Hampir 400 'Pengikut NII’ di Sumbar Cabut Baiat, Kembali ke NKRI
2022.04.27
Dharmasraya, Sumatra Barat
Sebanyak 391 warga yang disebut terkait jaringan Negara Islam Indonesia (NII) di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat (Sumbar) mengikuti acara “Cabut Baiat”, Rabu (27/4), dan menyatakan diri keluar dari organisasi yang telah dilarang pemerintah karena memiliki tujuan membentuk Negara Islam di Tanah Air.
Prosesi cabut baiat atau menghapus kesetiaan pada ideologi NII yang dirangkai dengan pengucapan sumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu berlangsung di Auditorium Kantor Bupati Dharmasraya.
Sejumlah pejabat menghadiri acara tersebut, termasuk Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri Irjen. Pol. Marthinus Hukom, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumbar Irjen. Pol. Teddy Minahasa Putra, dan Gubernur Sumbar Mahyeldi, serta sejumlah petinggi militer terkait lainnya.
“Hari ini kita berbahagia, karena ada sekitar 400 saudara kita yang menyatakan mencabut baiat, menyatakan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak lagi bersama NII,” kata Kapolda Teddy Minahasa kepada BenarNews.
Mereka yang melakukan cabut baiat adalah pengikut yang terpapar paham-paham radikal yang diajarkan oleh organisasi tersebut, demikian kata aparat. Sebagian besar diantaranya adalah warga yang sama sekali tidak sadar bahwa dirinya sudah terpapar.
Menurut Teddy, kesadaran mencabut baiat ini merupakan imbas dari tertangkapnya 16 orang terduga teroris di Sumatra Barat pertengahan Maret lalu.
Dari 16 orang itu, 12 di antaranya berasal dari Kabupaten Dharmasraya yang merupakan peserta pengajian kelompok NII.
Densus 88 menyatakan ada 1.125 orang pengikut NII di Sumatra Barat, di mana lebih dari 800 orang adalah warga Dharmasraya, dan selebihnya diperkirakan ada di Kabupaten Tanah Datar.
“Mereka tetap akan kami awasi. Kita tidak mengawasi masyarakat, tapi kita melakukan pembinaan, pendekatan dan melakukan penyadaran terus agar cinta NKRI terus ditingkatkan. Karena dengan itulah, akan ada ketahanan masyarakat,” kata Kepala Densus 88 Antiteror Irjen. Pol. Marthinus Hukom.
Menurut Marthinus, acara cabut baiat dan pernyataan sumpah setia kepada NKRI tersebut adalah yang terbesar pernah dilakukan.
"Ini untuk pertama kali kami bersama saudara-saudara dalam jumlah yang besar, yaitu 391 orang. Jumlah paling besar hari ini yang dilakukan," kata dia.
Pada Agustus 2019 lalu, belasan anggota NII atau yang dikenal juga dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menyatakan ikrar setia kepada NKRI di Jakarta.
Sumpah tersebut dipimpin Sarjono Kartosuwiryo yang merupakan anak pemimpin DI/TII, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.
NII dideklarasikan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan tujuan untuk membentuk Negara Islam di Indonesia.
NII dengan sayap militernya, Tentara Islam Indonesia cukup kuat pada tahun 1950-an dan menguasai sebagian besar wilayah Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pergerakan tersebut juga melakukan sejumlah serangan ke NKRI antara 1950-1960-an sebelum akhirnya ditumpas pada tahun 1962, dan Kartosuwiryo dieksekusi di depan regu tembak pada tahun yang sama.
Walaupun sudah menjadi organisasi terlarang, ideologi NII tetap hidup di Tanah Air. NII adalah cikal bakal organisasi teroris Jemaah Islamiyah.
“Mereka juga korban”
Densus 88 tidak bisa memastikan secara kongkret apakah semua yang mencabut baiat itu memiliki pemikiran ingin menghapus NKRI dan radikal, kata Marthinus.
“Mereka ini juga menjadi korban, korban atas ketidakpahaman mereka. Tapi bagi saya, menempatkan mereka sebagai korban itu bukan berarti mereka bukan tersangka. Hanya pendekatannya yang berbeda, soft approch,” ujarnya.
Sebagian besar dari peserta cabut baiat itu memang mengaku tidak sadar bahwa dirinya ikut terbawa dalam jaringan NII.
“Saya kaget, tiba-tiba nama saya ada di dalam daftar Densus 88. Saya tidak terlibat secara aktif. Tapi saya memang pernah ikut pengajian,” cerita Ita, warga Muaro Momong, Kecamatan Pulau Punjung.
Ita mengatakan awal perkenalannya dengan NII adalah saat dirinya terlibat pengobatan dengan salah seorang terduga teroris yang telah diamankan Densus 88.
“Saya awalnya berobat saja. Ya, sambil cerita-cerita tentang pendalaman agama. Siapa yang tidak tertarik kalau diajak menjalankan agama secara kaffah (total),” katanya.
“Lama-kelamaan, pengajian sudah berubah menjadi agak lain. Bicaranya sudah agak berbau anti pemerintah dan menolak Pancasila. Saya akhirnya memilih keluar. Saya tak pernah datang lagi,” kata Ita.
Rumai, warga Jorong Pulau Sangek, Kecamatan Pulau Punjung juga menceritakan hal yang sama.
Dia mengaku kalau dirinya hanya mendatangi seseorang untuk mengobati anaknya yang kesurupan. Saat itu mereka diminta mengaji, salat lima waktu dan ibadah lainnya yang masih dalam batas kewajaran.
“Baru dua kali kami mendatangi orang itu untuk pengajian. Setelah itu tidak ada lagi,” katanya kepada BenarNews.
Ia kemudian mendapatkan informasi bahwa orang yang didatanginya untuk mengobati kesurupan itu ditangkap polisi pada Maret lalu.
Kemudian, Rumai mendapatkan kabar kalau namanya sudah masuk terdaftar sebagai anggota NII.
Penjelasan itu diamini Kapolres Dharmasraya, AKBP Nurhadiansyah yang menyatakan mayoritas warga yang disebutkan telah tergabung ke dalam NKRI adalah korban upaya penyesatan pemikiran yang ekstrem dari anggota NII.
“Tidak sedikit warga yang namanya disebutkan sebagai anggota NII, justru tidak tahu apa itu NII,” kata Nurhadiansyah.
Ultimatum sampai 20 Mei
Kapolda Sumbar meminta warga yang masuk dalam daftar terpapar paham NII sebagaimana data yang dirilis Densus 88 untuk segera melakukan cabut baiat.
“Saya berharap dalam waktu yang sesingkat-singkatnya saya berikan kesempatan bagi yang lain untuk cabut baiat. Saya beri kesempatan paling lambat 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, seluruhnya harus cabut,” kata Teddy.
Teddy mengancam kalau masih ada warga yang belum cabut baiat, akan mendapatkan konsekuensi hukum berat.
“NKRI harga mati, Pancasila harus dijunjung tinggi,” tegasnya.
Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi mengaku sudah menyurati para kepala daerah untuk melakukan kegiatan serupa seperti yang dilakukan di Dharmasraya ini.
“Sudah kita surati semua daerah,” kata Mahyeldi.