Polisi periksa dua perusahaan farmasi terkait gagal ginjal akut
2022.10.25
Jakarta
Polisi mengatakan pada Selasa (25/10) tim reserse kriminal sedang memeriksa dua perusahaan farmasi yang diduga melakukan tindak pidana dalam kasus kematian anak akibat gagal ginjal akut yang ditengarai diakibatkan oleh zat beracun dalam obat sirup yang diproduksinya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengungkapkan bahwa polisi sudah mendapatkan sampel dari Kementerian Kesehatan Indonesia berupa urine, darah, dan contoh obat.
“Kita sedang menunggu hasilnya dari Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri,” kata Dedi kepada BenarNews, Selasa.
“Ini yang akan didalami oleh laboratorium forensik, kemudian tim penyidik dan tentunya akan dikomunikasikan dengan Kementerian Kesehatan dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” tambah Dedi.
Pada Senin, kepala BPOM Penny K. Lukito melaporkan ada dua perusahaan farmasi yang akan dipidana akibat ditemukan indikasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada produknya.
Kedua perusahaan itu, kata Penny, bukan hanya mengedarkan produk obat sirop tercemar senyawa EG dan DEG, tapi juga diduga menjual produk yang mengakibatkan gagal ginjal akut.
"Ada indikasinya bahwa kandungan EG dan DEG di produknya itu tidak hanya sebagai konsentrasi kontaminan tapi sangat-sangat tinggi dan tentu saja sangat toksik, itu diduga mengakibatkan gagal ginjal akut dalam hal ini," jelasnya.
Direktur Dittipidter Brigadir Jenderal Pipit Rismanto mengatakan pihaknya masih mendalami potensi dugaan pidana perusahaan farmasi dalam kasus ini.
Pipit belum dapat mengungkap nama dua perusahaan farmasi yang diperiksa terkait penggunaan EG dan DEG dengan konsentrasi melebihi ambang batas aman dalam produk obat siropnya.
“Sementara masih pendalaman Polri dan BPOM ya,” kata Pipit kepada BenarNews.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menjelaskan jumlah kasus gagal ginjal akut telah mencapai 255 kasus tersebar di 26 provinsi, dengan jumlah 143 anak meninggal per Selasa.
“Tingkat kematiannya mencapai 56 persen," ujar Syahril dalam konferensi pers di Jakarta.
Tindakan tegas
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat 3 UU Kesehatan.
“Pemerintah berdasarkan kewenangannya perlu segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi produsen dan penyedia jenis obat cair/sirop yang diduga mengandung EG dan DEG,” ujar Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulisnya.
Pada sisi lain, tambah Isnur, produsen juga bisa dikenakan Pasal 196 UU Kesehatan dengan pidana 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
“Keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat sirop dan kepada Pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara,” ungkap Isnur.
PT Konimex, perusahaan yang memproduksi Termorex Sirup, salah satu dari lima obat cair yang diminta ditarik dari peredaran oleh pemerintah, membantah produknya mengandung EG dan DEG.
“PT Konimex menyatakan bahwa seluruh obat dalam bentuk sirop yang kami produksi tidak menggunakan bahan baku EG dan DEG,” kata kepala eksekutif perusahaan Rachmadi Joesoef dalam pernyataan tertulis Jumat lalu.
Joesoef mengatakan perusahaan tetap menarik Temorex dari peradaran sesuai permintaan BPOM.
“Negara gagal dalam memberikan perlindungan”
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai pemerintah gagal melindungi masyarakat dalam kasus gagal ginjal akut terhadap anak-anak itu.
“Ini bisa dilihat sebagai gagalnya negara dalam memberikan perlindungan adalah gagalnya negara atau tidak hadir secara efektif dalam memberikan perlindungan dalam jaminan keselamatan rakyat,” ujar anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, dalam konferensi pers di Jakarta.
Dia menilai ada potensi kesalahan administrasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan BPOM karena kasus ini sudah terjadi sejak Januari lalu namun baru mendapatkan perhatian serius beberapa bulan belakangan.
"Pertama adalah di Kementerian Kesehatan kami melihat potensi mal-administrasi, itu terlihat pada tidak dimilikinya data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemiologi dan ini kemudian berakibat pada kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus-kasus gagal ginjal," kata Robert.
Atas ketiadaan data tersebut, kata Robert, Kementerian Kesehatan tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gangguan ginjal akut.
“Hal ini mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait masalah ini,” tambahnya.
Ombudsman menilai potensi mal-administrasi di pihak BPOM ada pada tahap sebelum dan sesudah produk dirilis.
Menurut Robert, Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi, karena membiarkan produsen melakukan uji mandiri.
“Ombudsman juga menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standardisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan,” kata Robert.
Robert meminta Kementerian Kesehatan dan BPOM untuk melakukan tindakan korektif terkait temuan mal-administrasi tersebut.
"Setiap kesalahan harus ada pihak yang disalahkan, harus ada pihak yang bertanggung jawab, harus ada pihak yang akuntabel. Ini yang kita minta kepada pemerintah," kata Robert.
Fomepizol ampuh sembuhkan gagal ginjal akut
Juru bicara Kemenkes Syahril menambahkan pemerintah telah mendatangkan antidotum fomepizol sebagai penawar kasus gagal ginjal akut.
“Pemerintah sudah mendatangkan obat antidotum fomepizol dari Singapura sebanyak 26 vial dan dari Australia sebanyak 16 vial. Selanjutnya akan mendatangkan ratusan vial dari Jepang dan Amerika Serikat,” ucap Syahril.
Menurut Syahril, obat ini terbukti ampuh untuk menyembuhkan pasien dari penyakit gagal ginjal akut. Hal itu, kata Syahril, terbukti, sebanyak 10 dari 11 pasien terus mengalami perbaikan klinis setelah mengonsumsi fomepizol.
“Tidak ada kematian dan tidak ada perburukan lebih lanjut. Anak sudah mulai dapat mengeluarkan air seni. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, kadar etilen glikol dari 10 anak tersebut sudah tidak terdeteksi zat berbahaya tersebut,” ungkapnya.