Polri Diminta Terbuka Periksa Terduga Teroris
2018.08.02
Jakarta

Pemerhati hak asasi manusia (HAM) mendesak polisi lebih terbuka dalam memeriksa lebih dari 200 terduga teroris yang ditangkap dalam sejumlah operasi pemberantasan terorisme selama tiga bulan terakhir.
Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengingatkan agar hak-hak terduga teroris dan keluarganya diperhatikan polisi.
Apalagi lewat Undang-Undang Antiterorisme yang baru, Polri punya kewenangan untuk melakukan pemeriksaan selama 21 hari terhadap terduga teroris dan bisa diperpanjang.
“Kita mewanti-wanti misalnya mengenai akses informasi. Dia belum pasti jadi tersangka, dia ditahan dimana, komunikasinya dengan keluarga gimana, pendampingan advokat bagaimana. Itu masalah yang dilihat,” katanya kepada BeritaBenar, Kamis, 2 Agustus 2018.
Sejak terjadinya serangan bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur, Mei lalu, Polri telah menangkap 221 terduga teroris, kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian, akhir Juli lalu.
Selain itu, 21 orang tewas ditembak karena disebutkan melawan petugas saat hendak ditangkap.
Dalam Pasal 25 Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2018 yang mengubah UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan total waktu penahanan, mulai tahap penyidikan sampai perpanjangan penahanan yang bisa mencapai maksimal 290 hari.
Lama waktu tersebut melebihi total masa penahanan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selama 170 hari.
Menurut Erasmus, selama dalam masa penangkapan itu potensi pelanggaran HAM atas terduga teroris cukup terbuka sebelum tahap penetapan tersangka.
Karena itu, polisi harus bertindak profesional dengan segera mengumumkan status mereka yang telah ditahan tersebut.
“Kita mendorong polisi profesional. Kalau penangkapan, harus segera dijelaskan posisi mereka itu apa. Kalau alasannya untuk pengembangan, status kan tidak mempengaruhi pengembangan kasus,” ujarnya.
Seorang Tim Pengacara Muslim (TPM), Ahmad Michdan, mengaku bahwa pihaknya banyak mendapat permohonan dari keluarga terduga teroris untuk mengetahui keberadaan anggota keluarganya yang diciduk tim Densus 88.
Mereka mengeluh polisi tak menjelaskan detil keterlibatan anggota keluarganya dalam kasus terorisme.
“Karena ada yang ditangkap tidak dalam konteks kejadian, ada yang sedang bekerja, ada yang sedang ikut pengajian, dan sebagainya. Mereka tidak mendapatkan informasi yang pasti, ditanya di sana nggak ada, di cari di sini nggak ada,” katanya saat dihubungi.
Ahmad memprediksi sekitar 50 persen terduga teroris yang ditangkap Densus 88 belum mendapatkan akses untuk bertemu keluarga dan kejelasan statusnya.
Upaya pendampingan hukum biasanya dilakukan tim pengacara setelah ditunjuk polisi, tambahnya.
Sedang diproses
Mabes Polri membantah menutup akses bagi keluarga terduga teroris untuk bertemu dan mendapat informasi keberadaan anggota keluarga mereka.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto, mengatakan penyidik masih bekerja untuk memperjelas status mereka yang ditangkap.
“Kita selalu berupaya terbuka untuk menyampaikan informasi. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Semuanya masih dalam proses dan undang-undang membolehkan itu,” katanya saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Ia menjelaskan 200-an terduga teroris yang ditangkap di sejumlah daerah, diyakini terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Mereka kini dititipkan di sejumlah kantor kepolisian tempat mereka ditangkap. Untuk itu, Setyo meminta pihak keluarga terduga teroris untuk memverifikasinya.
“Silahkan dicek ke kantor kepolisian terdekat. Sebagian besar malah sudah ditemui keluarganya dan juga mendapat pendampingan,” ujarnya.
Mengenai status, Setyo belum mendapat informasi lebih detil berapa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Yang dibebaskan hingga sekarang belum ada, yang pasti dalam setiap proses kita menaati aturan dan menjunjung aspek penegakan HAM,” katanya.
Ia mengakui keberadaan UU Antiterorisme yang disahkan 25 Mei lalu, memudahkan polisi dalam menangani kejahatan terorisme.
Setyo mengarisbawahi, jika tak ditemukan bukti keterlibatan dalam jaringan teroris yang dicurigai, pihaknya akan segera melepaskan mereka.
“Undang-undang itu juga mengatur jika ada penyidik yang melanggar ketentuan dapat dipidanakan. Tentu kami akan sangat hati-hati dalam menanganinya,” ujarnya.
Harus lebih cermat
Anggota Komsi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan pihaknya akan meminta penjelasan Kapolri dalam forum rapat kerja pengawasan yang akan digelar akhir bulan ini.
“DPR meminta elemen sipil untuk menyampaikan data-datanya kepada Komisi III, kami akan menyuarakan di forum rapat kerja pengawasan dengan Kapolri, “ ujar Arsul saat dihubungi.
Dia menambahkan, pihaknya sedang berupaya membentuk tim pengawasan pelaksaaan UU Antiterorisme yang akan melibatkan seluruh elemen, termasuk masyarakat.
“Masukan-masukan dari masyarakat sipil akan menjadi lebih kuat untuk membentuk tim pengawas. Mekanisme pembentukannya tentu membutuhkan waktu karena dibuatkan aturan terlebih dahulu,” ujarnya.
Sementara pengamat teorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Al Chaidar, mengatakan profesionalitas Polri dalam menangani terorisme terus diuji dengan ada aturan baru tersebut karena jika tidak hati-hati, benih-benih terorisme tetap tumbuh dan berkembang.
Selama ini, paparnya, Polri telah dianggap oleh kelompok radikal sebagai thogut atau musuh sehingga kerap menjadi target serangan.
“Jika terjadi salah tangkap atau hal lain, itu akan berdampak buruk dan menumbuhkan bibit-bibit terorisme baru,” katanya.