Pengusaha, petani dukung pembatasan kuota ekspor sawit
2023.01.03
Jakarta
Gabungan petani dan pengusaha sawit mengatakan Selasa (3/1) bahwa mereka mendukung kebijakan pemerintah yang memangkas kuota ekspor sawit, menyebut keputusan tersebut sebagai langkah tepat untuk mencegah kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri menjelang Ramadan.
Menurut kebijakan baru yang diumumkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada Senin (2/1), pemerintah mewajibkan eksportir kelapa sawit mentah (CPO) mengekspor paling banyak enam kali lipat dari kuota pasar dalam negeri per 1 Januari tahun ini, dari sebelumnya delapan kali lipat.
Langkah ini diambil untuk mencegah kelangkaan dan kenaikan harga menjelang dan selama bulan Ramadan, kata Zulkifli.
Kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng sempat terjadi pada akhir 2021 hingga beberapa bulan awal 2022 --diperparah invasi Rusia ke Ukraina, dan berujung pelarangan ekspor CPO oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo selama sekitar sebulan pada April – Mei 2022.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengatakan kebutuhan minyak sawit dunia diproyeksikan bakal meningkat pada tahun ini sementara produksi CPO Malaysia terganggu masalah ketersediaan tenaga kerja.
Situasi tersebut akan mengerek harga tandan buah segar (TBS) petani serta CPO dunia ke kisaran Rp3.000-Rp4.000 per kilogram, dari Rp1.800-Rp2.400 per kilogram saat ini, kata Gulat.
"Kenaikan itu bakal merangsang eksportir memacu kuota ekspor yang jika tidak diantisipasi akan kembali mengakibatkan kenaikan dan kelangkaan minyak goreng," kata Gulat kepada BenarNews.
Menurut data Kementerian Perdagangan Indonesia, bersama Malaysia, Indonesia menyuplai 87 persen dari produksi minyak sawit global, di mana Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar di pasar dunia, sementara Malaysia berada di tempat kedua.
Gulat menambahkan, produksi CPO dalam negeri saat ini diproyeksikan menurun akibat kenaikan harga pupuk hingga 300 persen. Hal itu menyebabkan petani sawit tidak mampu memupuk kebun mereka sehingga berdampak terhadap penurunan produksi CPO nasional 5-11 persen.
Tahun lalu, sumbangan CPO petani tercatat 28 persen dari total produksi nasional.
"Jadi ini adalah keputusan tepat karena produktivitas CPO dalam negeri diprediksi menurun akibat kenaikan harga pupuk," ujarnya lagi.
Perihal sama disampaikan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Minyak Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono yang menilai kebijakan ini tidak bermasalah bagi para pengusaha, tapi dengan catatan bahwa pemerintah harus secara rutin mengevaluasinya.
"Bila terjadi penurunan produksi tidak sesuai prediksi, harus ditinjau ulang. Hal itu dibutuhkan agar tidak terjadi penumpukan TBS di pabrik yang bisa menekan harga TBS petani," kata Eddy kepada BenarNews.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut kebijakan tersebut dilakukan pemerintah agar kebutuhan CPO untuk minyak goreng dalam negeri saat puasa dan Idulfitri tidak berkurang.
"DMO dari 1:8 menjadi 1:6. Kenapa? Karena kita bersiap menghadapi bulan puasa dan Lebaran," kata Zulkifli dalam keterangan pers Senin.
"Ini sinyal agar kepentingan dalam negeri diutamakan dan ditambah."
Pemerintah menetapkan kewajiban memasok di dalam negeri untuk memastikan kecukupan pasokan kelapa sawit bagi pasar domestik, terutama untuk kesediaan minyak goreng. Pemerintah mematok volume minyak goreng kuota dalam negeri setidaknya 300 ribu ton per bulan atau di atas rata-rata kebutuhan bulanan sebesar 250 ribu ton.
Daya tawar sawit
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai bahwa langkah pemerintah ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tawar harga kelapa sawit di pasar internasional, dan bukan untuk menurunkan harga minyak goreng dalam negeri.
"Saya melihat Ini lebih pada kepentingan bargaining harga internasional kembali saja," kata Tauhid kepada BenarNews.
"Buktinya meski domestik kini sudah dibanjiri, tapi harga minyak goreng premium tidak turun drastis."
Pemerintah berupaya meningkatkan daya serap CPO nasional lewat program wajib pencampuran biodiesel 35 persen (B35) yang direncanakan dimulai Februari mendatang, namun Tauhid menilai penyerapannya tidak akan langsung terasa.
"Belum diperlukan saat ini karena kebutuhan dalam negeri kita enggak sebesar itu. Kebutuhan untuk B35 juga tidak akan langsung terserap," kata Tauhid lagi.
"Pemeritah justru harus hati-hati karena pembatasan ini belum tentu diikuti kenaikan harga. Bisa jadi Malaysia nanti melakukan penambahan suplai global."
Sementara Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyambut baik kebijakan pemangkasan rasio kuota ekspor, dengan mengatakan bahwa pemerintah telah belajar dari peristiwa 2022.
"Apa yang dilakukan pemerintah saat ini proses pembelajaran dari pengalaman tahun lalu," kata Yusuf kepada BenarNews.
"Untuk memastikan harga minyak goreng tidak meningkat, maka suplai untuk bahan baku perlu dijaga, salah satunya dengan memastikan komoditas CPO tersedia 2-3 bulan ke depan," ujarnya.
Yusuf mengatakan ada kemungkinan kebijakan ini mengakitbatkan kenaikan harga di pasar internasional.
“Namun demikian kelangkaan dan kenaikan harga akan ditentukan juga dari permintaan produksi CPO dari luar negeri termasuk di dalamnya dari China,” tambahnya.