Petugas KPPS Meninggal Bertambah Menjadi Lebih dari 200 Orang

Desakan meninjau ulang pola pemilihan serentak terus berkembang.
Arie Firdaus
2019.04.25
Jakarta
190425_ID_pollingstation_workers_1000.jpg Anggota Bawaslu memotret petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang sedang memeriksa kotak suara sebelum pencoblosan dimulai di sebuah TPS di Banda Aceh, 17 April 2019.
Nurdin Hasan/BeritaBenar

Jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan polisi yang meninggal terutama diakibatkan kelelahan berkaitan dengan tugas pemilihan umum minggu lalu terus bertambah hingga mencapai lebih dari 200 jiwa, demikian kata Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis.

Tingginya angka kematian tersebut membawa keprihatinan masyarakat dan mendorong seruan untuk ditinjaunya kembali undang-undang pelaksanaan Pemilu serentak.

"Bertambah, jumlah anggota wafat sebanyak 225 dan sakit 1.470," kata Viryan Aziz, komisioner KPU, kepada wartawan, Kamis, 25 April 2019.

Jumlah tersebut diluar dari 16 orang anggota kepolisian yang juga gugur dalam melaksanakan tugas pengamanan Pemilu.

“Ini jauh lebih banyak dari keseluruhan Pemilu 2014 yaitu sekitar 150 orang," kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik kepada BeritaBenar.

"Mayoritas mereka yang meninggal, diduga karena keletihan akibat beban tugas yang berat."

Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan petugas KPPS meninggal dunia terbesar yakni sebayak 56 orang, disusul Jawa Timur 39 orang dan Jawa Tengah 36 orang.

Dalam pengajuan kepada pemerintah beberapa waktu lalu, KPU meminta besaran santunan Rp30-36 juta untuk petugas yang meninggal dunia, maksimal Rp30 juta bagi yang menderita cacat, dan maksimal Rp16 juta bagi yang terluka.

Perihal ini pun telah disetujui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, kendati ia belum memastikan besarannya.

"Mengenai kepastian besaran (santunan), masih dihitung. Yang pasti, prinsipnya akan ada santunan dari pemerintah dan diberikan secepatnya," ujar Evi lagi.

"Karena teman-teman itu sangat berdedikasi terhadap tugas yang diemban."

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, menambahkan jumlah aparat yang meninggal saat mengawal Pemilu kali ini lebih banyak ketimbang lima tahun lalu.

Kala itu, tercatat delapan petugas kepolisian yang meninggal dunia.

"Kelelahan menjadi penyebab, selain durasi pengamanan yang lebih panjang karena sejak berangkat, persiapan pengamanan di TPS (tempat pemungutan suara) dan pengawalan," kata Dedi dalam keterangan di Mabes Polri.

Terkait antisipasi untuk mencegah bertambahnya korban, kepolisian akan membenahi sistem pembagian kerja (shift) personel di lapangan.

"Itu hasil evaluasi dari Asisten Sumber Daya Manusia Polri. Selain meminta seluruh kepolisian daerah untuk menambah asupan vitamin untuk menjaga stamina," jelas Dedi, tanpa memerinci durasi shift terbaru yang diterapkan.

Tinjau ulang

Sebanyak 81 persen dari sekitar 192 juta warga ikut berpartisipasi dalam Pemilu bersejarah di Indonesia pada 17 April lalu, dimana untuk pertama kalinya pemilih langsung memberikan suara untuk menentukan calon presiden, wakil presiden, dan memilih 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 575 anggota DPR, serta 19.817 anggota legislatif (DPRD) di total 548 provinsi, kabupaten dan kota.

Sebelumnya, presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif dipilih pada waktu berbeda.

Anggota Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengatakan parlemen akan meninjau ulang pelaksanaan pencoblosan serentak seperti Pemilu 2019.

"Khusus untuk Pemilu serentak ini, karena ini yang pertama, tentu banyak sekali catatan evaluasi kami. Setidaknya mengenai banyak sekali yang meninggal, sakit, dibanding Pemilu sebelumnya karena beban kerja yang berat," kata Ahmad, seperti dikutip dari laman Detik.com.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di laman sama, tak mempermasalahkan jika konsep pemilihan diubah, sehingga tak lagi digelar serentak. Namun menurutnya, hal itu masih harus dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR.

"Ini kan keputusan politik, enggak boleh dibicarakan di level kebijakan," katanya.

Keputusan menggelar Pemilu serentak dilaksanakan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi yang diajukan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak pada 2013. Mereka menginginkan Pemilu 2014 digelar simultan.

Dalam pertimbangannya ketika itu, koalisi menyebut pemilu serentak bisa menghemat anggaran negara Rp5-10 triliun.

Bahkan DPR ketika itu mengatakan pemilu serentak menghemat dana hingga Rp150 triliun.

Gugatan itu belakangan dikabulkan MK, tapi diputus untuk digelar pada 2019 karena gugatan kala itu didaftarkan terlalu mepet dengan pelaksanaan Pemilu 2014.

‘Tidak masuk akal’

Atas desakan mengubah pola pemilihan, Evi Novida tak mau mengomentari lebih lanjut dengan alasan komisi sedang berfokus dalam proses penghitungan suara.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berharap pemerintah dan DPR meninjau ulang tata cara pemilu serentak yang diamanatkan MK.

"Karena skema seperti ini sangat tidak masuk akal secara beban pekerjaan. Ini di luar kapasitas kerja normal seseorang," kata Titi saat dihubungi.

"Sedangkan tidak ada kompensasi kerja dan kesehatan yang diberikan."

Menurutnya, Pemilu serentak sebaiknya dibagi dua, yakni pemilihan tingkat pusat dan daerah.

Pemilihan presiden digelar berbarengan dengan pencoblosan DPR dan DPD, serta pemilihan serentak DPRD provinsi dan kabupaten/ kota pada waktu simultan pada waktu lain.

"Atau jika tetap seperti ini, pemilihan menggunakan rekapitulasi elektronik," pungkas Titi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.