Militan MIT Perlihatkan Masih Eksis dengan Pemenggalan

Sesudah Mindanao, Poso bisa menjadi tempat perlindungan petempur asing, kata analis.
Amy Chew
2019.01.16
Kuala Lumpur
poso_620.jpg Petugas memindahkan jenazah Ronal Batau usai diidentifikasi di Puskemas Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Selawesi Tengah, 31 Desember 2018.
(Sengka Parimo/BeritaBenar)

Adalah sebuah penemuan yang mengerikan ketika beberapa penduduk desa secara tidak sengaja mendapati kepala manusia terbungkus kain yang diletakkan di sebuah jembatan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada 30 Desember di penghujung tahun 2018.

Ketika polisi berusaha mengangkat potongan mayat korban yang malang yang kemudian diidentifikasi sebagai Stevanus Ronal Batau, tembakan-tembakan yang berasal dari bukit-bukit di sekitarnya pecah, melukai dua petugas polisi.

Polisi meyakini sisa-sisa Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok militan bersenjata pro-Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang berbasis di Poso berada di belakang pembunuhan Batau dan serangan terhadap personel polisi itu.

Insiden itu merupakan pertanda mengkhawatirkan dari kegigihan kelompok yang telah bertahun-tahun berusaha diberantas oleh pemerintah Indonesia – dan ini dapat menarik militan baru untuk datang ke daerah terpencil di pegunungan itu, demikian menurut para analis.

“Pembunuhan sadis memang sengaja dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka masih eksis. Modus menaruh kepala di jembatan memang untuk memancing aparat supaya bisa ditembak oleh mereka,” kata pensiunan Inspektur Jenderal Polisi Benny Mamoto kepada BeritaBenar.

“Kondisi ini akan memotivasi jihadis lain utk bergabung di Poso krn terbukti sampai saat ini polisi dan TNI belum bisa atasi situasi disana,” kata Mamoto, yang sekarang adalah Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.

Mamoto mendesak pemerintah untuk menjaga operasi kemanan di kawasan itu, dalam wawancara yang dilakukakan melalu pesan singkat dari Jakarta.

“Oleh sebab itu, perlu dilakukan operasi lanjutan sampai tuntas karena kalau tidak tuntas maka sangat besar kemungkinan lokasi tersebut akan dijadikan basis ISIS, pasca jatuhnya Marawi,”ujarnya, “para jihadis dari beberapa negara akan berlatih dan berkonsolidasi disana untuk mengatur serangan yang akan dilakukan ke beberapa negara yang menjadi target.”

Pada 2017, militan pro-ISIS mengambil alih kota Marawi di pulau Mindanao di Filipina selatan dan mengepung kota itu selama lima bulan sebelum pasukan pemerintah mendapatkan kembali kendali terhadap kota dengan penduduk mayoritas Muslim di negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik itu.

Setidaknya 1.200 orang, sebagian besar militan, terbunuh, dan sebagian besar dari kota itu hancur. Itu menjadi serangan paling serius yang dilakukan oleh ISIS di Asia Tenggara, dan memicu kekhawatiran pemerintah di sekitar kawasan itu.

Kembalinya para petempur asing?

Seorang mantan militant yang pernah bertempur di Poso sepakat dengan peringatan Mamoto.

Ali Fauzi Manzi, mantan ahli pembuat bom kelompok Jemaah Islamiyah (JI), afiliasi dari al-Qaeda di Asia Tenggara mengatakan bahwa tempat yang paling cocok bagi ISIS untuk merelokasikan wilayah tempur mereka di Asia Tenggara adalah jika bukan Mindanao di Filipina selatan, pilihan lainnya adalah Poso.

“ISIS saat ini mencari alternatif bagi Irak dan Suriah - wilayah di mana mereka kini telah kehilangan.”

“Kalau (kekerasan) ini terus dibiarkan, bisa mengundang foreign fighters untuk datang ke Poso utk memberi support pada kelompok ini,” kata Ali yang bertempur di Poso sekitar tahun 1998, “karena yang di luar, melihat sepertinya MIT semakin lama bukan makin melemah tapi makin menguat.”

Kepala Hubungan Masyarakat Kepolisan Daerah Sulawesi Tengah, Hery Murwono, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa situasi saat ini di Poso “normal.”

“Keadaan tenang di sini. Ini kami hanya melakukan operasi melawan MIT,” kata Murwono.

Indonesia telah melancarkan operasi gabungan TNI-Polri di pegunungan Poso sejak 2015 - dan baru-baru ini diperpanjang selama 90 hari.

MIT dipimpin oleh Santoso, alias Abu Wardah, yang terbunuh pada Juli 2016 oleh kesatuan Operasi Tinombala yang dibentuk untuk memburu para militan.

Santoso beroperasi di pegunungan-pegunungan di sekitar di Poso dan mengadakan pelatihan para-militer untuk para militan, merekrut militan dari dalam dan luar negeri termasuk setidaknya enam orang Uyghur dari China.

Dua bulan setelah kematiannya, penggantinya Mohamad Basri juga ditangkap. Pada tahun yang sama, pihak berwenang mengumumkan bahwa mereka telah mengurangi anggota MIT dari sekitar 40 orang menjadi kurang dari sepuluh.

Kematian Santoso dan penangkapan wakilnya secara signifikan melemahkan kelompok itu sampai pembunuhan brutal pada akhir Desember lalu yang membawa mereka kembali menjadi sorotan.

Santoso adalah militan Indonesia pertama yang secara terbuka berbaiat kepada ISIS. Selama kepemimpinannya, setidaknya tiga petani dari wilayah yang sama di Parigi Moutong dipenggal pada tahun 2015 - banyak dari korbannya adalah warga non-Muslim yang berasal dari luar Poso.

“Banyak imigran, petani dari Bali yang Hindu, tinggal di wilayah itu. Mereka pandai bercucok tanam. Petani itu dibunuh mungkin ketika group (MIT) ini mengambil makanan dari ladang mereka, atau bertemu dengan mereka,” papar Ali, “jangankan non-Muslim, kalau Muslim yg dikafirkan saja, bisa dibunuh oleh mereka. Bahaya di sana!”

Rekrut anggota baru

Penggantinya, Ali Kalora, dipandang kurang menginspirasi, kata Ali Fauzi.

“Ali dijadikan pimpinan MIT karena sudah tidak ada pilihan lain,” ujarnya.

Dia juga tidak banyak pengalaman, kata Robi Sugara, seorang pakar terorisme di Universitas Islam Syarif Hidayatullah.

“Dia hanya memiliki pengetahuan tentang bagaimana melakukan perang gerilya di pegunungan. Kelompok ini akan menjadi berbahaya jika dibantu oleh kelompok teror dari Pulau Jawa,” kata Sugara.

Tetapi saat mengumumkan perpanjangan terbaru Operasi Tinombala, Murwono, juru bicara kepolisian setempat, mengatakan MIT sekarang memiliki 14 anggota, termasuk tiga anggota baru dari Banten, Jawa Barat, dan satu dari Makassar, di Sulawesi Selatan.

Seorang aktivis HAM setempat menyatakan keheranannya dengan berita itu.

“Dengan bertambahnya jumlah pengikut MIT, membuktikan kalau Satuan Tugas Operasi Tinombala kembali kecolongan untuk kesekian kalinya,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Mohammad Afandi kepada BeritaBenar, minggu lalu.

“Saya tidak menyalahkan pihak manapun. Tapi apakah mau kita biarkan. Anggota terus bertambah, operasi terus berlangsung, seperti tidak ada penyelesaian. Ini mau sampai kapan,” imbuhnya.

Memang waktu yang agak lama, kata Mamoto, yang bekerja dengan unit khusus antiterorisme Polri Densus 88 setelah peristiwa Bom Bali tahun 2002, Bom Hotel Marriot 2003, dan bom di kedutaan Australia tahun 2004 – yang semuanya dilakukan oleh Jemaah Islamiyah, yang sisa-sisanya kemudian melarikan diri ke Poso.

"Aparat keamanan dapat menangani ini tetapi perlu upaya habis-habisan, yang akan memakan waktu agak lama, juga membutuhkan konsistensi dalam operasi," kata Mamoto.

Keisyah Aprilia di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.