Mengamen Ondel-Ondel, Ketika ‘Si Kembang di Belakang Kepala’ Turun Kasta
2016.07.06
Jakarta
Tersebutlah pada satu sore, Januari lalu. Muhammad Dahlan dan rombongan pengamen ondel-ondelnya menyisir sebuah ruas jalan di kawasan Jakarta Timur.
Seorang bocah tiba-tiba berseru: "Di sana, rumah Omas." Yang dimaksud sang bocah adalah Omaswati, seniman Betawi yang juga adik pesinetron Mandra yang terkenal lewat serial Si Doel Anak Sekolahan.
Mendengar hal itu, hati Dahlan berdesir. Sebagai kelompok pengamen yang mengusung budaya Betawi, ia berharap Omas bakal mengapresiasi kelompok ondel-ondelnya. Wujudnya: saweran dalam jumlah besar.
"Enggak receh," kata Dahlan.
Namun beberapa langkah menuju rumah dua lantai yang ditunjuk sebagai kepunyaan Omaswati, harapannya buyar. Dari satu jendala di lantai dua, Omas tiba-tiba berteriak ke arah mereka, "Budaya gue lu pakai ngamen!”
Sontak, Dahlan dan kawan-kawannya kaget. Rencana mengamen di depan rumah Omaswati pun diurungkan. Mereka memilih lekas-lekas berlalu.
"Enggak nengok ke belakang lagi," katanya.
Potongan pengalaman itu dikisahkan Dahlan (35) kepada BeritaBenar diselingi gelak.
Pengalaman bersirobok dengan Omaswati disebut Dahlan sebagai insiden terburuk yang pernah ditemuinya kala mengamen ondel-ondel.
Ada juga kisah ditegur seorang bapak di kawasan Rawabelong, Jakarta Barat. Sang bapak naik pitam karena rombongan Dahlan memutar musik tradisional Betawi lewat kaset, untuk mengiringi ondel-ondel.
Normalnya, ondel-ondel memang diiringi alunan musik dari harmoni gong, kempul (gong dalam ukuran yang lebih kecil), kleneng (semacam gamelan), te yan (sejenis rebab), dan gendang.
"Daripada menganggur, Pak," katanya, beralasan. Sang Bapak tak membalas.
Apa yang dilakukan Dahlan Cs memang tak melulu direspons positif warga Jakarta. Tak semua dari mereka akan menjulurkan tangan untuk memberikan uang saat rombongan melintas, persis seperti yang mereka alami kala ngider di daerah Mampang, Jakarta Selatan, Minggu, 26 Juni 2016.
Petang itu, saat alunan musik masih sayup-sayup terdengar dari kejauhan, orang-orang seperti tergesa hendak menengok ke jalanan. Adapula sekumpulan bocah yang menari, atau berlompatan di belakang ondel-ondel.
"Warga asli Betawi memang cenderung enggak suka melihat hal ini (ondel-ondel mengamen). Meskipun yang keliling juga orang Betawi," kata Dahlan. "makanya enggak ada yang berani mengamen di Situ Babakan."
Situ Babakan adalah kawasan perkampungan Betawi di selatan Jakarta.
Seorang anggota pengamen memasang bunga di bagian belakang kepala ondel-ondel sebelum mengamen di Jakarta, 26 Juni 2016. Arie Firdaus/BeritaBenar
Untuk sedekah bumi
Menilik sejarah ondel-ondel, respons buruk warga asli Betawi bisa dimaklumi. Sejatinya, ondel-ondel adalah bagian dari upacara sedekah bumi usai panen. Ondel-ondel diarak dari sawah ke kediaman sang sahibulbait.
Makanya, ketika kemudian "Si Kembang di Belakang Kepala" (arti nama ondel-ondel) mengamen di jalanan, pegiat budaya Betawi Bachtiar menilai telah terjadi pergeseran makna. Ondel-ondel disebutnya telah turun kasta.
"Dulu, kan, simbol penghormatan," katanya.
Nada miris juga disuarakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. September 2014, Basuki Tjahaja Purnama yang ketika itu masih menjabat wakil gubernur sempat meminta ondel-ondel agar tak lagi mengamen di jalanan.
Pernyataan lebih keras disampaikan Djarot Saiful Hidayat, Wakil Gubernur DKI Jakarta kini, Mei lalu. Dia meminta Satuan Polisi Pamong Praja menindak pengamen ondel-ondel.
"Sebagai warga Jakarta harusnya tersinggung," kata Djarot, seperti dikutip dari laman BeritaJakarta.
Segendang-sepenarian dengan Djarot, sejawaran Betawi, Ridwan Saidi pun mengaku miris menyaksikan ondel-ondel mengamen di jalanan. Hanya saja, ia menolak keras rencana penertiban oleh Pemerintah DKI Jakarta.
"Ini negara susah. Ya, biarkan saja (mereka mengamen), daripada mencopet," katanya, kepada BeritaBenar. "Asalkan enggak diganti-ganti nama atau wujudnya. Kalau dipakai (mengamen), sih, pakai saja."
Beragam kecaman itu bukannya tak sampai ke kuping Abdul Hamid, pemilik ondel-ondel yang diarak Dahlan Cs. Namun, ia punya pembelaan.
"Duit operasional sanggar dari mana?" katanya saat ditemui di markas sanggar di kawasan Pal Putih, Senen.
Lagipula, tutur Abdul Hamid, mengamen sekaligus bisa menjadi ajang promosi sanggar. Ia menyontohkan panggilan mengisi acara sunatan di Cibubur beberapa bulan lalu.
"Mereka mengundang setelah melihat kami mengamen," kata Abdul Hamid.
Meski begitu, Mamit --sapaan Abdul Hamid-- sadar tantangan yang dihadapinya. Ia berharap bisa berhenti suatu saat nanti.
“Harapannya, pemerintah bisa membantu," katanya, "memfasilitasi kami agar bisa bermain secara rutin di acara atau lokasi tertentu, misalnya. Menghidupkan lagi festival-festival yang pernah ada.”
Ditantang kreatif
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Catur Laswanto justru menantang para pegiat budaya Betawi untuk lebih kreatif dan tak bergantung pada festival-festival yang pernah ada.
“Harus berpacu menampilkan yang terbaik," kata Catur lewat sambungan telepon.
Menurutnya, banyaknya festival yang ada selama ini justru tak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas sanggar-sanggar kesenian Betawi.
Sebabnya, festival diselenggarakan seadanya sehingga tak membantu perkembangan kualitas para pengisi acara. Padahal, menurut Catur, festival-festival itu menyedot anggaran besar.
Kedepannya, tambah Catur, dinas mempersilakan sanggar-sanggar itu untuk mengikuti ajang kebudayaan lokal, nasional, atau internasional yang bergengsi.
Pemda, katanya, akan memberikan hadiah yang besar sehingga mereka bisa terus mengembangkan diri.
Hanya saja, ia belum bisa memerinci jumlah hadiahnya. "Masih dibahas," katanya lagi.
Sementara itu, Dahlan dan rekan-rekannya tampaknya akan terus mengamen, demi menyambung hidup.