Pengadilan vonis eks-pegawai pajak 14 tahun penjara
2024.01.08
Jakarta
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin (8/1) menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara kepada mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak usai terbukti menerima suap dan melakukan tindak pidana pencucian uang selama bertugas di direktorat tersebut.
Majelis beranggotakan tiga hakim yang dipimpin Suparman Nyompa juga menghukum terdakwa Rafael Alun Trisambodo untuk membayar denda Rp500 juta serta menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp10 miliar.
Dalam salah satu pertimbangan putusan, Suparman berpendapat Rafael terbukti mendapat keuntungan pribadi dari pemeriksaan para wajib pajak lewat perusahaan konsultan pajak yang dibentuknya yakni PT Artha Mega Ekadhana (PT ARME), dengan nilai total Rp10 miliar.
"Melalui perusahaan tersebut, terdakwa bersama Ernie Meike Torondek secara bertahap sejak 15 Mei 2002 sampai Maret 2006 telah menerima gratifikasi uang," kata hakim Suparman.
Dalam perusahaan tersebut, terang Suparman, Ernie yang merupakan istri Rafael didapuk sebagai komisaris utama, namun diketahui tidak pernah ikut rapat pemegang saham serta yang selalu aktif memimpin rapat dan mengambil keputusan adalah Rafael.
Akibat perbuatan tersebut, hakim Suparman mengatakan, "Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi."
Selain tindak pidana korupsi, Rafael juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang, kata Suparman.
Suparman merujuk kepada tindakan Rafael pada 2006 yang menempatkan modal usaha di PT Statika Kensa Prima Citra (SKPC) sebesar Rp315 juta dan kembali menempatkan Ernie ke dalam susunan kepengurusan perusahaan meski sang istri tidak memiliki kapasitas mengurus perusahaan tersebut.
"Sampai 210, terdakwa diketahui menambahkan modal ke PT SKPC untuk operasional sejumlah Rp5 miliar," lanjut Suparman.
Dalam dakwaan, Rafael dituduh melakukan pencucian uang senilai Rp100 miliar.
Besaran vonis penjara ini serupa tuntutan jaksa pada persidangan sebelumnya yang menginginkan Rafael dihukum selama 14 tahun --hanya berbeda pada vonis pembayaran denda dan uang pengganti.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 18,9 miliar.
Terkait putusan ini, Rafael dan jaksa penuntut mengatakan pikir-pikir.
Dalam pembelaan yang disampaikan kuasa hukum pada 2 Januari 2024, Rafael sempat meminta dibebaskan dari segala tuntutan dengan dalih telah banyak berjasa kepada bangsa dan negara Indonesia.
Kronologis kasus
Kasus Rafael Alun bermula setelah putranya, Mario Dandy terjerat kasus penganiayaan kepada seorang remaja Cristalino David Ozora (17 tahun). Video penganiayaan tersebut viral di media sosial.
Perilaku Mario yang kerap memamerkan mobil dan sepeda motor di media sosial kemudian mengarah kepada muasal harta kekayaan orang tuanya yakni Rafael Alun.
Tak lama setelah video kekerasan Mario viral di media sosial, beberapa orang menggelar protes di kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta dengan menempelkan dan menyebarkan kertas bertuliskan "stop bayar pajak" di depan kantor direktorat beberapa hari lalu.
Sementara di media sosial, tagar #stopbayarpajak juga bertebaran.
Dalam penyelidikan lanjutan, Rafael yang merupakan pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak memang didapati memiliki harta yang tidak sesuai profil kepangkatannya. Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), ia melaporkan harta Rp56 miliar.
Tak lama setelah insiden kekerasan oleh putra Rafael, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemudian "turun tangan" dengan mengecam gaya hidup mewah yang ditunjukkan bawahannya, bahkan sempat menginstruksikan pembubaran klub sepeda motor bermesin besar yang ada di lingkungan kementeriannya.
Sri Mulyani pun mengatakan akan memperkuat pengawasan dan pembersihan pada direktorat di bawah kementeriannya, termasuk Direktorat Jenderal Pajak.
Ia bahkan sempat meminta Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo untuk menjelaskan sumber kekayaannya yang tercantum di LHKPN.
KPK belakangan turut menyelidiki perkara Rafael dan menyeretnya ke meja hijau. Ia pun dipecat sebagai pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak karena dinyatakan telah melakukan pelanggaran disiplin berat.
Pada Maret tahun lalu, pemerintah juga telah membekukan puluhan rekening bank yang terafiliasi dengan Rafael senilai total Rp500 miliar sebagai bagian penyelidikan perkara.
Rafael bukan pegawai Direktorat Jenderal Pajak pertama yang dijerat kasus korupsi.
Pada 2010, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan kepangkatan lebih rendah dari Rafael didapati berharta miliaran rupiah yang diketahui didapat dengan cara culas.
Gayus Tambunan dihukum 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) usai terbukti berkongkalikong mengurangi kewajiban pajak korporasi.
Gayus belakangan juga dijerat pidana-pidana lain karena bersikap lancung sepanjang menjalani proses hukum seperti memberikan keterangan palsu, suap kepada hakim, polisi dan petugas jaga rumah tahanan Brimob, dan pencucian uang.
Total untuk beragam kejahatan tersebut, Gayus dipenjara selama 29 tahun.
Selain Gayus, MA pada Desember 2022 juga menetapkan vonis sembilan tahun penjara kepada mantan salah satu direkrut Direktorat Jenderal Pajak Angin Prayitno usai terbukti menerima suap Rp55 miliar untuk merekayasa penghitungan pajak sejumlah perusahaan.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman menilai Rafael layak dihukum lebih berat lantaran mengkhianati tugas dan kewenangannya, bahkan mengambil keuntungan pribadi dengan berperilaku koruptif.
"Ini kan berkaitan dengan penerimaan negara tapi dikorupsi. Itu bentuk pengkhianatan sehingga seharusnya bisa 20 tahun atau seumur hidup," ujar Boyamin kepada BenarNews.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar berharap putusan ini dapat menjadi pelajaran bagi pegawai pajak di masa mendatang.
“Ini bisa jadi pembelajaran, bagi para petugas pajak yang saat ini mungkin belum korupsi. Setidaknya ini menjadi warning korupsi di bidang perpajangan juga ada hukumannya,” kata Fajry kepada BenarNews.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meningkatkan koordinasi dengan lembaga lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kepolisian demi memperketat pengawasan.
Kasus-kasus korupsi pajak selama ini diketahui bukan dari inisiatif penegak hukum melainkan dari laporan masyarakat, ujarnya.
"Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi penegak hukum di Indonesia bahwa pengawasan Kementerian Keuangan belum berjalan sebagaimana mestinya," kata Kurnia kepada BenarNews seraya merujuk insiden bahwa PPATK telah beberapa kali mengingatkan Kemenkeu soal keganjilan rekening Rafael, tapi tidak ditindaklanjuti.
"Selama ini pengawasan sistem di Kemenkeu belum maksimal mengingat masih banyak korupsi di instansi tersebut."