Polri Tetap Waspadai Serangan Teror

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.02.25
Jakarta
160225_ID_Terrorwarning_1000 Turis melintasi polisi yang berjaga di pinggir jalan pantai Kuta di Denpasar, Bali, 22 Januari 2016. Australia memperingatkan warganya akan kemungkinan serangan terbaru dari kelompok militan di Indonesia.
AFP

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menegaskan bahwa pihaknya tetap waspada terhadap kemungkinan adanya serangan teror. Sebagai langkah antisipasi, Polri terus meningkatkan operasi pemberantasan jaringan kelompok militan.

Peningkatan kewaspadaan itu ditempuh menyusul adanya saran perjalanan terbaru yang dikeluarkan Pemerintah Australia bagi warganya yang bepergian ke Indonesia, untuk berhati-hati karena ada indikasi kemungkinan serangan teror.

Saran perjalanan atau travel advice itu dikeluarkan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) dalam situsnya, Kamis, 25 Februari 2016. Pada hari Minggu, peringatan yang sama juga ditujukan kepada warganya yang ingin bepergian ke Malaysia.

Dalam saran perjalanan itu disebutkan bahwa ada indikasi rencana aksi teroris yang sudah berada di tahap lanjut untuk melakukan serangan di Indonesia. Warga Australia diminta dalam keadaan waspada tingkat tinggi ketika berada di Indonesia, terutama di daerah-daerah wisata seperti Bali, Lombok dan ibukota Jakarta.

Tetapi, peringatan itu tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana model serangan yang akan dilakukan, namun dipercaya berupa serangan yang terencana matang.

"Tingkat pemberitahuan ini secara keseluruhan tidak berubah. Warga Australia harus dalam tingkat waspada, termasuk di Bali," tulis laman itu.

"Kami terus menerima informasi adanya indikasi serangan lanjutan di Indonesia. Bisa terjadi kapan saja. Harap waspada di daerah ramai dan saat liburan," tambah pernyataan tersebut.

'Ancaman selalu ada'

Menanggapi peringatan Australia itu, juru bicara Markas Besar (Mabes) Polri, Irjen Pol. Anton Charliyan menyatakan bahwa polisi tetap mewaspadai dan meningkatkan pengamanan, sambil terus melancarkan operasi memburu para terduga teroris.

"Ancaman selalu ada, tapi kita tidak pernah tahu kapan serangan akan terjadi. Karena itu, kita selalu waspada dan melancarkan operasi," ujar Anton kepada BeritaBenar.

Sejak serangan teror dan penembakan di Jalan Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari lalu, polisi telah menangkap puluhan terduga teroris di sejumlah daerah. Hampir 20 orang di antaranya diyakini terkait langsung dengan aksi teror yang menewaskan empat warga sipil dan empat pelaku itu.

Dalam operasi terbaru, Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror menangkap lima terduga teroris dalam satu penghadangan di Kota Malang, Jumat malam pekan lalu. Kelima terduga teroris itu telah dibawa ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Saling berbagi informasi

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan bahwa pihaknya mencatat ada perubahan narasi dalam teks saran perjalanan yang dikeluarkan Australia tersebut, walau level keamanannya tetap sama pada angka dua.

"Saran perjalanan ini tidak meningkatkan level keamanan mereka," ujar Arrmanatha dalam jumpa pers di Kementerian Luar Negeri.

Saran perjalanan bagi warga Australia itu berada di level dua, yang menyarankan agar mereka selalu bersikap sangat hati-hati dan waspada, dalam skala satu sampai empat dengan kondisi keamanan normal hingga larangan bepergian.

Dia menambahkan bahwa indikasi yang disebutkan itu menunjukkan level kepastian akan potensi ancaman keamanan.

Menurut Arrmanatha, aparat keamanan Indonesia dan Australia memiliki kerja sama yang erat dan selalu berkoordinasi. Australia menyampaikan informasi yang mereka punya kepada pihak intelijen maupun kepolisian Indonesia.

"Otoritas keamanan Indonesia selalu waspada dan profesional. Sampai saat ini kami belum menerima informasi adanya peningkatan ancaman dari otoritas keamanan Australia," ujar Arrmanatha.

Tetap melakukan pemantauan

Sebagai upaya pencegahan serangan teroris, Anton mengatakan bahwa polisi terus melakukan pemantauan terhadap mereka yang baru kembali atau akan berangkat untuk bergabung dengan kelompok bersenjata. Aparat keamanan juga memantau mereka yang diduga terlibat dalam latihan paramiliter di daerah-daerah konflik dalam dan luar negeri.

Namun, tambahnya, pengawasan dan pemantauan itu juga memerlukan kerja sama erat dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah dengan lembaga pemasyarakatan (penjara) yang merupakan tempat rencana serangan teror dibicarakan oleh sesama terpidana terorisme atau terpidana lain.

"Kami punya keterbatasan dalam pengawasan di situ (penjara)," ujar Anton, sambil menambahkan bahwa pengawasan juga perlu kerja sama dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk melawan penyebaran ideologi radikalisme.

"(Pemantauan ideologi) bukan keahliannya polisi. Selain itu juga perlu pengawasan oleh pihak perbankan untuk memantau transaksi keuangan masuknya dana pendukung terorisme," ujar Anton.

Dia menambahkan imigrasi juga dapat berperan untuk mencegah mereka yang akan berangkat bergabung dengan kelompok bersenjata atau atau kembali ke Indonesia setelah menjadi foreign teroris fighter (FTF).

"Ancaman terorisme adalah nyata, karena itu Densus 88 akan diperkuat dengan penyediaan sarana dan prasana, memperkuat dan memperbarui keahlian mereka dan penambahan anggota baru," ujar Anton.

Ketika berkunjung ke Amerika Serikat untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara ASEAN dan AS Presiden Joko Widodo sempat menyebutkan warga Indonesia yang menjadi FTF di Suriah berjumlah 329 orang. Angka itu, menurut Jokowi, relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.