2 Polisi Kasus Penyerangan Novel Baswedan Divonis 2 Tahun dan 18 Bulan Penjara
2020.07.16
Jakarta
Dua terdakwa penyiram cairan asam sulfat pada Novel Baswedan, Kamis (16/7) dijatuhi hukuman masing-masing dua dan 1 ½ tahun penjara usai terbukti bersama-sama melakukan penganiayaan berencana yang mengakibatkan kebutaan pada mata kiri penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Vonis terhadap Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis lebih berat ketimbang tuntutan jaksa yang menginginkan hukuman satu tahun penjara untuk keduanya.
"Dari fakta persidangan, terdakwa Rahmat diketahui mencari alamat saksi korban (Novel), melakukan survei, dan mengambil sisa air aki di garasi mobil Gegana Polri dan membawa pulang ke rumah kontrakan lalu menyiramkannya kepada saksi korban," kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam persidangan lewat konferensi video, Kamis.
"Sementara terdakwa Rony Bugis, setelah diberitahu Rahmat bahwa ia ingin memberi pelajaran (kepada Novel) justru tidak mencegah, sehingga unsur bersama melakukan penganiayaan berencana terbukti secara sah dan meyakinkan."
Dalam pertimbangan memberatkan putusan, hakim Djuyamto menilai perbuatan kedua terdakwa telah pula membuat Novel Baswedan kehilangan salah satu panca indera dan mengganggu aktivitasnya sebagai penegak hukum.
Menurut hasil visum, Novel mengalami luka bakar berat level satu hingga dua di dahi dan pipi kanan dan luka bakar di mata kiri akibat kontak dengan cairan asam sulfat. Bahkan meski setelah menjalani perawatan beberapa bulan di Singapura, mata kirinya kini dilaporkan mengalami kebutaan.
"Terdakwa (Rahmat dan Rony) juga telah merusak citra kepolisian," lanjut Djuyamto.
Atas vonis ini, Rahmat Kadir Maulette dan Rony Bugis menerimanya.
Sementara jaksa penuntut masih mempertimbangkan apakah akan mengajukan banding atau menerima.
Didesain gagal
Novel Baswedan disiram cairan asam sulfat pada 11 April 2017, sepulang salat subuh berjamaah di masjid tak jauh dari kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kepolisian dan dibacakan pada Juli 2019 oleh juru bicara tim saat itu, Nur Kholis, penyerangan diduga terkait dengan profesi Novel di KPK yang terlibat dalam penyidikan enam kasus korupsi yang melibatkan pejabat penting.
Keenam kasus tersebut yakni dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dugaan pidana korupsi mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi, Kasus mantan Bupati Buol Amran Batalipu, kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang, dan kasus "buku merah" yang diduga melibatkan petinggi Polri saat itu.
Namun seiring pengusutan kasus - hingga akhirnya kini tuntas di peradilan tingkat pertama, fakta tersebut tidak pernah terungkap.
Sejak ditangkap pada akhir Desember 2019 hingga menjelang vonis di pengadilan, pelaku memang berulang kali mengatakan bahwa penyiraman asam sulfat kepada Novel Baswedan semata-mata dipicu oleh rasa benci atas sikap Novel yang dianggap membangkang dari korps bhayangkara. Bukan disebabkan peran Novel sebagai penyidik komisi antirasuah.
Pelaku pun sempat berkelit bahwa penyiraman ke arah mata sejatinya adalah ketidaksengajaan karena rencana awal hanya menyasar bagian badan.
Terkait vonis ini, Novel Baswedan mengatakan, "Sekalipun dihukum berat, peradilan ini sudah didesain untuk gagal," kata Novel saat dihubungi.
Novel memang sedari awal telah meragukan kedua terdakwa sebagai pelaku asli penyerangan terhadap dirinya. Ia pun berulang kali menyebut persidangan ini sebagi peradilan sandiwara dan sempat meminta kedua terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan.
"Bila tidak ada kualifikasi bukti yang memadai maka harus dibebaskan. Jangan sampai wajah hukum kita semakin rusak dengan banyaknya kejanggalan dalam proses hukum ini," kata Novel, dikutip CNN Indonesia Selasa lalu.
Serupa dengan Novel, sejumlah aktivis antikorupsi memang menilai persidangan tak ubahnya rangkaian sandiwara.
Direktur Kantor Hukum Lokataru Haris Azhar, misalnya, merujuk pada sejumlah fakta penting yang hilang dan tidak dimunculkan di persidangan semisal rekaman kamera pengawas (CCTV).
“Padahal, polisi sejak awal proses penyidikan mengklaim punya rekaman CCTV di sekitar tempat kejadian perkara,” kata Haris dalam diskusi daring, akhir bulan lalu.
“Nuansa rekayasa sangat kental, sebagaimana ciri pengadilan rekayasa,” tambahnya.
Adapula pernyataan Direktur Yayasan Lembaha Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana yang menyebut peradilan ini sarat konflik kepentingan, seperti terlihat dari kedua pelaku yang masih belum dipecat dari kepolisian meski telah berstatus terdakwa.
BeritaBenar menguhubungi juru bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono terkait peradilan ini, tapi tak beroleh respons.