Pengamat: Pembinaan di Lapas Harus Dibenahi

Arie Firdaus
2016.01.19
Jakarta
sunakim-1000 Afif alias Sunakim yang tertangkap kamera menembaki kerumunan orang Kamis 14 Januari 2016, dikenali polisi dan pengamat sebagai mantan napi kasus pelatihan perang di Aceh dan kepemilikan senjata yang bebas pertengahan tahun lalu.
XINHUA/AFP

Pemerintah didesak memperbaiki program pembinaan terhadap para terpidana terorisme yang kini mendekam di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Desakan itu muncul menyusul insiden ledakan bom dan penembakan di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Aksi itu, merujuk pada keterangan kepolisian, melibatkan para residivis seperti Bahrun Naim yang disebut polisi sebagai dalang aksi teror, serta Muhammad Ali dan Afif alias Sunakim yang dikatakan polisi sebagai pelaku teror.

"Masih banyak kelemahan memang dalam pembinaan di penjara. Harus diakui itu," kata pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie kepada BeritaBenar, Selasa, 19 Januari.

Merujuk pada salinan di laman Mahkamah Agung, Bahrun Naim adalah terpidana kepemilikan senjata dan amunisi ilegal pada 2010. Ia dipenjara selama 2,6 tahun pada Juni 2011. Kini polisi menduga ia telah bergabung bersama ISIS di Raqqa, Suriah.

Adapun Afif alias Sunakim pernah divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2011 karena mengikuti pelatihan perang di Jantho, Aceh Besar, tahun 2010. Belum menyelesaikan keseluruhan masa hukuman, ia bebas pada Agustus tahun lalu.

Sedangkan Muhammad Ali tercatat sebagai  residivis kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan pada tahun 2010.

"Makanya, harus ada peningkatan pengelolaan. Kemampuan petugas Lapas harus ditingkatkan. Kurangnya kapasitas juga. Keterbatasan kapasitas itu, misalnya, kerap membuat terpidana teroris garis keras akhirnya berdekatan dengan yang sebenarnya masih baru di dalam penjara," kata Taufik lagi.

"Contohnya bisa dilihat dari kasus Afif. Ia beribadah atau memasak bersama Aman di dalam penjara,” kata Taufik mengacu pada Aman Abdurrahman terpidana kasus bom Cimanggis tahun 2003.

Afif memang pernah berada dalam penjara yang sama dengan Aman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)  Cipinang. Aman  kini telah dipindahkan ke Lapas Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah

"Setelah keluar penjara, ia (Afif) justru makin keras, kan?"

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai sependapat dengan Taufik. Walhasil, ia pun mendesak pemerintah untuk mempercepat realiasasi lapas khusus bagi narapidana kasus terorisme, agar pengelolaan dan pembinaan terpidana terorisme menjadi lebih mudah.

"Desakan itu sudah saya sampaikan sejak dulu sebenarnya (saat masih menjabat kepala BNPT)," ujar Ansyaad.

Perketat pengawasan eks napi

Tak cuma mendesak pembenahan pembinaan para terpidana terorisme di dalam penjara, Ansyaad juga mendesak pemerintah lebih serius mengawasi para terpidana terorisme yang bebas dan meninggalkan penjara.

"Jika ia sudah menjalani masa hukuman, jangan langsung dianggap normal lagi," kata Ansyaad.

Ansyaad sendiri mencatat, setidaknya ada 12 terpidana terorisme yang bebas dari penjara pada akhir 2015 lalu, yang harus diwaspadai. "Abu Tholut dan Abu Dujana, misalnya," kata Ansyaad.

Abu Dujana alias Ainul Bahri divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 21 April 2008 setelah terbukti menyimpan senjata api dan bahan peledak. Ia juga pernah mengikuti pelatihan perang di Afganistan dan bertemu dengan Osama bin Laden.

Sekembalinya ke Indonesia pada 2002, ia kemudian diangkat menjadi sekretaris Markaziyah (Dewan Pimpian Pusat) Jemaah Islamiyah.

Sedangkan Abu Tholut divonis delapan tahun penjara oleh PN Jakarta Barat pada Oktober 2011 setelah dinilai terbukti terlibat dalam aktivitas pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar. Ia bebas bersyarat pada Oktober tahun lalu, setelah menjalani dua per tiga masa hukumannya.

"Bukannya tak percaya (pada kedua orang tersebut). Tapi, tetap harus waspada. Gerak-gerik mereka harus terus dilacak," ujar Ansyaad lagi.

Taufik pun setuju. Menurut dia, peningkatan pengawasan terhadap para mantan terpidana terorisme, apalagi yang dikategorikan ke dalam level "garis keras" dan masih radikal, memang mutlak diperlukan.

Ia mencatat, biasanya para mantan terpidana itu akan langsung menghilang, berpindah alamat bersama keluarganya dan tidak melapor kepada aparat. Sesuai regulasi, terpidana yang bebas bersyarat dikenakan wajib lapor.

Pengawasan lapangan rumit

Juru bicara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadi Prabowo tak menyangkal bahwa pembinaan di lapas masih lemah, sehingga para eks-napi kembali melakukan kejahatan. Menurut dia, pembinaan terhadap para terpidana memang memiliki kesulitan tersendiri.

Akbar menganalogikan tugas lapas ibarat rumah sakit yang mengobati para pasien. "Ya, ada yang bisa langsung sembuh. Ada juga yang masih sakit," katanya Akbar Hadi beralasan.

Menyoal masih lemahnya pengawasan terhadap eks-terpidana, terutama kasus terorisme, Akbar enggan menjawab. Adapun Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Brigadir Jenderal Agus Riyanto menilai pengawasan seharusnya tak dibebankan semata-mata kepada penjara dan polisi.

"Tugas semua lapisan masyarakat, lah," kata Agus Riyanto.

Menurut Agus, saat seseorang mantan napi kasus terorisme dilepas kembali ke masyarakat, aparat kepolisian memang mendapat informasi. "Misal, yang mana yang masih harus diawasi. Kami ada komunikasi itu dengan instansi lain seperti Kemenkumham atau BNPT," katanya lagi.

"Tapi di lapangan, kan, sulit. Bisa jadi dia ternyata mendadak pindah. Kesulitan seperti itu ditemukan di lapangan. Jangan patahkan semangat kami, lah," pintanya.

Sementara itu, sampai hari Selasa, kepolisian mencatat masih ada sembilan orang korban serangan di kawasan Sarinah yang dirawat di rumah sakit. Sedangkan empat jenazah yang dikatakan polisi sebagai pelaku serangan masih berada di RS Polri.

Kepolisian sebelumnya mengatakan, dari 13 orang yang diciduk Densus 88 di Jawa Barat (Cirebon dan Indramayu), di Jawa Tengah (Tegal) dan di Kalimantan Timur (Balikpapan) pascaserangan hari Kamis lalu, delapan diantaranya diduga kuat terkait aksi teror yang menewaskan empat warga sipil dan mencederai 26 orang lainnya itu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.