Perpres untuk Lebih Libatkan Masyarakat Tangkal Ekstremisme Tuai Kritik

Pakar minta pemerintah untuk aktifkan lembaga yang ada daripada keluarkan peraturan baru yang berpotensi polarisasi masyarakat.
Riza Chadijah
2021.01.25
Jakarta
Perpres untuk Lebih Libatkan Masyarakat Tangkal Ekstremisme Tuai Kritik Warga Jakarta melakukan acara renungan malam dengan penyalaan lilin untuk mengecam aksi terorisme dan mendukung para korban bom bunuh diri yang menyasar tiga gereja dan kantor polisi di Surabaya, 14 Mei 2018.
AFP

Peraturan Presiden tentang upaya untuk menangkal ekstremisme dengan kekerasan menuai kritik dari tokoh agama dan ahli hukum karena dikhawatirkan akan menyebabkan makin lebarnya polarisasi di masyarakat dengan dilibatkannya warga dalam “pemolisian”.

Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) tahun 2020-2024 ditandatangani Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 6 Januari 2021 dan dirilis di situs Sekretariat Kabinet pada Minggu (24/1).

“Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan,” sebut Perpres itu.

Pemerintah mengatakan keluarnya aturan itu didasari oleh semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia.

“Secara sosiologis politis ini ini dapat menimbulkan pertentangan di masyarakat,” kata pakar hukum dari Universitas Trisaktim, Abdul Fickar Hadjar, saat dihubungi BenarNews.

Lampiran dari Perpres yang dirilis Sekretariat Kabinet mengatakan warga akan dilibatkan melalui apa yang disebut "pelatihan pemolisian masyarakat”.

Pepres ini berisi sejumlah program yang akan melibatkan masyarakat untuk melaporkan tindakan-tindakan ekstrimisme. Tidak hanya masyarakat secara lebih luas, pemerintah juga akan melibatkan influencer dalam program ini.

Menurut Fickar, Indonesia telah memiliki sejumlah sistem dalam semua lini untuk mencegah penyebaran ekstrimisme dan radikalisme. Bahkan sejumlah badan telah dibentuk oleh pemerintah untuk menangani hal itu termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

“Pelibatan masyarakat dalam melaporkan sesuatu dugaan kegiatan atau tindak pidana, berpotensi menimbulkan polarisasi di masyarakat nantinya,” sebutnya.  

Karena itu dia menilai sebaiknya perpres itu dicabut dan meminta pemerintah untuk memaksimalkan lembaga terkait dalam penanganan dan pencegahan radikalisme dan terorisme.

"Jika lembaga yang sudah ada dioptimalkan, maka hak masyarakat menikmati hak atas keamanan hidupnya akan terjamin,” katanya.

Lampiran dari Perpres menyebutkan bahwa “dalam proses maupun pelaksanaannya, RAN PE memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan.”

Disebutkan bahwa RAN PE meliputi tiga pilar yaitu  pencegahan, penegakan hukum dan kemitraan dengan tujuan meningkatkan koordinasi antarkementerian dan lembaga, meningkatkan partisipasi pemda dan masyarakat sipil serta mengembangkan instrumen sistem pendataan dan pemantauan.

Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mempertanyakan urgensi dikeluarkanya Perpres tersebut.

“Perpres yang berlaku 2020-2024 seakan dimaksudkan untuk melindungi penguasa dan pejabat, bukan masyarakat dan rakyat. Apakah bisa dijamin, setelah 2024 Indonesia akan terlindungi dari ancaman ekstremisme dan terorisme?” kata Mu’ti, dalam keterangan tertulisnya di laman muhammadiyah.or.id, Minggu.

Mu’ti juga mengkritik definisi ekstrimisme yang dimaksud dalam aturan itu. Menurutnya definisi ekstrimisme dalam beleid tersebut berpotensi membatasi kebebasan berkeyakinan. 

Pada Pasal 1 ayat 2 Perpres itu disebutkan, ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan mendukung atau melakukan aksi terorisme.

“Keyakinan adalah sesuatu yang tidak nampak. Sebagian sikap dan tindakan seseorang dilandasi keyakinan. Namun, tidak semua keyakinan diekspresikan dalam sikap dan perbuatan,” tulisnya.

Sebelumnya  Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko meminta publik untuk “rasional.” Menurutnya, perpres itu dibuat untuk menambah kekuatan keamanan  yang tidak berimbang dengan rasio jumlah penduduk.

"Jumlah polisi kita itu sekitar 470.000, jumlah penduduk kita sekitar anggaplah 270 juta. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola kurang lebih 500 masyarakat. Padahal di Jepang itu hanya 1:50," katanya kepada wartawan, Kamis pekan lalu.

Moeldoko juga mengatakan, adanya pelibatan seluruh elemen masyarakat ini dinilai dapat meningkatkan kewaspadaan akan potensi ekstremisme dan terorisme.

"Persoalan Kamtibmas itu tidak bisa hanya ditangani oleh kepolisian, negara, pemerintah, dan Pemda. Maka perlu pelibatan seluruh masyarakat Indonesia. Sifatnya adalah pemberdayaan. Itu saya pikir bagian dari demokrasi," ujarnya.

Eks HTI dilarang ikut Pemilu

Selain soal Pepres ekstremis yang menjadi perdebatan, Pemerintah dan DPR saat ini sedang menyusun revisi Undang-undang tentang pemilihan umum, yang salah satu pasalnya mencabut hak politik bekas anggota dan simpatisan Hizbut Thahrir Indonesia (HTI).

Rencana revisi aturan ini juga mengundang kontroversi. HTI sebelumnya telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia.

Pasal 182 Ayat (2) huruf jj dalam draf rancangan revisi Undang-undang pemilu itu, tertulis peserta pemilu bukan bekas anggota HTI. Selain itu, pada Pasal 311, Pasal 349 dan Pasal 357 draf revisi UU Pemilu juga mewajibkan para calon presiden dan calon kepala daerah wajib melampirkan persyaratan administrasi berupa surat keterangan dari pihak kepolisian sebagai bukti tak terlibat organisasi HTI.

Revisi undang-undang Pemilu itu masuk dalam program legislasi nasional tahun ini. Dalan draf revisi UU Pemilu juga disebut pilkada berikutnya akan digelar pada 2022 dan 2023 mendatang.

Ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengaku tak setuju dengan revisi undang-undang pemilu itu, apalagi soal pelarangan mantan tokoh HTI untuk maju di pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.

"Saya mengatakan tadi, kita menghargai semua pendapat kawan-kawan. Tapi kami tidak setuju itu,” kata Zulkifli kepada wartawan, di kompleks DPR, Senayan.

Menurutnya, UU Pemilu saat ini masih relevan untuk digunakan sampai empat pemilu ke depan. Wakil Ketua MPR RI itu menegaskan PAN masih mendukung legislasi yang berlaku saat ini.

Penangkapan terduga teroris di Aceh

Sementara itu Tim Densus 88 Polri dibantu Polda Aceh menangkap lima orang yang disebut sebagai anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang terafiliasi dengan Negara Islam (ISIS), di tiga daerah di Aceh.

Kelima terduga teroris yang diamankan petugas itu, masing-masing berinisial UM alias AA alias TA, inisial SA alias S, inisial SJ alias AF, inisial MY dan inisial RA. Selama ini mereka menekuni berbagai profesi diantaranya pedagang buah, dan tukang bangunan, pemilik usaha perikanan, yang ditangkap di Banda Aceh dan Aceh Besar. Sementara SJ alias AF yang ditangkap di  kota Langsa, adalah pegawai negeri di lingkungan pemerintah Aceh Timur.

Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Winardy mengatakan, dari keterangan yang diperoleh pihaknya, para teroris tersebut berencana melakukan sejumlah serangan di Aceh.

Polisi menemukan sejumlah bahan yang hendak dirakit untuk membuat bom, seperti pupuk KNO3 satu kilogram, bubuk arang aktif 250 gram, satu botol berisi 2.000 Pcs peluru baterai, dan potongan pipa besi untuk bahan pembuatan bom.

“Mereka berencana melakukan pembuatan bom yang akan digunakan aksi teror di wilayah hukum Aceh, dan selanjutnya mereka berencana berangkat ke Afghanistan untuk bergabung daulah ISIS," kata Winardy, saat dihubungi BenarNews.

Winardy menyebut daerah yang dituju di Afghanistan adalah Khurasan. Polisi juga mengamankan paspor kelimanya dan sejumlah dokumen pendukung untuk berangkat ke Afghanistan.

"Serta beberapa dokumen, seperti buku catatan sebagai penyampaian pesan yang berisi ancaman terhadap TNI Polri, pemerintah pusat, dan Pemerintah Aceh," katanya.

Winardy juga mengatakan, kelimannya merupakan bagian dari kelompok yang terlibat dalam serangan bom bunuh diri di Polrestabes Medan pada 13 November 2019, dan jaringan pembuatan bom teroris yang ditangkap di Riau.

"Mereka hanya satu pemahaman saja dengan kelompok yang ditangkap karena bom Mapolresta Medan. Tidak terlibat langsung," sebutnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.