Mengapa Perang Ukraina memiliki pengaruh penting bagi Asia Tenggara?
2025.02.26

Minggu ini menandai peringatan tiga tahun perang Rusia-Ukraina, sebuah konflik yang sebagian besar dipandang masyarakat di Asia Tenggara dengan ambivalensi, dan melabelinya sebagai "bukan perang kami."
Banyak orang di kawasan ini melihatnya sebagai konflik yang terutama melibatkan Amerika Serikat dan Rusia, tanpa memperhitungkan dampak kehancuran yang dialami Ukraina.
Namun, jika ditelaah lebih dekat, perang ini ternyata memiliki dampak yang lebih besar bagi Asia Tenggara daripada yang diakui, terutama mengingat perkembangan terbaru yang mengecualikan Ukraina dari posisi yang seharusnya dalam meja perundingan perdamaian.
Konflik yang signifikan bagi Asia Tenggara
Ketika Rusia menginvasi Ukraina tiga tahun lalu, negara-negara Asia Tenggara bergegas menghadapi dampaknya terhadap ketahanan pangan dan harga gas. Sebelum perang, hampir sepertiga impor gandum berasal dari Ukraina. Jumlah ini kini telah berkurang lebih dari setengahnya akibat penghancuran yang disengaja oleh Rusia terhadap produksi pertanian Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky memberikan konferensi pers di Kyiv pada 26 Februari 2025, di tengah invasi Rusia ke Ukraina. [Tetiana Dzhafarova/AFP]
Saat ini, banyak negara di Asia Tenggara telah melakukan diversifikasi akses terhadap gas, gandum, dan jagung. Namun, kesulitan masih terjadi dalam memperoleh pupuk, yang merupakan komponen penting dalam produksi pertanian di kawasan ini.
Harga semua komoditas ini masih lebih tinggi dibandingkan sebelum perang. Konflik ini terus memberikan tekanan terhadap harga secara global akibat pasokan yang lebih rendah dan gangguan rantai pasokan yang berkelanjutan.
Tak mengherankan, elit Asia Tenggara menganggap perang Rusia-Ukraina sebagai isu geopolitik ketiga terpenting bagi kawasan, dengan 39% responden dalam survei State of Southeast Asia Survey 2024 dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, setelah konflik di Gaza dan Laut China Selatan.
Elit dari tiga negara kecil di kawasan ini—Kamboja, Laos, dan Vietnam—menunjukkan tingkat kekhawatiran tertinggi, sementara Singapura, diikuti oleh Filipina, menjadi pendukung paling vokal di Asia Tenggara dalam mendukung Ukraina.
Dorongan untuk perdamaian
Awalnya, fokus Asia Tenggara terhadap perang ini berkisar pada konsekuensi ekonomi, tetapi seiring berjalannya waktu, perhatian lebih besar diberikan pada perlindungan kedaulatan Ukraina, keseimbangan hubungan dengan Rusia, China, dan Amerika Serikat, serta upaya mendorong perdamaian yang inklusif.
Presiden Indonesia saat itu Joko “Jokowi” Widodo berjalan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin di Istana Kremlin di Moskow, 30 Juni 2022. [Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden Indonesia]
Hingga saat ini, konflik Rusia-Ukraina telah merenggut hampir satu juta nyawa, termasuk lebih dari 40.000 warga sipil menurut Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR). Jumlah korban luka, terutama yang mengalami amputasi, bahkan lebih tinggi, memengaruhi keluarga dan mata pencaharian. Perang ini adalah salah satu yang terburuk di abad ke-21, sebanding dengan kehancuran di Gaza, Yaman, dan Myanmar.
Meskipun Asia Tenggara menyadari keterbatasan pengaruhnya terhadap perkembangan di Eropa, hal ini tidak menghentikan para pemimpin dan negara-negara di kawasan ASEAN untuk mendorong perdamaian.
Presiden Prabowo dan pendahulunya Joko “Jokowi” Widodo telah menawarkan diri untuk menengahi konflik dan menyusun rencana perdamaian, sementara Singapura, Indonesia, Filipina, dan Thailand turut berpartisipasi dalam KTT Perdamaian tahun lalu di Swiss. ASEAN secara rutin menyerukan penghentian pertempuran dan telah berperan aktif secara internasional dalam mencapai tujuan ini.
Negara-negara Asia Tenggara secara konsisten menyerukan agar Rusia dan Ukraina menjadi bagian dari negosiasi perdamaian, dengan pengakuan implisit terhadap kedaulatan Ukraina.
Meskipun terdapat perbedaan dalam seberapa jauh masing-masing negara di kawasan ini bersedia mendukung Ukraina—terutama bagi mereka yang memiliki hubungan lebih dekat dengan Rusia—Asia Tenggara tetap menghormati norma-norma internasional terkait kedaulatan.
Meskipun terdapat perbedaan dalam seberapa jauh masing-masing negara di kawasan ini bersedia mendukung Ukraina—terutama bagi mereka yang memiliki hubungan lebih dekat dengan Rusia—Asia Tenggara tetap menghormati norma-norma internasional terkait kedaulatan.
Sejarah kolonial di kawasan ini memberikan pelajaran pahit tentang penciptaan perbatasan melalui kekerasan.
Asia Tenggara belajar dari pengalamannya sendiri di Kamboja bahwa proses perdamaian yang inklusif sangat penting, serta memahami bahwa perdamaian tidak dapat dipertahankan melalui pengucilan.
Berdasarkan pengalaman dalam membangun perdamaian di Filipina dan Aceh, serta rekonstruksi di Timor-Leste, terdapat apresiasi terhadap perlunya inklusi sosial yang luas dalam mempertahankan perdamaian, mulai dari melibatkan perempuan hingga menangani warisan kejahatan perang.
Keterlibatan Ukraina sangat penting untuk mencapai resolusi berkelanjutan atas konflik ini.
Mariana Betsa, Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina (kiri), menyampaikan pidato di Dewan Keamanan PBB sementara Menteri Luar Negeri Polandia Radoslaw Sikorski (kanan) mendengarkan di markas besar PBB di New York, 24 Februari 2025. [Richard Drew/AP]
Pemungutan suara di PBB minggu ini untuk perdamaian yang adil dan langgeng bagi Ukraina menunjukkan bahwa mayoritas negara di Asia Tenggara mendukung tujuan ini, dengan hanya tiga negara yang abstain—Brunei, Laos, dan Vietnam.
Perkembangan yang mengkhawatirkan
Pembatasan dalam diskusi Rusia-Ukraina dalam dua minggu terakhir tidak dianggap membantu. Faktanya, perkembangan terkini pemerintahan Presiden AS Donald Trump terkait Ukraina telah menimbulkan keresahan di Asia Tenggara.
Empat isu menarik perhatian.
Pertama, pemerintahan Trump tampaknya mengabaikan sekutu lamanya. Hal ini terbukti dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB minggu ini, di mana Amerika Serikat memberikan suara menentang penarikan Rusia dari Ukraina. Mengingat kecenderungan Trump terhadap Rusia, tampaknya hal ini akan terjadi, tetapi yang menonjol adalah persepsi antagonisme pribadinya yang ditujukan terhadap kepemimpinan Ukraina dan pengucilan Ukraina dari diskusi tingkat tinggi.
Kedua, kurangnya penghormatan terhadap kedaulatan Ukraina. Ini memperkuat pandangan yang mengkhawatirkan terhadap terkikisnya nilai-nilai norma internasional.
Ketiga, permintaan akan kekayaan mineral penting Ukraina. Hal ini khususnya sensitif bagi Asia Tenggara, karena kawasan tersebut memiliki deposit mineral yang cukup besar di mana mereka semakin bergantung padanya untuk pertumbuhan.
Keempat, penggunaan Ukraina sebagai alat untuk mengkalibrasi ulang hubungan dengan Eropa. Ini menyentuh luka lama di kawasan, di mana pertarungan antara kekuatan besar di Asia Tenggara telah menghancurkan masyarakat akibat konflik bersenjata.
Pola-pola terbaru ini – pengkhianatan terhadap sekutu, kurangnya rasa hormat terhadap kedaulatan, tuntutan transaksional yang bersifat memaksa dan hukuman sebagai contoh – telah meningkatkan kecemasan.
Munculnya tatanan global baru
Tatanan global sedang berubah, dan perubahan ini membawa risiko bagi Asia Tenggara.
Kesediaan Trump untuk mengakomodasi kepentingan kekuatan hegemonik regional – Rusia di Ukraina dan Tiongkok di Asia Tenggara – sangat mengkhawatirkan.
Seorang petani mengoperasikan mesin pemanen padi di sawah di Lhoknga, Provinsi Aceh, 23 Januari 2025. [Chaideer Mahyuddin/AFP]
Pendekatan "mari buat kesepakatan" negara-negara besar yang mengabaikan negara-negara berdaulat yang kurang kuat dapat menimbulkan implikasi geopolitik regional yang sangat tidak stabil.
Dalam beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat telah menjadi poros penting bagi perdamaian dan keamanan di Asia Tenggara, khususnya dalam melindungi jalur laut.
Di bawah Trump, Amerika Serikat sedang mengkalibrasi ulang hubungannya secara global, termasuk dengan Asia Tenggara. Penarikan jutaan dolar dalam bentuk bantuan asing untuk Myanmar telah menandakan adanya pergeseran dukungan untuk kawasan yang lebih demokratis dan stabil.
Bagi sebagian besar orang di Asia Tenggara, perang Rusia-Ukraina mungkin tampak jauh. Namun, pada peringatan tiga tahun, perang itu terasa lebih dekat dari yang terlihat.
Preseden yang mengabaikan norma-norma internasional bisa mempersulit upaya melindungi norma-norma tersebut di dalam negeri.