Jaksa: Tiga terdakwa penyeludup Rohingya ke Aceh terancam maksimum 15 tahun penjara
2024.03.26
Jantho, Aceh
Diperbaharui pada Rabu, 27 Maret 2024 pukul 11:54 WIB.
Tiga warga Myanmar terancam hukuman antara lima hingga 15 tahun penjara apabila terbukti menyelundupkan pengungsi Muslim Rohingya ke Indonesia, yang menyebabkan sedikitnya 11 orang tewas, menurut Pengadilan Negeri Jantho, Kabupaten Aceh Besar pada Selasa (26/3).
Jaksa Penuntut Umum Cut Mailina Ariani mengatakan bahwa ketiga terdakwa — Mohammed Amin Bin Abdul Jolil, 35, Anisul Hoque, 27, dan Habibul Basyar, 53 — berperan membawa 134 etnis minoritas Muslim di Myanmar ke Indonesia dari kamp pengungsian Cox's Bazar di Bangladesh.
Amin berperan sebagai nakhoda kapal, Anisul wakil nakhoda, dan Habibul teknisi kapal saat mereka mengarungi laut Andaman untuk mengangkut para pengungsi ke Indonesia hingga akhirnya perahu kayu yang mereka tumpangi merapat di perairan Aceh Besar, pada 10 Desember 2023, kata Mailina.
"Setiap pengungsi harus membayar uang 100.000 taka Bangladesh (sekitar Rp14.500.000) dan sebagian uang itu digunakan untuk membeli sebuah kapal nelayan seharga 2 juta taka, bekal makanan dan minuman serta perlengkapan lain untuk keperluan berangkat ke Indonesia,” kata Mailina kepada wartawan.
Saat Amin mengecek kapal kayu yang hendak dibeli dari nelayan Bangladesh, tambah Mailina, terdakwa Anisul dan Habibul turut serta dan keduanya memastikan bahwa perahu bertuliskan “NAZMA” dalam kondisi baik dan laik berlayar.
“Terdakwa Anisul membantu Amin secara bergantian mengemudi kapal dengan menggunakan alat penunjuk arah atau kompas untuk memastikan arah kapal menuju Indonesia. Sedangkan terdakwa Habibul bertanggung jawab terhadap kondisi mesin kapal,” jelas Mailina.
Ketiga terdakwa dijerat dengan Pasal 120 ayat 1 Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kata dia.
Kalau terbukti, mereka terancam hukuman minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara serta denda minimal Rp500 juta dan maksimal Rp1,5 miliar.
“Jadi, mereka sudah cocok disebut sebagai terduga penyeludup manusia,” kata Mailina.
Amin kepada wartawan membenarkan bahwa semua uang dikumpulkannya bersama beberapa rekannya dari para pengungsi Rohingya telah diserahkan kepada agen yang merupakan warga Bangladesh.
Dalam dakwaan, jaksa penuntut umum juga menyatakan bahwa Amin sebelumnya sudah pernah datang ke Aceh bersama 110 pengungsi Rohingya di Aceh Utara, November 2022.
Setelah empat bulan berada di tempat penampungan, dia melarikan diri untuk selanjutnya berangkat ke Malaysia, kata jaksa.
Amin mengaku bahwa dia pernah bekerja sebagai buruh bangunan di Malaysia pada 2006 hingga 2008. Kemudian, dia pulang ke kampung halamannya sampai akhirnya diusir militer Myanmar tahun 2017.
Pemerintah harus tegas
Menanggapi fenomena penyeludupan manusia berkedok pengungsi ini, pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan pemerintah harus tegas kepada para penyeludup manusia ke Indonesia.
Namun, kata dia, pemerintah juga harus mempertimbangkan faktor kemanusiaan terhadap para pengungsi Rohingya yang menyelamatkan diri dari kekerasan di Myanmar sehingga mereka mengarungi laut hingga sampai ke Indonesia.
“Kita harus bisa yang membedakan mana yang murni karena faktor keamanan, terancam keselamatannya, sehingga menjadi refugees,” kata Yon kepada BenarNews.
Yon mengatakan tidak bisa digeneralisasi bahwa para pengungsi Rohingya yang berdatangan ke Indonesia semuanya datang karena faktor perdagangan orang.
“Pemerintah tetap harus secara selektif dan juga memberikan hukuman yang tegas bagi mereka yang terlibat perdagangan orang,” ujar dia.
Angga Reynaldi, aktivis SUAKA, sebuah lembaga swadaya masyarakat pembela hak pengungsi, menyampaikan pemerintah juga harus memperhatikan aspek fair trial dalam melakukan pengadilan terhadap para tersangka.
Angga menegaskan bahwa Indonesia memiliki Perpres No 125 tahun 2016 yang merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menyelamatkan pengungsi.
“Jadi perlindungan HAM bagi kedatangan pengungsi Rohingya harus tetap dijalankan,” ujar Angga kepada BenarNews.
Ingin bebas
Dalam persidangan, Amin berharap majelis hakim bisa membebaskan dia dan kedua rekannya karena mereka, sama seperti Rohingya lainnya, adalah korban persekusi militer Myanmar.
Didampingi dua terdakwa lain dari balik jeruji besi saat diwawancara jurnalis, Amin mengaku sangat rindu untuk bertemu istri dan kedua anaknya yang kini ditampung bersama rombongan Rohingya lain di ruang bawah tanah Gedung Balee Meuseuraya Aceh, di seberang dari Kantor Gubernur Aceh.
“Saya tidak mau pulang lagi ke Myanmar atau tinggal di kamp pengungsian Bangladesh karena di sana tidak aman,” kata Amin.
“Banyak terjadi aksi kekerasan dan pemerasan di kamp pengungsian. Malah ada beberapa orang yang dibunuh,” kata dia yang dibenarkan dua terdakwa lain.
Kuasa hukum ketiga terdakwa, Tarmizi Yakub dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Aceh (YLBHA) mengatakan pasal yang dijerat JPU terhadap kliennya sangat tak adil karena mereka merupakan korban aksi genosida militer Myanmar.
“Ini sebenarnya bukan persoalan pidana, tapi persoalan administrasi karena pada saat terdakwa mendarat di Aceh, mereka belum memegang kartu UNHCR sebagai pengungsi. Tapi, sebelum penahanan (oleh polisi), mereka sudah memegang kartu UNCHR,” kata Tarmizi kepada wartawan.
Dalam persidangan berikutnya, Tarmizi akan berusaha menghadirkan ahli pidana hukum internasional dan pihak UNHCR sehingga menjadi bahan pertimbangan hakim.
“Semoga majelis hakim akan membebaskan mereka atau minimal memvonis dengan hukuman sebanyak mereka sudah menjalani penahanan sejak ditangkap polisi,” katanya.
UNCHR pada Januari mengungkapkan bahwa sebanyak 569 pengungsi Rohingya tewas atau hilang di laut saat mereka menjalani perjalanan yang sangat berbahaya di Laut Andaman dan Teluk Benggala. Jumlah korban tewas tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2014.
Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.