Desakan Penolakan Revisi UU KPK Menguat

Arie Firdaus
2016.02.19
Jakarta
160219_ID_KPK_1000 Para pengunjuk rasa menggelar aksi di gedung (KPK) di Jakarta, 18 Februari 2015, untuk mendukung lembaga anti-rasuah dalam memberantas korupsi di Indonesia.
AFP

Desakan agar revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dibatalkan terus menguat. Tak hanya kalangan aktivis, desakan itu juga mulai disuarakan partai politik.

Jika sebelumnya hanya Partai Gerindra yang tegas menolak revisi, sikap serupa kini ditunjukkan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bagi Demokrat, sinyalemen penolakan itu terlihat dari kicauan ketua umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di akun twitter pribadinya, @SBYudhoyono, pada 17 Februari lalu.

Lewat twitter-nya, SBY menyebut bahwa 70 persen responden dalam jajak pendapat yang dilakukannya, menolak revisi UU KPK. Hal ini menjadi pertimbangan partainya dalam bersikap.

"Suara rakyat seperti ini penting bagi saya dan juga Partai Demokrat, karena ternyata makin memperkuat sikap & pandangan kami," tulis mantan Presiden Indonesia itu.

Pernyataan SBY itu dikuatkan Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR, Didik Mukrianto. Menurutnya, Demokrat kini tegas menolak rencana revisi UU KPK.

"Karena konstruksi revisi itu melemahkan. Sepanjang draf revisi seperti sekarang, kami pasti tolak," ujar Didik saat dihubungi, Jumat, 19 Februari 2016.

Adapun sikap PKS dijabarkan Wakil Ketua Majelis Syuro, Hidayat Nur Wahid.

"Setelah dipelajari seksama, revisi itu justru melemahkan," ujar Hidayat kepada BeritaBenar.

Berubah di tengah jalan

Bagi Demokrat dan PKS, dukungan penolakan revisi UU KPK ibarat perubahan sikap di tengah jalan. Pasalnya ketika rapat Badan Legislasi DPR pada Rabu 10 Februari lalu, hanya Gerindra yang tegas menyuarakan penolakan.

Menanggapi perubahan sikap Demokrat dan PKS itu, Wakil Ketua Fraksi PDI-Perjuangan Hendrawan Supratikno menilainya sebagai kewajaran dalam politik.

"Ada spekulasi siapa yang menelpon siapa, lah," ujar Hendrawan mengutarakan pendapatnya kepada BeritaBenar, tanpa merinci lebih lanjut pihak-pihak yang dimaksud.

Perubahan konstelasi itu, kata dia, tak akan menyurutkan niat PDI-Perjuangan untuk menggolkan revisi UU KPK. Selama ini, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu paling getol ingin merevisi UU KPK.

"Itu pilihan," ujarnya. "Mau status-quo atau perubahan, silakan. Kami tetap ingin melakukan perubahan selektif."

Tak mengubah pendirian

Berbeda dengan fraksi-fraksi di DPR yang masih tarik-ulur soal revisi UU KPK, para aktivis  tetap bersikeras menolak revisi. Tama S Langkun dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai revisi ini kental dengan aroma politik untuk melemahkan KPK.

"Sulit mendapatkan revisi yang baik karena lembaga yang merevisinya tengah menangani perkara yang berhubungan dengan mereka sendiri," ujar Tama.

"Lagipula, itu (revisi) bukan kebutuhan mendesak. Selama 12 tahun ini, kinerja KPK cukup berprestasi dalam pemberantasan korupsi."

Sikap yang sama juga disuarakan mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

"Janggal kalau DPR yang mengusulkan. Faktanya, kan, banyak anggota DPR yang tertangkap karena korupsi selama ini," tegasnya kepada BeritaBenar.

Sejak 2015, beberapa politikus partai pendukung pemerintah memang terjerat korupsi, seperti Rio Capella dari Partai Nasdem, Dewie Yasin Limpo dari Hanura, dan Damayanti Wisnu Putranti dari PDI-P.

Bambang meminta Presiden Joko Widodo segera bersikap untuk menghentikan rencana revisi UU KPK. Sikap itu, lanjut Bambang, diperlukan untuk mematahkan dugaan barter aturan antara pemerintah dan DPR yang berkembang sejauh ini.

"Apa mau disebut orde korupsi? Katanya, kan, kita berada di orde reformasi," ujar Bambang.

Menilik draf UU KPK, poin-poin yang ditentang para aktivis karena berpotensi melemahkan KPK adalah penyadapan yang harus melalui izin ketua pengadilan dan keberadaan badan pengawas.

Khusus keberadaan badan pengawas, Bambang menilai hal itu berpotensi akan menimbulkan dualisme kepemimpinan di tubuh komisi anti-rasuah tersebut.

"Sudah tampak jelas, kan, bahwa rancangan itu kelihatan memperlemah KPK?" katanya.

Surpres belum dikirim

Pembahasan revisi UU KPK seharusnya dilanjutkan pada Kamis kemarin, dalam rapat paripurna DPR yang mengagendakan pengesahan revisi undang-undang.

Namun rapat urung digelar lantaran hanya satu pimpinan DPR yang berada di Jakarta. Rapat paripurna kemudian ditunda, Selasa pekan depan.

Sebelumnya, pemerintah seperti dikatakan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamaan Luhut Pandjaitan, telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR. Surat itu adalah ibarat "lampu hijau" untuk melanjutkan pembahasan UU KPK.

"Presiden sudah menyampaikan. Jadi sudah dikirim ke DPR," kata Luhut seperti dikutip dari laman Republika.

Terkait hal itu, BeritaBenar mencoba mengonfirmasi pada Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi. Tapi beberapa kali dihubungi, dia tak menjawab panggilan. Hanya saja di laman Kompas.com, Johan membantah kalau Surpres sudah dikirim.

"Tidak benar surat presiden sudah dikirm (ke DPR)," ujar Johan, yang juga mantan pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK dan bekas juru bicara lembaga anti-rasuah tersebut.

"Pembahasan di tingkat paripurna DPR saja Kamis kemarin dibatalkan dan diundur pekan depan. Karena itu belum ada (Surpres)."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.