Polisi Diminta Perbaiki Data Intelijen Terkait Terorisme

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.01.06
Jakarta
polisi-1000 Korps Angkatan Laut Indonesia melakukan demo anti-terorisme di Sungai Musi, Palembang, 22 Maret 2015.
AFP

Diperbaharui pada 7-1-2016, 22:00 WIB

Polri diminta memperbaiki data intelijen dan pengintaian untuk menghindari terulangnya kembali kasus salah tangkap orang dalam operasi penanggulangan terorisme.

Desakan itu disuarakan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah menyusul terjadinya kasus salah tangkap terhadap dua warga yang sempat diduga bagian dari jaringan militan, di Solo, akhir bulan lalu.

Menurut Otto Nur Abdullah, Komisioner Komnas HAM, dalam sebuah operasi, ada kemungkinan salah tangkap. Untuk itu, dia mengharapkan agar polisi untuk memiliki strategi pemulihan kepada masyarakat setelah operasi.

"Hal itu harus bisa diantisipasi dan Densus 88 harus punya inisiatif untuk merehabilitasi (nama baik orang yang salah tangkap)," ujar Otto kepada BeritaBenar di Jakarta, Selasa 5 Januari.

Sedangkan, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Ade Bhakti mengatakan bahwa salah tangkap bisa terjadi karena yang ditangkap berada di waktu dan tempat yang salah.

"Ada juga yang ditangkap namun karena kurang bukti dan akhirnya dilepas. Hal ini beda dengan salah tangkap," ujar Ade kepada BeritaBenar.

"Namun itu juga harus dilihat berdasarkan kasus per kasus," tambahnya.

Dalam operasinya di Solo, Jawa Tengah, pada 29 Desember lalu, Detasemen Khusus (Densus) 88 menangkap empat orang yang menurut polisi diduga terlibat terorisme. Dua dari mereka, Ayom Penggalih dan Nur Syawaludin kemudian dilepaskan.

Dalam keterangannya kepada media, keduanya mengatakan bahwa mereka ditangkap Densus 88 saat hendak menuju masjid dengan mengendarai motor. Keduanya mengaku tangan mereka diborgol dan muka mereka ditutup dengan kaos. Lalu dibawa ke Polsek Laweyan.

Sudah sesuai prosedur

Sesuai Kapolri Jendral Badrodin Haiti mengatakan kepada para wartawan pada 31 Desember bahwa yang terjadi di Solo bukanlah salah tangkap dan sudah bergerak sesuai prosedur yang seharusnya.

Badrodin mengatakan Densus 88 mempunyai waktu tujuh hari untuk mengidentifikasi lebih lanjut dan bila akhirnya tidak ada bukti kuat yang menghubungkan mereka dengan kegiatan terorisme, maka mereka dilepaskan.

Otto mengatakan bahwa Densus 88 harus punya inisiatif untuk mengkompensasi setelah operasi.

Kompensasi bisa terhadap harga diri warga yang sempat ditangkap dan diduga sebagai pelaku terorisme atau pemulihan atas kesehatan yang terganggu dan kerusakan harta benda, terutama bila operasinya dilakukan di wilayah perkampungan atau pedesaan.

Dalam operasi seperti itu, setidaknya akan mengakibatkan kerusakan sosial dan masyarakat lokal yang terpecah belah.

"Harus ada langkah antisipasi untuk pemulihan kerusakan tersebut. Pemulihan itu juga untuk memperbaiki dan mempersiapkan masyarakat untuk mempunyai resistensi lebih terhadap terorisme," ujar Otto.

Perlu evaluasi data intelijen

Sementara itu, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah mengatakan bahwa data intelijen yang ada selama ini perlu dievaluasi sehingga salah tangkap tak terulang. Selain itu, sering terjadi karena adanya pelabelan terhadap orang-orang dengan ciri-ciri aktivitas, fisik atau cara berpakaian tertentu yang cenderung dianggap sebagai teroris.

Dia menambahkan bahwa walaupun Ayom dan Nur sudah dilepas, harus ada proses hukum lebih lanjut terhadap aparat yang salah tangkap karena persoalan tidak selesai dengan sekedar melepas mereka yang sempat diduga sebagai teroris.

Lebih lanjut, dia mendesak perlu ada penyelidikan internal oleh divisi profesi dan pengamanan (Propam) Polri.

"Propam harus memprosesnya secara hukum dan menghukum petugas yang salah prosedur. Minta maaf saja tidak cukup dan (salah tangkap) ini sudah terjadi berkali-kali," ujar Dahnil.

Dalam jumpa pers akhir tahun 2015, Polri mengeluarkan data bahwa selama setahun terdapat 74 orang terduga  terlibat aksi terorisme. Dari jumlah itu, 65 orang sedang diproses kasusnya sementara sembilan sudah dipulangkan karena tidak ada cukup bukti.

Sedangkan data dari 2000 sampai 2015, ada 171 aksi terorisme dan 1.064 orang yang ditangkap sebagai terduga terlibat terorisme. Dari jumlah itu, 95 di antaranya telah dikembalikan ke keluarga.

"Artinya ada 95 orang yang ditangkap tapi tidak ada tindak lanjut ke proses hukum dengan berbagai alasan," ujar Ade.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.