Pemerintah Kembali Terapkan PSBB Lebih Ketat di Jawa – Bali
2021.01.06
Jakarta
Pemerintah akan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara lebih ketat di Jawa dan Bali selama dua minggu mulai 11 Januari, menyusul terus meningkatnya penyebaran kasus COVID-19.
Menurut data satuan tugas penanganan COVID-19, penambahan kasus harian di Indonesia menembus rekor tertinggi pada Rabu (6/1) dengan 8.854, membuat total akumulatif kasus positif menjadi 788.402. Kasus kematian bertambah 187 dalam 24 jam terakhir, menjadikan total korban jiwa menjadi 23.396. Jumlah kasus dan kematian karena COVID-19 di Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara.
“Pemerintah dipandang perlu untuk mengendalikan naiknya kasus COVID-19 dengan melakukan pembatasan berbagai aktivitas di masyarakat,”ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers usai rapat koordinasi di Jakarta.
Dia mengatakan PSBB yang diperketat akan berlaku di daerah di Jawa dan Bali di mana terjadi penyebaran COVID-19 yang tinggi dan kapasitas rumah sakit yang mendekati penuh, termasuk Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta.
“Diharapkan dengan PSBB ini, virus COVID-19 bisa dicegah dan dikurangi seminimal mungkin,” ujarnya.
Aturan baru PSBB di Jawa dan Bali akan membatasi jumlah orang yang bekerja di kantor menjadi 25 persen dari kapasitas, dari 50 persen saat ini, sementara kegiatan belajar mengajar masih akan dilakukan secara daring, kata Airlangga.
Jam buka pusat perbelanjaan dibatasi hanya sampai jam 19.00 WIB, sementara untuk restoran hanya diperbolehkan menerima tamu 25 persen dari kapasitas.
Sektor esensial khusus kebutuhan pokok masih akan beroperasi 100 persen namun dengan pengetatan protokol kesehatan.
Airlangga mengatakan sektor konstruksi masih tetap berjalan 100 persen dengan protokol kesehatan ketat dan rumah ibadah dibatasi 50 persen.
Fasilitas umum dan kegiatan sosial budaya ditutup sementara dan moda transportasi diatur lebih jauh.
“Aturan tersebut akan dituangkan dalam pergub yang akan segera di terbitkan. Mendagri juga akan buat surat edaran ke seluruh daerah. Tadi sudah disampaikan oleh Presiden ke gubernur di seluruh Indonesia,” ujar Airlangga.
Berdasarkan data, ujar Airlangga, penambahan kasus per minggu pada Desember lalu mencapai 48.434 kasus. Sementara pada awal minggu pertama 2021 angka penambahan kasus sudah mencapai 51.086 dengan tingkat kesembuhan stagnan berada di angka 82 persen, dan angka kematian berada di angka 3 persen.
Pemerintah juga telah melalukan kebijakan pengetatan perjalanan bagi warga Indonesia yang baru tiba dari luar negeri dan melarang masuk warga negara asing dari 1-14 Januari.
Airlangga mengatakan ada 54 kabupaten kota dengan resiko tinggi yang berada dalam pengawasan pemerintah.
Ia menjelaskan, provinsi yang dikenakan PSBB memiliki angka kematian di atas tingkat kematian nasional dan tingkat kesembuhan yang masih di bawah rata-rata kesembuhan nasional.
Selain itu, rasio keterisian tempat tidur di kamar isolasi rumah sakit dan ruang perawatan intensif (ICU) juga menjadi salah satu kriterianya dengan angka di atas 70 persen.
Terlambat
Pakar epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman mengatakan meskipun pemerintah terlambat dalam menerapkan kembali PSBB, namun selama untuk perbaikan maka patut diapresiasi.
“Terlambat memang, para pakar sudah bersuara sejak sebelum Desember, namun dalam pengendalian pandemi maka ini lebih baik daripada tidak sama sekali,” ujar dia.
Menurutnya, PSBB hanya sebagai strategi tambahan karena strategi utama adalah meningkatkan pengetesan, pelacakan dan isolasi karantina.
“Penguatan tidak hanya 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) karena tidak akan efektif, sudah terjadi selama PSBB hasilnya gitu-gitu aja,” ujar dia
Ia menjelaskan, penelusuran penting dilakukan dengan minimal 80 persen dari kontak bisa dilacak atau dari 1 kasus positip sekitar 25 orang diperiksa.
“Sangat kurang. Saat ini satu orang positif baru dapat menemukan 8 orang, kebanyakan pasien tidak ingat. Ditambah, kita tidak punya SDM yang memadai,” ujar dia.
Hal senada disampaikan pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono. Ia menilai pemberlakuan kembali PSBB memang sudah seharusnya dilakukan sejak lama.
“Jika tidak dilakukan, diprediksi bulan Desember- Januari pemerintah akan menghadapi masalah yang berat, tidak terkendali. Kasusnya akan naik terus sampai Februari. Sekarang saja sudah kelabakan, apalagi nanti Februari, sudah keteteran tenaga kesehatannya,” ujarnya kepada BenarNews.
Menurutnya, tidak hanya masyarakat yang abai namun pemerintah juga abai dengan kesehatan masyarakat karena lebih mementingkan perekonomian tumbuh.
“Apabila pasien sudah masuk RS, maka kapasitas RS tidak terbendung. Apalagi di bulan Desember - Januari dimana banyak sekali interaksi masyarakat dalam pilkada dan liburan panjang,” ujar dia.
Ia berharap implementasi PSBB bisa berhasil sehingga pada pertengahan Februari angkanya sudah mulai landai.
Vaksinasi
Dalam kesempatan berbeda, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta pemerintah daerah untuk bersiap menjalankan program vaksinasi ini di wilayah masing-masing.
"Saya minta kesiapan-kesiapan kita dalam rangka menuju vaksinasi ini betul-betul agar dicek dan dikontrol oleh para gubernur," ujarnya dalam rapat terbatas mengenai penanganan pandemi dan rencana pelaksanaan vaksinasi.
Ia menyampaikan, hingga saat ini Indonesia telah memesan kurang lebih sebanyak 329,5 juta dosis vaksin dari lima produsen vaksin diantaranya Sinovac tiga juta vaksin yang telah datang dan akan ditambah 122,5 juta vaksin.
Akan menyusul 50 juta dosis vaksin dari Novavax, 54 juta dosis dari COVAX/GAVI, 50 juta dosis dari AstraZeneca dan 50 juta dosis dari Pfizer, ujarnya.
Diketahui dengan perhitungan dua kali penyuntikan dan untuk mencapai kekebalan imunitas, total vaksin yang dibutuhkan untuk kurang lebih 181 juta rakyat Indonesia adalah sekitar 426 juta dosis vaksin.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, hingga hari Minggu malam (3/1) kemarin, sebanyak 1,2 juta vaksin telah mulai didistribusikan ke 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, pihaknya akan menunggu persetujuan penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikasi halal dari MUI untuk memulai vaksinasi perdana.
"Di ratas tadi Bapak Presiden memberikan tantangan apakah bisa (program vaksinasi) dipercepat sehingga bisa selesai dalam waktu 12 bulan? Kami akan berusaha keras dan kami butuh dukungan dari teman-teman untuk bisa melakukan ini," tuturnya.
Pemerintah memprioritaskan tenaga kesehatan dan pejabat publik sebagai penerima vaksin tahap pertama.
“Pemerintah akan memulai vaksinasi bagi sekitar 1,6 juta tenaga kesehatan yang ada di seluruh Indonesia. Berikutnya, vaksin akan diberikan bagi 17,4 juta tenaga layanan publik dan 21,5 juta masyarakat dengan usia lanjut,” ujar Budi.