Pengusutan Kasus Kebakaran Hutan
2016.08.03
Pontianak & Pekanbaru
Polisi di Kalimantan Barat (Kalbar) terus memproses puluhan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi tahun 2015, karena dinilai ikut berkontribusi dalam bencana kabut asap.
Tetapi Polda Riau menghentikan pengusutan terhadap 15 perusahaan yang diduga terlibat dalam karhutla sehingga memicu protes kalangan aktivis lingkungan dan masyarakat korban kabut asap.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Karhutla Kalbar, Kombes. Pol. Suhadi S.W., menyatakan bahwa ada 35 kasus karhutla yang diproses sejak tahun lalu. Dari jumlah itu, empat yang disangkakan kepada korporasi dan 31 terhadap perorangan. Tapi ada empat kasus dihentikan pengusutannya karena dianggap tak cukup bukti.
“Dari empat kasus yang dihentikan proses hukumnya itu, satu kasus korporate dan tiga lain perseorangan. Polisi menghentikan proses hukum berdasarkan fakta yang ditemukan dalam gelar perkara multi stakeholder, sehingga terbit rekomendasi untuk penghentian itu,” katanya kepada BeritaBenar, Selasa, 1 Agustus 2016.
Suhadi yang menjabat Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Kalbar tak bersedia merinci lebih detil nama korporate dan perseorangan yang lolos dari jeratan hukum.
Menurutnya, korporasi yang tersangkut kasus hukum diduga melakukan pembakaran lahan dengan luasan 20 hektar ke atas. Sementara perorangan yang dimaksud adalah masyarakat karena membakar lahan lebih dari dua hektar.
“Untuk kasus lain masih terus diproses. Ada yang berkasnya dikembalikan Jaksa Penuntut Umum sehingga harus dilengkapi lagi,” jelas Suhadi.
Dia menambahkan jumlah hotspot yang terdeteksi pada tahun ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun lalu. Selama Januari-Juli 2016, hotspot yang terpantau sebanyak 43 titik, sementara periode yang sama tahun 2015 dengan 378 hotspot.
Di Riau
Dari Pekanbaru dilaporkan bahwa 15 perusahaan yang diduga terkait kasus karhutla di Riau telah mendapat Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dari Kepolisian Daerah (Polda) setempat.
Dari jumlah itu, 11 diantaranya merupakan perusahaan di Hutan Tanaman Industri (HTI) dan empat lainnya perusahaan perkebunan sawit.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes. Pol. Rivai Sinambela melansir angka itu belum lama ini. Alasan SP3 adalah karhutla di areal 15 perusahaan pada 2015 lalu terjadi di lahan-lahan “yang masih berkonflik dengan masyarakat”.
“Polisi tak dapat memastikan pelaku pembakaran. Selain itu, sebagian perusahaan tidak lagi beroperasi di lahan konsesi yang terbakar itu sehingga penyidik kekurangan alat bukti,” katanya.
“Perusahaan sudah berupaya melakukan pemadaman. Artinya tidak ada pembiaran yang dilakukan perusahaan,” tambah Sinambela.
Tapi, keputusan SP3 dinilai mencederai warga Riau yang dirugikan karena bencana asap tahun lalu. Sebanyak lima warga Riau meninggal dunia dan 43.386 lainnya menderita sakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) akibat bencana kabut asap tahun lalu.
Terbitnya SP3 itu juga memantik kekhawatiran beragam pihak akan ancaman bencana asap kembali menghantam Riau. Tetapi tahun ini, puluhan titik api sudah terdeteksi meski tidak sebanyak pada 2015. Upaya pemadaman juga cepat diantisipasi.
Sejumlah aktivis masyarakat sipil melakukan unjuk rasa damai di depan Mapolda Riau, 25 Juli 2016, guna memprotes SP3 karena keputusan itu dianggap mencederai keadilan warga setempat.
“Kami mendesak segera cabut SP3. Bila tak dilakukan, Kapolda Riau harus dicopot. Apalagi, SP3 menunjukkan ketidakpatuhan pada instruksi presiden untuk menghukum para pelaku karhutla,” teriak Rudi Royman, koordinator aksi.
Pimpinan Serikat Perempuan Indonesia Riau, Helda Khasmy juga kecewa dengan keputusan SP3. Apalagi bila ditilik bagaimana situasi yang dihadapinya dan kawan-kawan ketika terjadi bencana asap.
“Apa yang terjadi tidak akan ada efek jera bagi pelaku dan kemungkinan pelaku lain pada masa mendatang,” katanya. “Situasi ini membuat kita yakin tidak ada perubahan dalam menghadapi karhutla sehingga akan ada ancaman bencana asap berikutnya.”
Seorang warga yang juga menjadi korban asap tahun lalu, Eri Wiria, mengungkapkan hal sama. Ia yang kehilangan putra untuk selamanya Ramadhani Luthfi Aerli (9) mengaku sangat kecewa atas keputusan SP3.
“Kita sudah tak tahu lagi mau berbuat apa. Pemerintah dan LSM tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka kalah karena sudah dinyatakan perusahaan tak bersalah. Jadi, apa yang rakyat bisa lakukan,” ujarnya.
Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Woro Supartinah, menyebut dari pemantauan yang mereka lakukan sedikit kasus yang sampai ke pengadilan, dimana dua perusahaan sudah divonis.
“Satu kasus, yang melibatkan perusahaan PT Langgam Inti Hibrindo, terdakwa divonis bebas murni. Dua terdakwa PT Palm Lestari Makmur divonis tiga tahun penjara dan satu terdakwa lagi divonis bebas,” katanya.