Tito Janji Penanganan Terorisme Hormati HAM

Arie Firdaus
2016.06.24
Jakarta
160624-ID-police-620.jpg Calon Kapolri Tito Karnavian (tengah) dan anggota Komisi III DPR berpegangan tangan usai menjalani uji kepatutan dan kelayakan di gedung DPR, Jakarta, Kamis, 23 Juni 2016.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Komisaris Jenderal Tito Karnavian menjanjikan anggota kepolisian akan menghormati hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan terorisme di masa mendatang.

Ia juga berjanji akan bersikap tegas kepada anggotanya jika kembali ditemukan terduga teroris meninggal dunia saat penangkapan atau menjalani pemeriksaan, seperti dialami Siyono, terduga teroris yang tewas setelah beberapa hari ditangkap Densus 88 Mabes Polri di Klaten, Jawa Tengah, Maret lalu.

"Kalau saya jadi Kapolri, ada yang meninggal, saya akan meminta Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan) langsung memeriksa," tegas Tito saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan calon Kapolri di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis, 23 Juni 2016.

Anggota dewan mengklarifikasi tentang tewasnya 121 terduga teroris dan menanyakan konsep sosok yang kini menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu dalam mencegah terulangnya kematian terduga teroris seperti Siyono.

"Mekanisme pengawasan sebenarnya sudah ada. Tinggal diperkuat saja," ujar Tito.

Fungsi pengawasan itu, tambahnya, terdapat di Irwasum (Inspektorat Pengawasan Umum) yang ada di internal polisi hingga institusi-institusi di luar Polri, seperti Komisi III DPR, Komnas Nasional Hak Asasi Manusia, dan media massa. Makanya, dia kembali menolak rencana pembentukan dewan pengawas Densus 88.

"Yang ada sudah memadai," ujar Tito, yang menjabat Kepala Densus 88 periode 2009-2010. "Kita perlu hemat anggaran. Pemerintah harus mengurangi instansi yang tak perlu."

Tindakan yang terpaksa diambil

Terkait 121 terduga teroris yang tewas, ia menyebutnya sebagai tindakan yang terpaksa diambil para anggota di lapangan. Menurutnya, polisi sebenarnya ingin membawa para terduga teroris tersebut ke persidangan.

"Tapi situasi taktis di lapangan berbeda. Mereka membahayakan petugas dan masyarakat umum," kata Tito.

Ia mencontohkan peristiwa teror di kawasan Thamrin, Jakarta, Januari lalu. Ketika itu, para pelaku membawa senjata api dan menyiapkan bom. "Apa mungkin bisa dibilang, 'hei, berhenti dulu. Mari ke pengadilan'," katanya lagi.

Menurut Tito, kelompok radikal berpikir bahwa kematian bisa membawa mereka ke surga. Sedangkan membunuh aparat akan mendapat pahala. Makanya, mereka tidak ragu menyerang aparat sehingga anggota kepolisian pun dituntut bersikap tegas dan cepat di lapangan.

"Mereka berbeda dengan narkoba (yang takut mati). Teroris itu enggak takut mati," tegas Tito.

Begitupun, ia mengatakan akan mengingatkan anggotanya agar menangkap terduga teroris dalam keadaan hidup sehingga bisa membawa mereka ke pengadilan.

"Yang harus diingat, anggota jangan berlebihan di lapangan," katanya.

Gandeng Komnas HAM

Tito juga berencana menggandeng Komnas HAM agar polisi lebih memahami konsep hak asasi manusia, sehingga pelanggaran saat menjalani tugas bisa dihindarkan.

Soal rencana itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar merespons sinis. Ia pesimis kinerja anggota Polri akan membaik dengan rencana itu.

"Sudah sering dilakukan itu (briefing)," kata Haris kepada BeritaBenar.

Menurut Haris, yang lebih penting adalah sikap Polri tak defensif dan melindungi diri ketika terjadi suatu pelanggaran.

"Itu yang lebih penting," ujarnya. "Bagaimana keterbukaan dan mau diperiksa jika ada kesalahan. Kalau sekadar briefing, enggak akan efektif (mencegah pelanggaran HAM)."

Soal uang Labora dan sikap represif

Selain soal penanganan terorisme, Tito juga ditanya perihal dugaan aliran dana Aiptu Labora Sitorus, perwira polisi pemilik rekening gendut, semasa menjabat Kepala Polda Papua dan sikap represifnya saat menjadi Kapolda Metro Jaya.

Tito menyangkal dirinya menerima duit dari Labora, yang diberikan lewat Kepala Polres Raja Ampat. "Saya enggak terima," ujarnya.

Adapun soal bersikap represif karena menangkap pendemo dan aktivis dalam unjuk rasa di depan Istana Kepresiden, Oktober 2015, Tito menyebutnya sebagai keputusan yang memang harus diambil aparat.

Pasalnya, para pendemo dan aktivis bergeming dengan peringatan yang telah diberikan. Mereka, lanjut Tito, mengancam menginap di lokasi hingga tuntutan dipenuhi. Padahal sesuai aturan, demonstrasi tak boleh digelar selepas magrib.

"Kami menegakkan hukum. Kalau tidak, akan menjadi preseden buruk," ujarnya.

Anggota tim advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ganto Alamsyah tak sependapat dengan pembelaan Tito. Ganto menilai, aparat kepolisian salah paham memaknai peraturan sehingga menangkap para pendemo saat itu.

"Unjuk rasa Oktober itu tak bisa dipidana karena berlangsung damai," katanya dalam keterangan tertulis.

Dilantik Juli

Seusai uji kepatutan dan kelayakan, anggota Komisi III DPR Adies Kadir berharap Tito bisa membawa Polri menjadi lebih baik. "Target-target tercapai," kata politikus Golkar ini.

Hal yang sama dikatakan Ketua Komisi III Bambang Soesatyo. "Semoga tak ada lagi kriminalisasi perkara," ujarnya.

Meski akan dibahas di rapat paripurna DPR pada 27 Juni mendatang, jalan Tito menjadi Kapolri diyakini akan berjalan mulus. Menurut rencana, Tito akan dilantik menggantikan Jenderal Badrodin Haiti pada 1 Juli, usai upacara peringatan ke-70 Hari Bhayangkara.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.