Akui Sudah Lakukan Perbaikan Lingkungan, Pemerintah Ajukan Banding Putusan Polusi Udara
2021.10.04
Jakarta
Akui sudah melakukan upaya perbaikan udara, pemerintah memutuskan untuk mengajukan banding terhadap putusan pengadilan yang memenangkan gugatan warga dengan menyatakan tujuh pejabat negara, termasuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo, lalai dalam memenuhi hak rakyat akan udara bersih, kata pejabat kementerian dan pengacara penggugat, Senin.
Ilyas Asaad, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), membenarkan pengajuan banding oleh Menteri Siti Nurbaya Bakar sebagai upaya menjelaskan lebih jauh posisi pemerintah melalui mekanisme hukum yang tersedia dan dijelaskan.
“KLHK menghargai nilai-nilai baik dalam putusan pengadilan, tapi ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut posisi pemerintah serta apa yang telah dilakukan oleh pemerintah,” kata Ilyas kepada BenarNews.
Ilyas mengatakan, upaya banding yang diajukan pemerintah juga sebagai bentuk edukasi kepada publik untuk melihat secara objektif terkait perbedaan-perbedaan yang terungkap dalam proses peradilan. Namun ia tidak bisa mengonfirmasi apakah tim kuasa hukum Presiden dan pejabat negara lainnya turut mengajukan banding.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September memutus Presiden, Gubernur Jakarta, Menteri LHK, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur Banten serta Gubernur Jawa Barat, lalai dalam mengendalikan pencemaran polusi udara.
Majelis hakim mengatakan para tergugat melanggar undang-undang tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena gagal memenuhi hak masyarakat akan lingkungan bersih.
'Sudah dijalankan'
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK, Dasrul Chaniago, mengatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak bersesuaian dengan upaya-upaya yang sudah dijalankan kementerian, bahkan sejak tahun 2012.
“Poin-poin seperti aturan pengetatan baku mutu udara ambien itu sudah ada dalam PP 22 Tahun 2021 sebagai pelaksanaan dari UU Cipta Kerja. Jadi yang diperintahkan sebenarnya sudah dilakukan sebelum vonis dibacakan,” kata Dasrul melalui sambungan telepon dengan BenarNews, pekan lalu.
Terkait pengetatan baku mutu udara, Dasril menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur pengetatan baku mutu udara sebesar 55 μg/m3 untuk kandungan partikulat berukuran di bawah 2,5 mikrometer (PM2.5).
“Selain itu, lingkungan mengikuti perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi. Jadi suatu saat teknologi sudah memungkinkan, baku mutu akan diperketat terus,” lanjutnya.
Tidak hanya soal pengetatan baku mutu, KLHK mengklaim telah melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah terkait pelestarian lingkungan hidup, yang bukan hanya mencakup soal pengendalian pencemaran udara, tapi juga termasuk air, sampah, hingga limbah B3 (berbahaya dan beracun).
“Pembinaan sudah dilakukan sejak lama, dan itu terus dilakukan. Karena bagi kementerian, pelestarian lingkungan itu kuncinya ada di pembinaan, koordinasi, dan supervisi. Mana ada orang bekerja di lingkungan sendiri, ini kan juga termasuk melibatkan masyarakat dan LSM, bukan hanya satu instansi saja,” kata Dasril.
Kecewa
Ayu Eza Tiara, perwakilan tim kuasa hukum penggugat, mengatakan pihaknya telah menerima notifikasi perihal pengajuan banding dari tim kuasa hukum Presiden dan Kementerian LHK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir pekan lalu.
“Kuasa hukum tergugat memberikan konfirmasi langsung kepada saya, khususnya kuasa hukum Presiden dan KLHK,” kata Ayu, kepada BenarNews, Senin (4/10).
Ayu mengungkapkan kekecewaannya terkait putusan pengajuan banding oleh pemerintah atas putusan yang memenangkan hak dasar warga negara untuk mendapatkan udara bersih. Pengajuan banding menurutnya hanya akan menambah waktu tunggu warga Jakarta terkait perbaikan kebijakan pemerintah dalam memperbaiki kualitas udara.
“Bagi kami sudah tidak penting lagi siapa yang benar atau salah dan kalah atau menang, namun, yang terpenting bagaimana kondisi udara di Jakarta harus semakin baik,” kata Ayu.
“Upaya hukum pemerintah ini menurut kami juga tidak sejalan dengan program green economy yang sedang dirancang oleh pemerintah,” kata Ayu, menambahkan.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, menyayangkan keputusan pemerintah melakukan banding karena pada dasarnya tidak ada hal berlebihan yang dituntut warga.
“Yang dituntut kan udara yang bersih, pengetatan baku mutu udara yang selama ini belum menjamin pemenuhan hak untuk masyarakat,” kata Nur.
Untuk diketahui, gugatan diajukan oleh 32 warga Jakarta tahun 2019. Pembacaan putusan sempat mengalami penundaan hingga delapan kali, salah satunya dengan alasan Majelis Hakim membutuhkan waktu tambahan untuk mempelajari perkara ini.
Sementara itu, dari tujuh pejabat negara yang tergugat, sejauh ini hanya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyatakan pihaknya tidak akan melakukan banding.
“Pemprov DKI mengapresiasi gugatan terkait polusi udara yg diajukan oleh 32 warga negara dan tidak mengajukan banding dalam rangka mempercepat pelaksanaan putusan tersebut,”cuit Anis dalam akun twitternya pertengahan September lalu setelah pengadilan memutuskan bahwa gubernur DKI sebagai salah satu pihak yang bersalah.
Vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada para tergugat beragam. Bagi Presiden, pengadilan memerintahkan untuk mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengadilan memerintahkan Menteri LHK untuk melakukan supervisi terhadap pengetatan emisi lintas-batas provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, serta pengawasan dan pembinaan kinerja gubernur dalam pengendalian pencemaran udara.
Sementara bagi Gubernur DKI, hakim memerintahkan untuk melakukan inventarisasi terhadap potensi pencemaran udara, baku mutu udara, hingga mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara dengan mempertimbangkan penyebaran emisi yang tepat sasaran dan melibatkan partisipasi publik.