PDIP pilih Pramono Anung maju Pilgub Jakarta, abaikan Anies Baswedan
2024.08.28
Jakarta
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pada Rabu mengejutkan publik menunjuk Pramono Anung, sekretaris kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan loyalis partai, sebagai calon gubernur Jakarta, mencoret mantan gubernur Anies Baswedan yang diduga akan dipilih karena elektabilitasnya tinggi.
Juru bicara PDIP Chiko Hakim mengatakan bahwa Pramono Anung, 61, memiliki pengalaman luas di legislatif dan sebagai menteri.
Namun, para analis menilai bahwa Pramono kurang dikenal di Jakarta dibandingkan dengan rivalnya, Ridwan Kamil, mantan wali kota Bandung dan gubernur Jawa Barat, yang merupakan calon dari koalisi presiden terpilih Prabowo Subianto dan 13 partai pendukungnya, yang kemungkinan unggul pada Pilkada 27 November mendatang.
Pramono, yang elektabilitasnya belum terukur, muncul bersama pasangannya aktor lawas, Rano Karno, sebagai pasangan calon pertama yang mendaftar, sebelum pasangan Ridwan Kamil dan Suswono.
"Dengan pengalaman yang luas di partai, sebagai legislator, wakil ketua DPR, dan kemudian menteri, Pramono Anung diharapkan dapat memberikan solusi terbaik untuk Jakarta," kata Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, kepada wartawan di Jakarta.
"Kemampuan Mas Pram dalam komunikasi politik, lobi, dan mengamankan dukungan dari semua partai politik akan menjadi aset berharga, terutama dalam membangun koneksi dengan publik," tambah Hasto.
Dalam sambutannya, Pramono menyatakan bahwa jika diberi kesempatan, ia akan berusaha untuk memperbaiki dan mengembangkan Jakarta.
“Dalam hidup saya, saya tidak pernah meminta posisi dari siapa pun, bahkan dari Ibu Mega (Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri) atau Pak Jokowi. Saya hanya mengandalkan kerja keras,” ujarnya.
Pramono pernah menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal PDIP pada tahun 2005 dan kemudian dipromosikan menjadi sekretaris jenderal.
Pramono Anung terpilih sebagai Wakil Ketua DPR RI untuk periode 2009-2014, dan pada 2015, ia diangkat menjadi Sekretaris Kabinet.
PDIP akhirnya bisa mencalonkan kandidat untuk pemilihan gubernur Jakarta setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menurunkan ambang batas sebuah parpol bisa mencalonkan dari minimal 25% jumlah suara dalam pemilihan legislatif sebelumnya menjadi bisa di antara 7,5% - 10% suara.
Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi, PDIP tidak dapat mencalonkan kandidat karena tidak mampu berkoalisi dengan partai lain untuk memenuhi ambang batas.
PDIP hanya memiliki 15 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta, sementara minimal 22 kursi diperlukan untuk mencalonkan kandidat gubernur.
Dengan demikian, perebutan kursi gubernur Jakarta akan melibatkan tiga pasangan calon: Ridwan Kamil dan Suswono, Pramono Anung dan Rano Karno, serta satu pasangan independen, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana Abyoto.
Namun, pasangan Dharma-Kun belum mendaftar meskipun telah dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon independen oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta.
Batas akhir pandaftaran pasangan calon adalah 29 Agustus, untuk ditetapkan pada 22 September.
Ridwan Kamil dan Suswono didukung oleh 13 partai politik, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Garuda, Partai Gelora, Partai Perindo, Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Koalisi ini secara efektif menghalangi Anies Baswedan, gubernur Jakarta 2017-2022, untuk memasuki persaingan. Anies saat ini memiliki elektabilitas tertinggi di antara tokoh politik Jakarta, bahkan dibandingkan dengan Ridwan Kamil.
Partai modern
Firman Noor, profesor politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa dengan mencalonkan Pramono Anung dan Rano Karno, PDIP menegaskan komitmennya untuk mengutamakan kader internal pada setiap momen pemilihan.
Menurut Firman, PDIP tampaknya mengabaikan elektabilitas calon dan tidak hanya fokus pada kemenangan, tetapi lebih mengutamakan kader yang telah menjalani pendidikan dan pengembangan karir di dalam partai.
“Mereka ingin menunjukkan identitas mereka sebagai partai modern. Mereka memiliki prinsip; harus ada kader yang maju, bukan mendukung calon atau partai lain,” kata Firman.
Ambang Priyonggo, pengamat politik dari Universitas Multimedia Nusantara, mengungkapkan bahwa PDIP tidak mencalonkan Anies disebabkan oleh trauma politik Megawati terkait dukungan terhadap “orang luar” seperti Jokowi.
"Ini mirip dengan apa yang kita lihat pada pemilihan presiden," ujar Ambang kepada BenarNews, menambahkan bahwa posisi PDIP dengan 15 kursi di Jakarta tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Ketika peluang muncul setelah keputusan Mahkamah Konstitusi dan pembatalan revisi Undang-Undang Pilkada, PDIP berusaha mengoptimalkan kadernya,” tambah Ambang. Namun, ia mengakui bahwa keputusan untuk memilih Pramono mungkin kurang strategis secara politik.
“Pramono memiliki nol persen elektabilitas di Jakarta, dan mengandalkan popularitas Rano Karno juga tidak mencukupi,” katanya, menambahkan bahwa Anies, secara politik, seharusnya menjadi kandidat potensial untuk meningkatkan kekuatan politik PDIP.
“Namun, chemistry ideologinya tidak cocok untuk Anies di PDIP, yang masih menunjukkan politik kelembagaan yang patriarkal dan tertutup. Ini tidak sesuai dengan karakter Anies,” jelas Ambang.
Ali Sahab, pengamat politik dari Universitas Airlangga, menyatakan bahwa penunjukan Pramono Anung menggantikan Anies Baswedan mencerminkan dinamika politik di tubuh PDIP.
“Situasi ini muncul akibat adanya oposisi internal di PDIP antara faksi yang mendukung Anies dan yang menolak pencalonan Anies,” kata Ali kepada BenarNews.
Menurut Ali, peluang Pramono untuk menang cukup menantang karena partai-partai koalisi Presiden terpilih Prabowo Subianto, atau KIM Plus, memegang jumlah suara partai yang signifikan.
Mereka kemungkinan akan tetap bersatu jika Pramono yang menjadi kandidat karena elektabilitasnya yang lebih rendah dibandingkan Ridwan Kamil.
“Tetapi jika Anies yang menjadi kandidat, KIM Plus akan kehilangan banyak suara,” tambah Ali.
Ali menilai Anies lebih populer dibandingkan Ridwan karena ia telah efektif dalam menangani kebutuhan Jakarta dan memenuhi janjinya selama masa jabatannya.
“Pengecualian Anies merupakan bentuk kartelisasi partai terhadap calon non-partai, meskipun mereka berkualitas. Jika tindakan partai dianggap tidak selaras dengan aspirasi publik Jakarta, masyarakat dapat menarik dukungan dengan tidak memberikan suara,” jelas Ali.
Ali juga menjelaskan bahwa Anies ditakuti oleh kartel politik karena penolakannya terhadap reklamasi pantai utara Jakarta, yang direncanakan untuk kawasan elit namun ditentang oleh Anies.
“Anies terbukti berani menghadapi pelanggaran prosedural oleh pelaku usaha dan berpihak pada masyarakat umum,” kata Ali.
Wasisto Raharjo Jati, pengamat politik dari BRIN, menjelaskan bahwa Pramono dipilih karena pengalamannya yang luas dalam peran politik dan pemerintahan. Pramono memiliki rekam jejak panjang dalam fungsi legislatif maupun eksekutif.
“Dalam siklus pemilihan ini, pemain utama adalah koalisi politik, bukan figur individu yang mereka dukung. Oleh karena itu, sepopuler apa pun figur tersebut, jika tidak memiliki dukungan politik, mereka tetap akan menghadapi tantangan,” kata Wasisto.
Pizaro Gozali Idrus turut berkontribusi dalam artikel ini.