Cerita Ponpes Waria yang Dipaksa Tutup
2016.03.18
Yogyakarta
Sudah hampir sebulan Nurya Ayu tak mendapat pesanan masakan. Ia terpaksa hidup dengan sisa uang yang ada. Dia tidak tahu bagaimana kehidupannya apabila pesanan makanan tak juga kunjung datang.
"Sejak Ponpes (pondok pesantren) ditutup, belum ada pesanan sama sekali," ujar waria yang akrab disapa Nur saat ditemui BeritaBenar, Rabu, 16 Maret 2016.
Ponpes Al Fatah dipaksa tutup, 24 Februari 2016 lalu setelah adanya demonstrasi dari kelompok Front Jihad Islam (FJI) di Yogyakarta.
Nur adalah seorang dari empat waria yang tinggal di rumah Shinta Ratri di kawasan Kota Gede, Yogyakarta. Nur sudah ngekos di situ, sejak 2012.
Nur pandai memasak. Dia kebanjiran pesanan setelah Ponpes, tempat para waria belajar agama, pindah dari Kampung Notoyudan, Pringgokusuman, Kecamatan Gedhongtengen ke rumah Shinta di Kota Gede, tahun 2014.
"Teman-teman banyak yang pesan, juga organisasi. Mereka kenal saya di Ponpes," tuturnya.
Nur – yang mendalami agama Islam sejak tinggal di rumah Shinta – kini bingung ketika ingin shalat berjamaah di masjid. Dia tak yakin warga akan menerima kehadirannya di masjid.
Dia juga masih bingung kenapa tempatnya belajar agama Islam ditutup padahal yang mereka lakukan adalah kegiatan keagamaan seperti membaca alquran, shalat berjamaah dan mendengar kajian dari ustadz atau ustadzah yang rutin datang. Ia mengatakan senang bisa belajar agama sesama waria di sana.
"Kami memang waria, tetapi kami juga punya agama dan berhak melakukan kegiatan keagamaan dengan aman dan nyaman," ucap Nur yang mengaku menemukan jati dirinya sebagai waria pada 1982 saat berusia 14 tahun.
Satu-satunya Ponpes waria
Al Fatah adalah satu-satunya Ponpes waria di Indonesia, kalau tidak di dunia. Ponpes ini didirikan tahun 2008 oleh Maryani, seorang waria, di rumah kontrakannya di Kampung Notoyudan.
Al Fatah menjadi tempat belajar bagi 42 waria seantero Yogyakarta. Anggotanya tak diinapkan. Mereka hanya datang setiap Senin dan Kamis untuk belajar agama sampai malam. Lalu pulang ke rumah masing-masing setelah kegiatan selesai.
Tahun 2014, Maryani meninggal dunia. Akibatnya kegiatan Ponpes sempat vakum.
Beberapa bulan kemudian, seorang pengurus, Shinta Ratri berinisiatif menghidupkan kembali Ponpes dengan memindahkan kegiatan belajar ke rumahnya di Celenan, Kota Gede, Yogyakarta.
Shinta mengubah jadwal belajar menjadi hanya sekali sepekan, yaitu setiap Minggu. Kegiatan dimulai sebelum pukul 15.00 WIB dilanjutkan dengan shalat Ashar berjamaah.
Usai shalat, mereka belajar mengaji juga menghafalkan surat-surat pendek sampai tiba waktu Maghrib. Lalu dilanjutkan dzikir hingga waktunya shalat Isya. Kemudian makan malam. Agenda terakhir yang paling ditunggu adalah sharing (berbagi pengalaman).
"Sharing ini kita gunakan untuk mencari solusi dari pertanyaan dan masalah yang kita hadapi," Shinta menjelaskan.
Nurya Ayu memasak di rumah Shinta di Kota Gede, Yogyakarta, 16 Maret 2016. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Ingin susun fiqih
Dalam sharing, Shinta melihat banyak kebingungan terungkap menyangkut tata cara beribadah. Lalu, muncul ide di benaknya untuk menyusun fiqih bagi kaum marginal, seperti waria dan difabel.
Shinta berencana berkonsultasi setidaknya dengan sepuluh ulama untuk mewujudkan ide tersebut.
"Saya tak hanya mencari dukungan atau suara setuju, tetapi suara yang tidak setuju pun kita dengarkan dan jadikan referensi," tuturnya.
Shinta meyakini fiqih waria nantinya akan sangat berguna bagi sekitar 300-an waria di Yogyakarta dan ratusan ribu waria yang tersebar di seluruh Indonesia.
Seorang pembina Ponpes Al Fatah, Ustadz Arif Nuh Safri mengatakan sebagai ustadz pendamping, dia belum pernah diajak bicara tentang rencana Shinta menyusun fiqih waria dan kaum marginal.
Tapi menilik dari banyaknya pertanyaan tentang keibadahan seorang waria saat dia memberi kajian di Al Fatah, bukan tak mungkin fiqih tersebut diwujudkan.
"Itu bisa saja dan sangat mungkin diwujudkan karena itu untuk tuntunan," ujar Arif, saat dihubungi BeritaBenar, Kamis, 17 Maret 2016.
Dipaksa tutup
Namun tampaknya keinginan membuat fiqih tersebut masih harus menunggu lama untuk bisa terwujud.
Penyebabnya adalah paksaan penutupan Ponpes Al Fatah oleh FJI yang diawali dengan demonstrasi massa FJI menyusul maraknya polemik isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam dua bulan terakhir di Indonesia.
Setelah tutup, kegiatan ibadah dan kajian agama terhenti. Tapi, Shinta tidak tinggal diam. Dia mencari tempat baru untuk mewadahi kegiatan belajar bagi anggota Al Fatah. Menurutnya, sudah banyak yang menawarkan.
"Yang saya cari bukan sekadar tempat, tapi juga keamanan saya dan teman-teman karena banyak mereka yang trauma dengan kejadian demo kemarin,” ujarnya.
Dia mengaku bingung alasan penutupan Ponpes karena selama ini hubungan waria yang belajar di situ dengan warga sekitar baik-baik saja.
Pimpinan FJI yang beberapa kali dihubungi untuk berkomentar tidak menjawab panggilan.
Namun demikian Camat Banguntapan, Jati Bayubroto, mengatakan banyak warga yang mengeluhkan keberadaan Ponpes waria selama setahun terakhir dan meruncing dalam dua bulan terakhir.
"Warga belum bisa menerima kalau ada komunitas seperti itu yang kumpul di situ," ujarnya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Jati yang turut menyaksikan pertemuan antara FJI, kepolisian dan perwakilan Ponpes Al Fatah mengaku “penutupan memang menjadi keinginan mayoritas warga.”
Sejak itu, tidak boleh ada kegiatan belajar agama di rumah Shinta yang difungsikan sebagai Ponpes. Nur pun kehilangan mata pencahariannya karena tak ada lagi yang memesan masakan racikannya.