Kutuk Taliban, Tuntut Ditempatkan ke Negara Ketiga, Pengungsi Afghanistan di Jakarta Demo
2021.08.24
Jakarta

Diperbarui pada Rabu, 25 Agustus 2021, 23:45 WIB.
Ratusan pencari suaka yang merupakan warga negara Afghanistan menggelar unjuk rasa di Jakarta pada Selasa (24/8), menuntut PBB mempercepat penempatan mereka ke negara ketiga dan mengutuk kembali berkuasanya Taliban di negara asal mereka.
Para pengunjuk rasa, yang kebanyakan dari etnis Hazara yang dipersekusi di Afghanistan karena kepercayaan Syiah mereka, berkumpul di depan kantor lembaga pengungsi PBB (UNHCR) di Jakarta Pusat dengan meneriakkan slogan dan membentangkan poster.
Pendemo membawa poster bertuliskan “Kami butuh pindah sebab hidup kami sengsara,” “Pindahkan pengungsi Afghan dari Indonesia,” dan “SOS Afghanistan tidak aman!”
Pengunjuk rasa mengatakan mereka khawatir akan keselamatan keluarga mereka karena kembalinya Taliban berkuasa setelah terguling 20 tahun tahu lalu akibat invasi militer Amerika Serikat.
Pemerintahan Afghanistan jatuh awal bulan ini menyusul ditariknya sebagian besar pasukan AS dari Afghanistan. Presiden Ashraf Ghani kemudian melarikan diri keluar negeri dan pemberontak Taliban berhasil menguasai Kabul.
“Saya mengutuk Taliban. Saya kecewa dan sedih tentang apa yang terjadi. Saya sangat kecewa pemerintah Afghanistan lari dan menyerahkan negara ke Taliban. Ini memalukan,” kata salah satu pengungsi dari Afghanistan, Hakmat Ziraki, kepada BenarNews.
Hakmat mengaku tidak percaya kepada janji-janji Taliban untuk rekonsiliasi dan menghormati hak-hak perempuan.
“Apakah Anda bisa percaya orang yang sudah membunuh keluarga Anda, menyiksa dan menyerang keluarga Anda secara brutal? Hazara akan jadi sasaran mereka,” ujarnya.
Hakmat membacakan pesan teks dari salah satu anggota keluarga yang mengatakan bahwa semua orang di desanya telah mengirim anak perempuan mereka keluar dari Afghanistan.
“Semua orang takut karena situasi saat ini dan berusaha mati-matian untuk kabur,” ujarnya.
Banyak dari pengungsi tersebut telah menetap di Indonesia selama bertahun-tahun menunggu kepastian untuk dipindahkan ke negara ketiga seperti Australia.
Aksi yang mulanya berjalan damai menjadi ricuh ketika aparat keamanan dari Polda Metro Jaya terpaksa membubarkan aksi demo tersebut dengan alasan menimbulkan kerumunan pada saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam rangka penanggulangan pandemi COVID-19 masih berlaku.
Sebelumnya polisi telah mengimbau demonstran untuk mundur dan menghindari kerumunan. “Massa silahkan bubar. Ini jalan umum,” ujar polisi
Namun demonstran tetap bertahan sehingga polisi berupaya membubarkan kerumunan. Beberapa pendemo terlihat diamankan pihak kepolisian karena melawan.
Polisi kemudian meminta demonstran segera meninggalkan lokasi dan segera masuk ke bus yang disediakan di depan Balai Kota.
Sejak pandemi COVID-19 melanda, harapan penempatkan ke negara yang mereka inginkan semakin tidak pasti.
United Nations High Commission for Refugees (UNHCR), melaporkan bahwa saat pandemi mulai merebak pada tahun 2020, lebih dari 160 negara menutup perbatasan mereka, dengan 99 negara di antaranya menutup akses bagi orang-orang yang tengah mencari perlindungan internasional.
Menurut UNHCR, hingga akhir Mei tahun ini terdapat sekitar 13.400 pengungsi asing di Indonesia, dengan 7.000 di antaranya tinggal di Jakarta dan sekitarnya, dan sisanya tersebar antara lain di Medan, Pekanbaru, Tanjung Pinang, dan Makassar.
Menurut Hakmat, ada sekitar 8.000 pengungsi Afghanistan di Indonesia, sebagian besar etnis Hazara.
Pemerintah Indonesia tidak merasa memiliki kewajiban untuk memberikan pemenuhan hidup bagi para pengungsi asing lantaran hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 tentang Status Pengungsi.
Pengungsi dari luar negeri di Indonesia juga dilarang untuk bekerja dan bersekolah secara formal.
Dwi Prafitria, communications associate UNHCR Indonesia mengatakan perwakilan lembaga PBB itu telah bertemu dengan pengungsi pada Selasa.
“Situasi sekarang yg terjadi di Afghanistan tidak mempengaruhi status pencari suaka di Indonesia atau di manapun. Program resettlement UNHCR tetap berjalan seperti biasa,” ujarnya kepada BenarNews.
“UNHCR siap untuk memfasilitasi pertemuan virtual agar bisa berdiskusi dengan lebih banyak pengungsi tentang masalah-masalah yang ingin dibahas,” tambahnya.
Militan Indonesia dibebaskan
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Ade Bhakti, menyebut tujuh militan asal Indonesia yang ditahan di Afghanistan dibebaskan bersama dengan ribuan tahanan lainnya dari pusat penahanan di pangkalan udara dekat Kabul oleh Taliban pekan lalu.
“Pemerintah harus mulai melek terhadap daerah perbatasan untuk mengantisipasi kepulangan mereka karena bagi yang pernah ke Afganistan pasti semangatnya kuat dan sulit dipadamkan,” kata Ade dalam sebuah dialog daring tentang Afghanistan.
Sebelumnya, Kepala Bagian Operasi Densus 88 Mabes Polri, Aswin Siregar, juga mengatakan pihaknya sedang menyelidiki akan adanya militan dari Indonesia di Afghanistan dibebaskan dan yang berniat kembali ke Indonesia.
“Itu nanti akan jadi bahan penyelidikan kita. Akan kami selidiki mereka kemarin ditangkap karena masalah apa, kemudian setelah dibebaskan jumlah berapa orang dan kemana pergerakan mereka,” ujarnya kemarin.
Sejauh ini, pihaknya sedang dalam penyelidikan, namun dia mengaku bahwa polisi tidak mempunya kontak langsung di Afghanistan.
“Kami hanya pantau semaksimal mungkin melalui jaringan yang ada di Indonesia.”
Pada akhir pekan kemarin, pemerintah Indonesia berhasil memulangkan 26 warga negara Indonesia, termasuk staf kedutaan di Kabul, dengan menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara.
Rombongan yang dibawa termasuk lima orang warga Filipina dan dua orang Afghanistan.
Sementara itu, peneliti senior dari PAKAR, Muh Taufiqurrahman mengatakan sejumlah organisasi di Indonesia, termasuk Jamaah Muslimin (Hizbullah) Lampung, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jemaah Islamiyah (JI) telah menyatakan dukungannya terhadap kemenangan Taliban.
“Massa pendukung Taliban sudah mulai menyatakan dukungan melalui media sosial mereka,” jelasnya dalam diskusi yang sama.
JI adalah kelompok militan yang terafiliasi organisasi teroris al-Qaeda dan berada di belakang peristiwa Bom Bali pada Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang dan menjadi aksi terorisme yang paling fatal di Indonesia hingga saat ini.
Versi yang diperbarui ini mencantumkan nama sumber dari UNHCR Indonesia yang telah dikoreksi.