‘Pengantin’, Kisah Buruh Migran Perempuan Terpapar Radikalisme
2018.08.10
Jakarta

Sambil menangis terbata-bata, Yati (50) yang bekerja sebagai tukang gorengan keliling di Cirebon, Jawa Barat, menceritakan kalau anaknya, Dian Yulia Novi (28) adalah penurut, tidak pernah menyusahkan orang tua dan menjadi tulang punggung keluarga.
“Nggak menyangka malah kejadian seperti ini,” kata Yati.
“Biasanya dia kumpul dengan adek-adeknya. Dia anak yang soleh dan ngak pernah nyakitin orangtua.”
Dian ialah calon “pengantin” yang divonis penjara 7 ½ tahun karena merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara, Jakarta, pada 11 Desember 2016. “Pengantin” merupakan sebutan bagi mereka yang siap melakukan aksi bom bunuh diri.
“Ibu akan menerima kamu, menerima anak kamu. Baik-baik di sana (penjara) supaya cepat balik,” ujar Yati menangis tersedu.
Itulah sepenggal cuplikan film dokumenter “Pengantin”, karya pengamat terorisme Noor Huda Ismail, berdurasi 33 menit yang ditayangkan Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) di Jakarta, Kamis malam, 9 Agustus 2018.
Film itu mengisahkan perjalanan peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Rizka Nurul, mendalami kisah tiga perempuan yang pernah jadi buruh migran yang terpapar radikalisme.
Dua di antaranya yaitu Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari (35) terlibat terorisme.
Sementara seorang lagi, Fatmawati Mizani, walaupun sempat terpapar jaringan radikal dan mengenal suami lewat media sosial, ia menolak doktrin untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
“Ini menjadi penelitian kami terhadap pekerja migran wanita dan proses mereka terlibat terorisme. Mereka terpapar radikalisme dan terorisme melalui media sosial, ada tertarik karena akan dinikahi,” ujar Rizka.
Butuh waktu lebih sebulan untuk meyakinkan kepolisian agar bisa bertemu Dian dan Ika yang kala itu ditahan di penjara Markas Komando (Mako) Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Rizka mengatakan Dian cenderung lebih tertutup dibandingkan Ika. Dian mulai terpapar terorisme melalui Facebook saat ingin mempelajari Islam lebih mendalam.
“Saya buka Facebook, status jihadis yang menginspirasi saya,” ujarnya.
Dian kemudian menikah dengan M. Nur Solikin untuk melakukan rencana amaliyah (aksi teror) yang dipahami sebagai pengorbanan nyawa untuk agama.
Dian menikah secara online, tanpa diketahui keluarganya dan melahirkan anak dalam penjara.
Begitu juga Ika, bekas tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong yang divonis 4 tahun penjara karena terbukti mendanai dan menginisiasi rencana amaliyah.
Ia menikah dengan pria yang dikenalnya dari media sosial pada 2015. Mereka baru bertemu di penjara, pertengahan 2017.
“Teman saya kenal suami dan dia bilang lagi nyari calon istri, waktu baru kenal juga tidak langsung mau menikah. Jalan dua bulanan baru merasa cocok mungkin jodoh,” kata Ika.
Saat itu, Ika bekerja di Hong Kong, sementara suami berada di sebuah pesantren di Jawa Timur. Wali hakim pernikahan itu adalah ustaz di pesantren.
“Saya hanya diberitahu akad nikah jam berapa setelah akad selesai baru dikabari lagi,” tuturnya.
Ika mengaku bosan dengan aktivitas yang dijalaninya sehingga memilih “hijrah” sebagai keputusan terbaik.
Lebih militan
Rizka menilai Dian dan Ika menunjukkan perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah menikah.
“Setelah mendapatkan suami, malah semakin militan mereka,” ungkapnya, menambahkan bahwa tidak tampak adanya penyesalan pada keduanya walaupun mereka kini dipenjara.
Noor Huda mengatakan media sosial efektif bagi pekerja migran untuk sekadar melepas lelah, kesepian karena jauh dari keluarga dan kegalauan hati sehingga mudah dimasuki radikalisme.
“Media sosial menjadi sarana mencari jodoh. Banyak yang mendekati pekerja wanita karena memanfaatkan dana mereka, mereka mandiri, banyak uang,” katanya.
Selain itu, bagi sebagian masyarakat, menjadi momok tersendiri saat perempuan belum menikah di usia 30 tahunan.
“Ini keadaan mendesak bagi sebagian perempuan Indonesia jadi rentan untuk dimasuki paham radikal,” ujarnya.
Menurut Huda, ada nilai kultur yang menyebabkan perempuan terlibat terorisme. Dian dan Ika, contohnya, baru mencoba mengenal agama setelah menjadi pekerja migran.
“Mereka merasa diterima di kelompok radikal. Ada rasa bangga ketika menjadi istri pria-pria memegang senjata, karena disegani, mereka menganggap jihadis, pahlawan,” ujar Huda.
“Mereka percaya after life (masuk yurga). Bagi mereka pembom bunuh diri bukan dosa.”
Dalam film tersebut Huda lebih mengedepankan pendekatan sisi personal individu Ika dan Dian.
“Mereka manusia biasa, Ika misalnya dulu pakaiannya minim, suka musik, kemudian dia bosan dari semua sifat hedonisme dan gaya hidupnya. Salah masuk ke dunia terorisme, ini yang bahaya,” kata Huda.
Namun demikian, ujarnya, “Pengantin” juga menggambarkan tidak semua pekerja migran gampang terpengaruh paham radikal. Ada sebagian besar yang berhasil di negeri orang.
“Minimnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab gampang dipengaruhi,” katanya seraya berharap film “Pengantin” bisa digunakan sebagai media pencegahan bagi pekerja migran di luar negeri agar tidak terpengaruh paham radikal.
Komisioner Komnas Perempuan, Riri Khariroh, menilai ada pergeseran peran perempuan dari hanya bersifat pendukung seperti mengurus logistik, mendidik anak dan mengurus rekrutmen menjadi tokoh utama dalam kegiatan terorisme.
“Dalam kurun waktu lima tahun terakhir sudah berubah. Sekarang perempuan berada di garis depan menjadi pelaku bunuh diri, mengumpulkan dana untuk operasi terorisme,” katanya.