Dipecat, Polisi Gay Gugat Polda Jateng dan Lapor Komnas HAM
2019.05.16
Surakarta

Untuk pertama kalinya seorang anggota polisi yang dipecat karena gay menggugat kepolisian ke pengadilan dan melaporkan kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Polisi berinisial TT (30) menggugat Polda Jawa Tengah (Jateng) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang untuk mendapatkan keadilan setelah diberhentikan secara tidak terhormat karena ia gay.
Ma’ruf Bajammal, kuasa hukum TT, menyebutkan, Kamis, 16 Mei 2019, bahwa alasan pihaknya meminta pendampingan dari Komnas HAM karena kasus yang menimpa kliennya “mengarah pada diskriminasi minoritas”.
Menurutnya, tidak ada orientasi seksual menyimpang, karena kasus TT dari perspektif hak asasi manusia (HAM) disebut sebagai orientasi seksual minoritas.
“Jika alasan Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) semata-mata karena orientasi seksual, itu sudah melanggar prinsip nondiskriminasi yang berkaitan erat dengan HAM dan dijamin Undang-undang,” katanya kepada BeritaBenar.
“TT harus diperlakukan sama dengan orang lain yang memiliki orientasi seksual mayoritas.”
Dia menambahkan karena kasus TT mengarah pada diskriminasi minoritas, maka pada 10 April lalu, memutuskan untuk meminta pendampingan Komnas HAM.
“Sudah ada balasan hari ini (Kamis). Senin nanti, akan diterima Ibu Sandra Moniaga,” ujar Ma’ruf.
Sandrayati Moniaga yang menjabat Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal ketika dikonfirmasi membenarkan pihaknya sudah menerima permintaan pendampingan dari kuasa hukum TT.
Tetapi dia belum bisa mau berkomentar banyak dengan alasan masih mempelajari kasus TT.
“Kita akan pelajari dan cari waktu untuk bertemu,” ujarnya.
Ma’ruf dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mulai mendampingi TT, akhir Januari 2019, dengan menggugat Polda Jateng ke PTUN Semarang.
Sidang kedua beragendakan pembacaan replik tergugat dengan Polda Jateng sebagai pihak tergugat digelar pada Kamis.
‘Perbuatan tercela’
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol. Agus Triatmaja, ketika dikonfirmasi menyatakan bahwa TT diperhentikan dengan tidak hormat karena perilakunya “dinyatakan sebagai perbuatan tercela”.
Tetapi Agus tidak menjelaskan apakah maksud perbuatan tercela itu terkait orientasi seksual TT.
“Bahwa kasusnya ditangani oleh Propam Polda Jateng berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Propam. Yang bersangkutan melakukan banding atas putusan yang diberikan, namun ditolak pada saat proses sidang banding,” katanya.
Sedangkan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas (Karopenmas) Brigjen Pol Dedi Prasetyo juga tak menjelaskan detil alasan pemecatan TT.
Melalui pesan tertulis, Dedi memberikan cuplikan tentang kewajiban setiap anggota Polri untuk patuh dan taat terhadap UU Kepolisian RI No. 2 tahun 2002.
Pada pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
“Pada norma agama dan kesopanan jelas bahwa LGBT masih menjadi hal yang tabu oleh agama dan tidak diakui secara yuridis oleh negara sehingga tersirat bahwa anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki kelainan atau disorientasi seksual,” terangnya.
Selain itu, tambah Dedi, Polri terikat dan wajib mentaati Kode Etik Profesi Kepolisian yang antara lain berbunyi bahwa anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra, solidaritas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri.
Dia menyebutkan pada pasal 11 disebutkan anggota Polri wajib menaati menghormati norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum.
“Sehingga apabila hal tersebut sesuai ketentuan pada pasal 20 dan 21 perihal dan sanksi hukuman dan tindakan, bagi anggota Polri yang melanggar dapat diberikan sanksi dan hukuman berupa rekomendasi PTDH,” paparnya.
Perubahan kasus
TT menceritakan bahwa kasus yang menimpanya hingga berujung pemecatan bermula saat perayaan Valentine, 14 Februari 2017.
TT yang saat itu berpamitan akan pergi dengan pasangannya, seorang dokter di Kudus, didatangi delapan polisi, terdiri dari empat berpakaian preman dan sisanya berseragam lengkap dan bersenjata.
TT awalnya tidak mau ikut ke kantor polisi setempat karena mereka tak menunjukkan surat tugas penangkapan.
Tetapi, dia mengaku dipaksa ikut ke Polres Kudus dan menjawab pertanyaan mereka, termasuk apa yang dilakukan TT di tempat parkir saat mereka mendatanginya.
“Mereka bilang ada laporan masyarakat atas dasar pemerasan, tapi pemerasan itu tak bisa dibuktikan karena memang tidak ada. Juga ada tuduhan saya membawa senjata. Mobil saya digeledah dan tidak ditemukan karena memang tidak ada,” terang TT kepada BeritaBenar.
Sejak diperiksa di Polres Kudus pada 14 Februari 2017 hingga Maret 2017, TT mengaku telah menjalani serangkaian pemeriksaan dan tes, termasuk psikotes.
TT merasa aneh ketika kasusnya berubah menjadi kasus disorientasi seksual pada 16 Maret 2017.
Saat itu, ada laporan yang diberikan pada bidang Kode Etik Polda Jateng yang berisikan tentang disorientasi seksual TT setelah dilaporkan polisi yang tak dikenalnya dan belum pernah bertemu sebelumnya.
TT menjalani sidang kode etik pada 18 Oktober 2018 sampai akhirnya diberhentikan dengan tidak hormat pada akhir 2018 lalu.
Pemecatannya membuat keluarga besarnya mengetahui orientasi seksual yang selama ini dirahasiakan dari kedua orang tua dan keempat saudara kandungnya.
Putra ketiga dari lima bersaudara itu sebelumnya memang merahasiakan kalau dirinya adalah gay dari semua orang tidak terkecuali keluarga intinya.
“Mereka terkejut, tetapi pada akhirnya bisa menerima,” pungkas TT.