Bangkai Pesawat di Tebing Bali Picu Kontroversi
2021.10.01
Badung
Badan sebuah pesawat Boeing 737-200 yang menghiasi ujung tebing di atas Pantai Nyang Nyang di Bali selatan sejak awal bulan lalu memicu reaksi beragam. Ada yang mengatakan bahwa kedatangan bangkai pesawat itu membawa berkah pariwisata, namun ada juga yang menganggap itu merusak pemandangan.
Badan pesawat berwarna putih itu berada di sisi selatan tebing berkapur setinggi kira-kira 30 meter di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan. Di bawahnya terhampar pantai berpasir putih dengan laut membiru. Sisi selatan tebing adalah laut lepas, Samudera Hindia.
Pantai Nyang Nyang berada di satu kawasan dengan Pura Luhur Uluwatu, salah satu pura besar bagi umat Hindu Bali yang juga lokasi wisata populer di Bali selatan dan jaraknya hanya sekitar 2 km.
Pantai ini populer sebagai tempat berselancar bagi turis, termasuk Felix Demin, warga Rusia yang sekarang tinggal di Bali.
Setelah sempat membuka usaha hotel di Pantai Nyang Nyang, tetapi kemudian tutup karena pandemi, Felix mencoba keberuntungan lain. Bekerja sama dengan pengusaha dari Jakarta, dia memasang badan pesawat Boeing 737-200 di lahan yang dia sewa dari penduduk setempat.
“Saya menyukai tempat ini dan ingin agar dia menarik lebih banyak orang ke sini. Karena itu saya membuat (atraksi) ini,” kata Felix kepada BenarNews pada Rabu (22/9) lalu.
“Semakin banyak yang datang akan bagus untuk ekonomi di sini karena orang bisa berbelanja di sini menghabiskan uang dan menjadi pendapatan warga lokal,” ujar Felix yang sudah tujuh tahun tinggal di Bali.
Eksperimen
Imam Prasetyo, wakil dari Sacredatos Group - kelompok yang terdiri dari pengusaha, investor dan aktivis sosial dari berbagai negara, mengatakan perusahaan tidak akan mengubah bangkai pesawat menjadi fasilitas lain, seperti hotel atau bar, seperti dugaan banyak orang.
“Kami ingin bikin social experiment. Kami ingin membangkitkan pariwisata Bali dengan beberapa metode,” ujarnya.
Salah satu metode tersebut, Imam melanjutkan, adalah dengan memindahkan bangkai pesawat itu ke Pantai Nyang Nyang. “Kita taruh saja. Mau dijadiin apa, biar nanti Tuhan yang atur,” katanya.
Menurut Imam, perusahaannya membeli pesawat buatan tahun 1982 itu sebagai barang rongsokan. Semula pesawat itu digunakan maskapai Mandala Air yang kemudian tutup.
Mereka pun membawa badan pesawat itu dari Surabaya ke kawasan Pandawa, berjarak sekitar 15 km dari tempat saat ini ke arah timur, namun, selama sekitar empat tahun, benda itu hanya diam di sana, di dalam tanah bekas galian batu kapur.
Awal tahun ini Sacredatos ingin mengembangkan lokasi di Pandawa itu menjadi beach club, sehingga sehingga pesawat itu dipindah ke Pantai Nyang Nyang.
Imam mengklaim, sejak bangkai pesawat itu dipasang di tebing Pantai Nyang Nyang, keramaian mulai terasa, setelah sebelumnya ekonomi setempat mati suri karena pandemi.
“Sekarang, ekonomi jadi hidup. Peningkatan ekonominya sudah terlihat meski baru sekitar seminggu terpasang,” ujarnya.
Pengunjung terus berdatangan. Untuk masuk, mereka harus membayar parkir seikhlasnya. Dalam sehari, kata Imam, mereka sudah bisa mendapatkan Rp 1 juta dari sebelumnya hanya Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu.
Hidup Kembali
Made Sukardiana, warga yang menyewakan tanahnya untuk tempat badan pesawat itu membuka warung di sebelahnya, setelah hampir dua tahun ini usaha dagangannya tutup.
Sebelum pandemi menghantam, dia mengaku bisa mendapatkan Rp1 juta per hari bahkan lebih dari pekerjaannya sebagai sopir.
Sejak adanya ikon pesawat itu, warungnya selalu kedatangan pengunjung.
“Sekarang tamu sampai saya tolak karena saking banyaknya, terutama pada Sabtu-Minggu,” ujar Sukardiana.
Eka Purnami, warga lain di Desa Pecatu, juga mendukung adanya pemasangan badan pesawat di desanya.
“Setidaknya sekarang lebih ramai lagi dibandingkan biasanya yang sepi,” kata Eka.
“Sekarang, sih, mau bikin apa-apa juga tidak apa-apa asal bisa mendatangkan turis, Pak,” lanjutnya.
Merusak pemandangan
Pada Rabu (22/9) siang pekan lalu saja, setidaknya ada tiga kali rombongan datang ke lokasi tersebut untuk berfoto-foto.
Di media sosial Instagram dan Twitter, foto-foto bangkai pesawat itu beredar. Namun, di saat yang sama juga memicu perdebatan. Alasannya, penempatan badan pesawat di atas tebing dekat pantai itu justru merusak pemandangan.
Robie Baria, termasuk salah satu warga Bali, yang mengkritik itu melalui akun Twitternya. “Usai ayunan, signage love, dan instalasi sarang burung, terbitlah bangkai pesawat,” tulis Robie di akun Twitternya @thenampale.
Beberapa pengguna Twitter lain juga mengatakan hal serupa.
Menurut Robie, pemasangan bangkai pesawat itu merupakan dampak dari kebutuhan turis terhadap objek-objek ikonik dan unik untuk difoto dan diunggah ke media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan Tiktok.
Robie menilai, tumbuhnya tempat wisata artifisial semacam itu pelan-pelan justru akan mengaburkan otentitas atau keaslian Bali dengan kebanggaannya sebagai tujuan wisata alam dan budaya.
“Seolah-olah Bali tidak percaya diri dengan keotentikan produk-produk budaya, entah itu arsitektur atau seni lainnya,” kata Robie, yang berprofesi sebagai fotografer itu, kepada BenarNews.
Berdasarkan obrolan dengan teman-temannya dari luar negeri, sebagian besar turis itu, menganggap Bali semakin bergeser ke arah daerah tujuan wisata (DTW) artifisial. Hal itu justru mengkhawatirkan, tegasnya.
“Hal-hal yang fundamental dari Bali pelan-pelan bisa hilang diganti instalasi kekinian yang kemudian menyulap muka Bali tidak jauh beda dengan banyak kota lain di dunia,” ujar Robie.
Untuk itu, menurutnya, perlu ada regulasi dengan memadukan lintas disiplin ilmu, seperti pariwisata, antropologi, arsitek, seniman, dan sebagainya yang mengatur agar arsitektur ramah dan selaras lingkungan bisa terjaga, terutama di daerah tujuan wisata utama seperti daerah aliran sungai dan tebing.
“Biar tidak seenaknya bikin carut marut fasad pulau kita ini,” katanya.
Terhadap tudingan tersebut, Imam mengatakan, badan pesawat tersebut tidak merusak lingkungan karena tidak ada limbah apapun yang dibuang.
Adapun Felix menjawab bahwa membangkitkan pariwisata Bali saat ini lebih penting dibanding menjawab kontroversi. “Menilai itu gampang, yang sulit itu melakukan sesuatu. Buatlah sesuatu yang berguna dan berikan dampak pada warga di sekitarmu,” katanya.
Kepala Satpol PP Kabupaten Badung IGA Ketut Suryanegara mengatakan penempatan badan pesawat itu tidak melanggar aturan apapun karena dia bukan bangunan permanen.
Kawasan di mana badan pesawat itu berada, menurut Suryanegara,merupakan kawasan perlindungan jurang sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Badung 2018 – 2038.
“Selama badan pesawat itu hanya ditempatkan di sana dan tidak ada pembangunan fisik lain, maka tidak ada aturan yang dilanggar,” tegasnya.