Perubahan iklim, El Niño ancam hapuskan salah satu gletser tropis terakhir di dunia

Es yang menutupi gunung tertinggi di Indonesia, Puncak Jaya di Papua, terancam cair.
Tria Dianti dan Arie Firdaus
2023.08.23
Jakarta
Perubahan iklim, El Niño ancam hapuskan salah satu gletser tropis terakhir di dunia Salju tampak menutupi Puncak Jaya, bagian tertinggi dari Pegunungan Barisan Sudirman di Papua dalam foto tak bertanggal yang dirilis pada 2 Juli 2010.
David Christenson/Papua Project Freeport-McMoRan via AFP

Fenomena cuaca El Niño tahun ini bisa mempercepat hilangnya salah satu gletser tropis terakhir di dunia yang ada di Indonesia yang sudah terancam oleh perubahan iklim, kata Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Rabu.

Tutupan es yang berada di Puncak Jaya, gunung tertinggi di Tanah Air yang berada di wilayah Papua telah mencair hingga ketebalan 6 meter pada Desember 2022, dari 8 meter setahun sebelumnya dan 22 meter pada 2016, kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Dwikorita menyalahkan pemanasan global sebagai penyebab utama hilangnya es dengan cepat, serta terjadinya El Niño secara berkala, yaitu fluktuasi alami suhu laut yang memengaruhi pola cuaca di seluruh dunia.

“Ini berdampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah tersebut,” kata Dwikorita dalam sebuah pernyataan yang dimuat di situs BMKG.

“Ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam. Ditambah lagi, masyarakat adat setempat yang telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut,” tambahnya.

El Niño cenderung membawa kondisi cuaca yang lebih panas dan kering ke Indonesia, mengurangi curah hujan dan meningkatkan penguapan.

BMKG mengatakan bahwa El Niño terkuat yang pernah tercatat, yang terjadi pada 2015 dan 2016, telah mempercepat penurunan gletser hingga 5 meter per tahun.

Puncak Jaya dengan ketinggian 4,884 m di atas permukaan laut adalah bagian dari Pegunungan Barisan Sudirman yang membentang di Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini.

Gletser itu pertama kali didokumentasikan oleh penjelajah Eropa pada awal abad ke-20 dan sejak itu menarik banyak ilmuwan, peneliti dan pecinta alam yang kagum dengan keberadaannya di negara tropis.

Namun sepanjang dekade-dekade berikutnya, gletser itu menyusut seiring meningkatnya suhu dan menurunnya curah hujan.

Tampilan gletser di Puncak Jaya di Papua pada Juni 2002 (kiri) dan Juni 2022. [Maxar Technologies]
Tampilan gletser di Puncak Jaya di Papua pada Juni 2002 (kiri) dan Juni 2022. [Maxar Technologies]

Pada 2010, sebuah tim ilmuwan dari Ohio State University dan BMKG mengambil inti es dari gletser itu dan menemukan bukti sejarah panjang dan sensitivitasnya terhadap perubahan iklim.

Ilmuwan memperkirakan bahwa gletser itu telah ada selama setidaknya 5.000 tahun dan telah bertahan dari periode hangat sebelumnya.

Puncak Jaya berada tidak jauh dari tambang tembaga dan emas raksasa PT Freeport Indonesia, yang kerap dituduh menyebabkan kerusakan lingkungan dan terlibat pada pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

Kelompok separatis Gerakan Papua Merdeka telah menyerang fasilitas dan pekerja tambang beberapa kali, terakhir pada 2020 yang menewaskan seorang karyawan asal Selandia Baru dan melukai enam orang lainnya.

Donaldi Sukma Permana, seorang ahli klimatologi yang memimpin studi tentang dampak perubahan iklim terhadap gletser di Puncak Jaya, mengatakan bahwa es telah menipis sekitar 2,5 meter per tahun dari 2016 hingga 2022.

Dia mengatakan bahwa tutupan es itu sekitar 0,23 kilometer persegi tahun lalu dan terus mencair. “Dampak nyata lain dari mencairnya es di gunung adalah kontribusinya terhadap kenaikan permukaan laut global,” yang bisa memengaruhi jutaan orang yang tinggal di daerah pesisir rendah di Indonesia dan negara lain, katanya.

Khudori, seorang ahli pertanian di Asosiasi Ekonom Politik Indonesia, mengatakan bahwa pemerintah juga harus membantu masyarakat setempat untuk beradaptasi.

"Jika akhirnya es betul-betul hilang, pasti mengubah ekosistem setempat dan juga kebiasaan pertanian masyarakat di sekitarnya yang telah terbentuk puluhan tahun," ujar Khudori kepada BenarNews.

Secara umum, Khudori menyebut frekuensi anomali iklim seperti curah hujan tinggi yang mengakibatkan banjir atau kekeringan memang semakin sering.

Sebelum tahun 80-an, anomali berulang setiap tujuh tahun sekali, namun memendek menjadi 2-3 tahun setelah periode tersebut.

"Saya membaca data BMKG, frekuensi pengulangan anomali itu semakin cepat. Jadi, perlu respons dari pemerintah untuk memastikan masyarakat dapat beradaptasi," ujar Khudori.

Pakar Manajemen Resiko Iklim, Adaptasi & Mitigasi Perubahan Iklim dari Insititut Pertanian Bogor Rizaldy Boer mengatakan dampak pencairan es Puncak Jaya bersifat ekologis karena flora dan fauna di sana pasti berubah.

"Spesies tertentu bisa punah. Yang terakhir, sejak pencairan es semakin parah dalam 10 tahun terakhir, sudah ada jenis katak yang punah di sana," ujarnya kepada BenarNews.

Selain itu, dampak terhadap lingkungan sekitar dan masyarakat adalah potensi terjadinya bencana alam.

"Karena pegunungan yang es mencair biasanya akan banjir di daerah bawahnya. Seperti di Mongolia, es di gunung yang mencair menyebabkan banjir di perkampungan di bawahnya," katanya.

Menurutnya, pencairan es di Puncak Jaya sudah lama terjadi. Tak hanya karena faktor El Niño tapi juga faktor alam dan perubahan iklim lainnya.

“El Niño sekarang hanya mempercepatnya. Tren peningkatan suhu pun terus meningkat dari tahun ke tahun," paparnya.

El Niño sekarang, ujar dia akan membuat cuaca lebih panas. Hujan turun pun sedikit yang membuat pembentukan es menjadi sulit. Padahal kalau hujan kan bisa kembali membentuk es di sana, tapi tidak terjadi.

"Tidak ada yg bisa kita lakukan. Kita harus tinjau penggunaan energi fosil dan harus mengoptimalkan energi baru terbarukan, gerotermal, atau air," katanya

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.