukan,” tegas Didik kepada BenarNews.
Firman dan Syarifudding meninggal dunia dengan beberapa luka tembak di tubuh seuesai berkebun di kilometer delapan Dusun Gayatri, Desa Maranda, Kecamatan Poso Pesisir Utara, pada Selasa (2/6).
Pada bulan April dua mayat petani ditemukan di Poso, satunya dengan leher tergorok dan yang lainnya dengan kepala dipenggal. Sebuah video beredar pada bulan yang sama memperlihatkan orang yang mengaku sebagai pimpinan MIT, Ali Kalora, berada di depan bendera ISIS, mengimbau para simpatisan MIT untuk melakukan penyerangan kepada polisi. Di pertengahan video tersebut terdapat footage seorang warga digorok lehernya.
Pada akhir April Polda Sulteng mengatakan bahwa jumlah buronan MIT yang tersisa saat ini tinggal 13 orang.
Dalam versi yang diperbarui ini, caption foto telah dikoreksi dimana LSADI tidak ikut dalam pertemuan bersama wakil ketua DPRD Sulteng dan judul artikel telah diperbaiki untuk keakuratan berita.