Ketika Polemik LGBT Kian Merebak

Zahara Tiba
2016.02.26
Jakarta
160226_ID_LGBT_1000 Waria yang bekerja sebagai penata rias berbaris saat berlangsung kontes kecantikan di Banda Aceh, 24 Februari 2016.
AFP

Sambungan telepon tiba-tiba terputus. Petang itu, Kamis 25 Februari 2016, pria yang menjabat Sekretaris OurVoice – organisasi penggiat kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) – tengah diwawancara BeritaBenar mengenai aktivitasnya di komunitas tersebut.

Dicoba hubungi lagi, tak ada jawaban. Sekitar tujuh menit kemudian, sambungan telepon baru kembali aktif. Hartoyo, pria itu, mengaku sengaja menutup telepon karena khawatir.

"Tiba-tiba ada orang mengetuk pintu rumah aku. Aku takut. Aku kunci pintu dulu. Aku khawatir ada orang yang mendengar, karena tadi aku pakai speaker dan bicara lumayan keras," tuturnya dengan nada suara lebih pelan.

Sejak merebaknya isu LGBT dalam beberapa pekan terakhir, Hartoyo mengaku kerap menerima ancaman. Tak hanya dia, hampir semua komunitas LGBT di Indonesia dalam posisi makin sulit dan semakin terdiskriminasi.  Di Yogyakarta komunitas LGBT bahkan menerima ancaman lebih keras setelah sekelompok massa mengeluarkan pernyataan akan bertindak jika mereka tak menghentikan kegiatannya.

Larangan KPI

Ketika LGBT sedang memperjuangkan kesetaraan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuat keputusan yang melarang televisi nasional menayangkan acara-acara yang disebut mempromosikan kegiatan LGBT.

Dalam diskusi terbatas tentang "penyimpangan" orientasi seksual di kantor KPI, baru-baru ini, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad mengatakan keputusan itu “untuk melindungi anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku LGBT.”

Karenanya media massa, khususnya televisi dan radio, dilarang memberi ruang yang dapat menjadikan perilaku LGBT sebagai hal lumrah. Di laman resminya, KPI mengatakan bahwa aturan pelarangan itu sudah jelas.

Idy juga mengingatkan Undang-Undang (UU) Penyiaran menyebutkan tujuan penyelengaraan penyiaran adalah “untuk membina watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa.”

Wakil Presiden Marketing Public Relations TRANS TV dan CNN Indonesia, Hadiansyah Lubis yang dihubungi BeritaBenar mendukung keputusan KPI.

“Kami sepakat dengan KPI. Kita sudah komitmen tidak setuju dengan tayangan-tayangan seperti itu. Kami tidak pernah menayangkan acara-acara yang berbau LGBT. Kami ikuti saja keputusan tersebut sebagai warga negara yang baik. Kami menentang acara-acara yang berbau LGBT,” katanya.

'Keputusan gagap'

Menanggapi pelarangan itu, Hartoyo menilai “keputusan KPI gagap dan ambigu’. Pasalnya, kata dia, dalam UU Penyiaran ada semangat melindungi LGBT, dimana salah satu pasal melarang televisi menayangkan acara yang bisa merendahkan komunitas LGBT.

"Selama ini banyak tayangan komedi justru mengolok-olok kaum LGBT sebagai lelucon," jelasnya.

"Keputusan itu malah menebar kebencian dan homofobia. Dalam keputusan KPI disebutkan larangan berperilaku kewanita-wanitaan di tayangan televisi. Ini menunjukkan mereka tidak paham identitas gender dan orientasi seksual."

Pendapat senada diutarakan Susanna Magiyuani. Manajer Sumber Daya Manusia SuaraKita, organisasi penggiat LGBT lain, itu mempertanyakan kriteria tayangan LGBT yang dilarang KPI.

“Kalau tayangan-tayangan berbau LGBT tapi mendidik, saya pikir tidak masalah. Selama ini, tayangan-tayangan LGBT lebih banyak mengarah ke pelecehan dan lucu-lucuan demi mengejar rating,” ujarnya kepada BeritaBenar.

“Saya tidak tahu yang dilarang KPI seperti apa. Harusnya pelarangan dilakukan terhadap tayangan-tayangan yang mengandung kekerasan dan pelecehan karena tidak mendidik, baik terkait LGBT atau bukan. Kalau tayangan demi kesetaraan dan perdamaian, itu baik. Tapi seperti itu kan tidak ada,” tambahnya.

Ia mengingatkan pihak berwenang yang terlibat dalam pelarangan itu agar lebih banyak berdiskusi dan meluaskan pengetahuan sebelum membuat keputusan.

Kelompok anti-LGBT menghadang pengunjuk rasa pro-LGBT dalam aksi protes di Yogyakarta, 23 Februari 2016. AFP

'Perang proksi'

Penolakan terhadap kehadiran LBGT lebih keras disuarakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Dia mengklaim, kemunculan LGBT di Indonesia sebagai bagian dari proxy war atau perang proksi untuk menguasai suatu bangsa, tanpa perlu mengirim pasukan militer.

“Sejak 15 tahun lalu, saya sudah buat (tulisan) perang modern, itu sama modelnya. Perang murah meriah," katanya, 23 Februari 2016 lalu, seperti dilansir situs Tempo.co.

"(LGBT) bahaya dong, kita tak bisa melihat (lawan), tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya," tambahnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai  kalau pernyataan anti-LGBT sudah berupa larangan, dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminatif.

Untuk itu, pemerintah diminta berperan aktif dalam mencegah dan penindakan hukum. "Kami meminta Presiden Jokowi untuk memerintahkan jajarannya agar memberikan perlindungan hak asasi dan jaminan keamanan kepada kelompok LGBT di Indonesia," tutur Azhar, seperti dikutip Kompas.com, Kamis.

Sejauh ini Presiden Jokowi belum memberikan komentar apapun mengenai berbagai kecaman dan pernyataan diskriminatif terhadap kelompok LGBT dari publik maupun dari anggota kabinetnya sendiri.

Fokus pendidikan publik

Hartoyo menyatakan bahwa sejak didirikan tahun 2009, OurVoice memfokuskan kegiatan pada pendidikan baik terhadap kaum LGBT maupun publik, termasuk mahasiswa. Caranya melalui sosialisasi di media dan diskusi publik.

"Kami tidak menyuruh mereka menjadi gay. Jika akhirnya mereka nanti menikah dengan lawan jenis, itu hak mereka. Mereka yang menentukan pilihan mereka sendiri, selama keputusan tersebut diambil tanpa tekanan," tegasnya.

Hartoyo mengklaim respon positif datang dari mahasiswa lewat diskusi-diskusi yang digelar OurVoice.

"Mahasiswa menurut saya jauh lebih progresif dibandingkan dosen-dosennya. Mungkin karena beda generasi. Isu ini sudah mereka pelajari dari internet dan keingintahuan tinggi. Isu ini unik, jadi mereka antusias," ujarnya.

Sementara itu Susanna menambahkan, kegiatan pendidikan juga dilakukan SuaraKita. Selama enam tahun berkecimpung di SuaraKita, dia banyak melakukan pendidikan publik dengan mengundang pakar dan tokoh agama, diskusi film, dan lain-lain.

“Saya hetero. Anak saya tiga orang. Sehari-hari saya hidup dengan teman-teman LGBT. Saya tahu betul kehidupan mereka. Kalau dikatakan LGBT menular, gaya hidup atau gangguan jiwa, mereka yang bilang itu harus banyak belajar,” ujarnya.

Dengan situasi seperti sekarang menyusul gencarnya penolakan, tutur Susanna, para aktivis SuaraKita terpaksa “tiarap”.

“Tapi, kami tetap komit untuk memberikan pendidikan pada publik,” tegasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.