Korban tragedi Kanjuruhan kecewa putusan bebas bagi polisi
2023.03.16
Malang
Dayangga Sola Gratia mengaku kecewa dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas dua dari tiga polisi yang didakwa terkait penembakan gas air mata yang berujung tewasnya 135 orang di Stadion Kanjuruhan Malang pada Oktober tahun lalu.
“Hukum juga polisi yang menembakkan gas air mata ke arah penonton. Bukan hanya yang memerintah,” ujar Dayangga, salah satu korban yang selamat di Kanjuruhan, kepada BenarNews.
Hakim menilai bekas Kepala Satuan Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi dan bekas Kepala Bagian Operasi Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, tidak terbukti melakukan pidana dan membebaskan keduanya pada Kamis.
Sedangkan bekas Komandan Kompi 1 Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarmawan dinilai terbukti memerintahkan anggotanya menembakkan gas air mata ke arah tribun Stadion Kanjuruhan dan dihukum 18 bulan penjara.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu 3 tahun penjara.
Dayangga mengatakan ia harus kehilangan pekerjaan dan menderita infeksi paru-paru pasca terpapar gas air mata, menyebabkan dadanya sering terasa nyeri.
“Jika berjalan ngos-ngosan, nafas tidak normal,” kata Dayangga, yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanjuruhan Kepanjen selama 10 hari.
Sebelumnya bulan ini, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis Abdul Haris, ketua panitia penyelenggara pertandingan dengan hukuman 18 penjara dan Suko Sutrisno, ketua petugas keamanan, dihukum satu tahun penjara.
Putusan keduanya jauh lebih ringan daripada tuntutan 6 tahun 8 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum sehingga keluarga korban menyebut persidangan itu sebagai dagelan.
Tragedi pada 1 Oktober2022 malam itu dimulai setelah polisi menembakkan gas air mata di dalam stadion untuk membubarkan penonton yang menyerbu lapangan setelah kelompok tuan rumah Arema FC Malang kalah dari musuh bebuyutan mereka Persebaya Surabaya.
Polisi mengatakan stadion itu berkapasitas 40.000, tetapi lebih dari 60.000 tiket terjual.
Tim pencari fakta yang dibentuk oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo menemukan bahwa gas air mata yang ditembakkan secara membabi buta oleh polisi menyebabkan tewasnya 135 orang dan sekitar 600-an korban luka-luka.
Pihak berwenang mengatakan faktor lain termasuk pintu stadion yang sempit ikut berkontribusi terhadap bencana tersebut.
Mahasiswa protes
Sementara itu, sekitar 200 mahasiwa berunjukrasa di depan Balai Kota Malang, Kamis, untuk memprotes putusan hakim.
“Vonis itu tidak berperikemanusiaan, tidak memberikan keadilan kepada keluarga korban,” tutur salah seorang pengunjuk rasa dalam orasinya.
Majelis hakim, katanya, seolah tidak mempertimbangkan 135 nyawa yang melayang.
“Jangan sampai terjadi gejolak, warga tidak percaya dengan pemerintah dan polisi,” ujarnya.
Disela-sela aksi, mereka juga turut mendoakan para korban yang meninggal. Mengenakan pakaian serba hitam, mereka melempar kapal kertas kepada 100-an aparat yang berjaga.
“Tragedi Kanjuruhan merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Malang Raya, Adi Rangga Parawansa kepada para jurnalis.
Mereka menyebut kejanggalan selama persidangan antara lain ketiga terdakwa yang berstatus anggota polisi didampingi penasihat hukum yang juga anggota polisi aktif, sehingga menimbulkan konflik kepentingan dalam mengungkap fakta di persidangan.
“Mendesak komisi yusidisial menindak hakim yang memeriksa perkara tragedi Kanjuruhan. Lantaran membiarkan polisi aktif sebagai penasihat hukum,” ujar Adi.
Secara terpisah, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hari Basuki menyatakan menghormati keputusan majelis hakim. Namun, jaksa juga memiliki upaya hukum untuk bersikap selama 14 hari, termasuk mengajukan banding.
Ia menyatakan menunggu salinan putusan secara lengkap dari majelis hakim sehingga tahu secara pasti alasan hukum yang dipakai majelis hakim untuk membebaskan terdakwa Wahyu dan Bambang.
“Yang dibacakan majelis hakim tadi hanya sebagian saja,” ujar Hari melalui aplikasi perpesanan kepada BenarNews.
Koalisi Masyarakat Sipil mengecam keputusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menurut mereka menghukum ringan para terdakwa.
Putusan hakim menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, tulis Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam siaran pers yang diterima BenarNews.
Isnur menyatakan proses hukum dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran serta melindungi pelaku kejahatan dalam tragedi Kanjuruhan.
“Selain itu kami juga turut melihat proses persidangan merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat,” tulis Isnur.
Keganjilan antara lain hanya aktor lapangan yang diproses hukum, akses pengunjung atau pemantau persidangan yang saat awal persidangan dibatasi, sementara terdakwa dihadirkan secara daring, kata Isnur.
“Hakim dan JPU cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil. Minim keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan. Komposisi saksi didominasi aparat kepolisian,” katanya.
Selain itu, juga terjadi intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan, kata Isnur.
Sementara, Sekretaris Jenderal Federasi KontraS, Andy Irfan Junaedi, menilai sidang tragedi Kanjuruhan itu sebagai sidang sandiwara karena menurutnya gagal memberikan rasa keadilan kepada korban.
“Kami akan membuat laporan ke Dewan HAM PBB tentang dugaan tragedi Kanjuruhan, serta laporan dugaan kejahatan HAM berat ke Komnas HAM,” ujar Andy.