Jelang Pilgub, Politik di Papua Barat Memanas
2016.04.01
Manokwari
Ketegangan politik menjelang pemilihan Gubernur (Pilgub) Papua Barat diperkirakan semakin memanas bila pemerintah gagal memastikan keanggotaan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) periode 2016-2021.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Manokwari, Filep Wamafma, yang pernah menjabat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua Barat, mengatakan ketegangan itu bisa mirip dengan Pilgub Papua Barat tahun 2011.
“Waktu itu terjadi tarik-menarik kewenangan KPU dan DPR Papua Barat. Pangkalnya bersumber dari identitas orang asli Papua yang berimbas pada tahapan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah),” katanya kepada BeritaBenar, Kamis, 31 Maret 2016.
Majelis Rakyat Papua adalah lembaga representasi kultural sesuai UU Otsus Papua. Secara institusional MRPB memiliki tiga kelompok kerja (Pokja) Agama, Adat dan Perempuan.
Selain banyak tugas lain, lembaga ini punya wewenang mengeluarkan keputusan politis tentang identitas keaslian orang Papua baik kepada calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah dalam Pilkada tingkat provinsi.
Setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur harus mendapat persetujuan tertulis dari MRPB untuk bisa dinyatakan sah sebagai kandidat bila bertarung dalam Pilgub.
MRPB terbentuk melalui ketegangan politik antar para calon gubernur dalam Pilgub 2011. Saat itu kewenangan penentuan identitas keaslian orang Papua masih ditentukan oleh MRP.
Karena ada beberapa calon yang merasa “dijegal” oleh MRP, momentum itu dipakai untuk membentuk MRPB dengan jumlah anggota 33 orang, yang dipilih oleh perwakilan adat, agama, dan perempuan.
Dalam ketidakpastian
Saat ini MRPB berada dalam ketidakpastian. Selain masa keanggotaan periode 2011-2016 akan berakhir 12 April 2016, Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) MRPB periode 2016-2021 belum ada.
Padahal, jelas Filep, sebelum memilih anggota MRPB periode 2016-2021, pemerintah harus menetapkan Perdasus keanggotaan dan jumlah MRP.
“Pemerintah juga harus menetapkan Perdasi tata cara pemilihan anggota,” katanya.
Menurut dia, dengan sisa waktu beberapa hari lagi, Gubernur Papua Barat perlu turun tangan agar Perdasus dan Perdasi MRPB segera disahkan.
“Jika MRPB belum punya Perdasus dan Perdasi hingga 12 April nanti, status kelembagaan dan anggota MRPB dinyatakan tidak ada,” ujarnya.
“Penyelenggaraan dan tahapan Pilgub 2017 akan cacat hukum karena KPU Papua Barat tidak bisa jalan sendiri tanpa keberadaan MRPB,” tambah Filep.
Ketua DPR Papua Barat (DPRPB) Pieters Kondjol tidak menampik bahwa waktu yang tinggal 11 hari lagi dapat menghambat pengesahan Perdasus dan Perdasi MRPB meski drafnya akan diserahkan dalam waktu dekat.
Karena itu ia menyarankan pemerintah Papua Barat dan Menteri Dalam Negeri memperpanjang masa keanggotaan MRPB agar tidak terjadi kevakuman.
Meski menyesali keterlambatan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) menyerahkan draf Perdasus dan Perdasi ke DPRPB, Pieters mengimbau masyarakat tetap tenang.
Beberapa hari lalu, para aktivis Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Papua (AMPP) melakukan aksi demonstrasi untuk mendesak segera memilih anggota MRPB baru. Pada Jumat, 1 April 2016, utusan suku Doreri, salah satu suku asli Manokwari, mendatangi gedung DPRPB untuk meminta keterwakilan dalam MRPB.
Draf ditarik kembali
Kepala Kesbangpol Papua Barat, Albert Nakoh mengaku draf Perdasus dan Perdasi MRPB telah diserahkan ke DPRPB, tapi kemudian ditarik kembali karena belum dilengkapi kajian akademik.
Kepala Biro Hukum Pemerintah Papua Barat Wafik Wuryanto mengatakan, Kesbangpol pernah menyerahkan draf Perdasus tentang MRPB ke Biro Hukum awal 2014. Dokumen itu kemudian dilanjutkan ke DPR dan pembahasannya diagendakan tahun 2015.
“Kami tidak tahu ketika dokumen itu ditarik,” jelas Wafik kepada BeritaBenar.
Alberth mengaku draf sudah siap untuk diserahkan lagi ke DPRPB pada pekan depan.
“Saat ini dokumen sedang dipelajari Dirjen Otda Kemendagri. Setelah kami terima nanti, akan diserahkan ke DPR Papua Barat,” katanya.
Albert mengatakan status anggota MRPB saat ini bisa diperpanjang sebagai antisipasi agar tidak terjadi kekosongan. Perpanjangan berlaku paling lama tiga bulan hingga anggota baru dilantik.
Ketika ditanya dasar hukum dipakai untuk memperpanjang masa keanggotaan tersebut, dia menjawab, “Itu nanti urusan Mendagri.”