Nadiem: Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Sudah Menjadi Pandemi

Kelompok Islam konservatif menolak peraturan Mendikbud yang bertujuan untuk menghentikan kekerasan seksual karena menilai kebijakan itu melegalkan zina.
Ronna Nirmala
2021.11.12
Jakarta
Nadiem: Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Sudah Menjadi Pandemi Aktivis yang tergabung dalam Gerak Perempuan menggelar aksi anti kekerasan seksual di depan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020.
AFP

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim pada Jumat (12/11) mengatakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi sudah menjadi pandemi, di tengah kontroversi soal peraturan yang dia tandatangani yang menurut kelompok Islam konservatif permisif terhadap seks di luar nikah. 

Survei Kementerian Pendidikan pada 2020 menemukan bahwa 77 persen dosen mengakui kekerasan seksual terjadi di kampus, namun hanya sepertiganya saja yang terlapor, kata Nadiem. Adapun mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. 

“Kita sedang berada dalam situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bisa dibilang situasi gawat, kita bukan hanya mengalami pandemi COVID-19, tetapi juga pandemi kekerasan seksual,” kata Nadiem, dalam diskusi daring. 

Nadiem mengatakan, fenomena tersebut terjadi akibat kekosongan hukum dalam pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

“Jadi kita ini dalam fenomena gunung es yang kalau kita garuk-garuk, terlihat sudah kasus kekerasan seksual di berbagai kampus,” ujar Nadiem.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang dikeluarkan baru-baru ini untuk mencegah kekerasan seksual di kampus, mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mencakup verbal, nonfisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. 

Beleid pasal itu juga mengkategorikan tindakan menyampaikan ucapan rayuan dan lelucon bernuansa seksual, diskriminasi atau pelecehan tampilan fisik sebagai kekerasan seksual. 

Permendikbud menyatakan bahwa kekerasan seksual termasuk “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan Korban” dan “membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.”

Tentangan

Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diteken pada 31 Agustus 2021 itu, namun demikian, mendapat tentangan dari organisasi Islam konservatif yang menilai peraturan itu justru melegalisasi perbuatan asusila dan seks di luar nikah. 

“Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak,” tulis Muhammadiyah dalam siaran persnya.

“Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” ujarnya. 

Muhammadiyah menambahkan, sanksi yang dijatuhkan kepada kampus yang terbukti ditemukan kasus kekerasan seksual berupa penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi juga tidak proporsional, berlebihan, dan represif. 

“Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan,” kata mereka. 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak setelah melakukan kajian terhadap Permendikbud, kata Cholil Nafis, salah satu ketua di lembaga itu.

Cholil mengatakan beleid itu bertentangan dengan norma keagamaan dan meminta kementerian untuk mencabut atau merevisinya.

“Permendikbudristek No.30 thn 2021 pasal 5 ayat 2 ttg kekerasan seksual memang bermasalah krn tolok ukurnya persetujuan (consent) korban. Padahal kejahatan seksual menurut norma Pancasila adalah agama atau kepercayaan. Jadi bukan atas dasar suka sama suka tapi krn dihalalkan. Cabut.” kata Cholil di Twitter

Merespons tuduhan itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nizar Ali mengatakan Permendikbud perlu dipahami secara utuh dan tidak dilepaskan dari konteks perlindungan bagi korban. 

“Di Permendikbud ini adalah konteks untuk pencegahan dan penindakan terhadap pelecehan seksual. Jadi tidak ada di situ kata-kata yang melegalkan zina. Tidak ada sama sekali yang mengatakan melegalkan zina. Itu salah besar," kata Nizar kepada Antara, Jumat.

Nadiem mengatakan bahwa peraturan yang dikeluarkannya mencoba menjabarkan definisi kekerasan seksual supaya hal “yang abu-abu kita jadikan hitam putih.”

“Jelas apa yang kita maksud. Permen ini ruang lingkupnya adalah siapapun, walaupun itu pelaku ataupun korban, selama mereka ada di dalam lingkungan kampus, permen ini berlaku,” ujarnya. 

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mendukung peraturan tersebut. "Kami mendukung kebijakan yang telah dikeluarkan Mas Menteri. Karenanya, kami segera mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung pemberlakuan Permendikbud tersebut di PTKN (Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri)," kata Yaqut dalam keterangan yang dirilis di laman Kementerian Agama, awal minggu ini.

‘Tepat waktu’

Ketua Komisi Nasional Perempuan Andy Yentriyani mengatakan tuduhan “suka sama suka” kerap dialamatkan kepada korban perempuan sehingga menyurutkan dan menghambat ruang gerak mereka untuk melaporkan kasus kekerasan seksual. 

“Menyalahkan perempuan korban dan menempatkan kekerasan seksual sebagai tindakan suka sama suka inilah bottle neck-nya, hambatan yang paling besar,” kata Andy dalam diskusi yang sama dengan Nadiem, Jumat. 

“Maka dari itu Komnas Perempuan sangat mengapresiasi langkah-langkah yang ditempuh Kemendikbud,” lanjutnya. 

Kasus kekerasan seksual di kampus belakangan kembali ramai setelah seorang mahasiswi di Universitas Riau membuat pengakuan atas dugaan tindakan pelecehan yang dilakukan dosennya di dalam lingkungan kampus.

Kasus yang terjadi pada akhir Oktober itu, telah masuk ke dalam tahap penyidikan oleh Kepolisian Daerah Riau tetapi belum ada nama tersangka yang diumumkan. 

Sementara itu, dosen yang disangkakan telah melaporkan balik kasus tersebut dengan tuduhan pencemaran nama baik serta menuntut ganti rugi hingga Rp10 miliar kepada korban. 

Keluarnya Permendikbud tepat waktu karena belakangan ini kerap muncul kepermukaan terjadinya kekerasan seksual di kalangan kampus,” kata Amiruddin, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 

Amiruddin menekankan bahwa substansi dari Permendikbud tersebut sejalan dengan penghormatan dan perlindungan HAM dan memiliki perspektif keadilan gender yang kuat. 

“Komnas HAM mendukung pemberlakuan Permendikbud itu demi mencegah kekerasan seksual terjadi, serta menjadi dasar untuk mengambil tindakan hukum kepada pelakunya,” kata Amiruddin.

Setara Institute, lembaga yang memonitor kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran HAM, mendesak pemerintah untuk segera menyosialisasikan Permendikbud lebih luas kepada masyarakat untuk mencegah adanya disinformasi terutama dari kelompok konservatif yang menyebut peraturan tersebut melegalisasi perbuatan zina.

“Pemerintah juga harus melakukan dialog yang lebih ekstensif dengan organisasi-organisasi keagamaan mengenai substansi hukum Permendikbud yang secara ideal melindungi perempuan dan korban kekerasan seksual di perguruan tinggi,” tulis Setara Institute.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.