Pengadilan Tolak Praperadilan 6 Aktivis Papua
2019.12.10
Jakarta
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa, 10 Desember 2019, menolak praperadilan untuk menggugurkan status tersangka enam aktivis Papua yang terancam pidana makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora saat berdemonstrasi menuntut diadakannya referendum untuk kemerdekaan Papua.
Hakim tunggal yang memimpin persidangan Agus Widodo menilai permohonan praperadilan yang diajukan para tersangka itu cacat hukum karena turut melibatkan lembaga kepresidenan sebagai salah satu pihak termohon, sehingga tidak bisa dikabulkan.
Selain itu, hakim Agus menilai permohonan juga tidak tepat sasaran karena memohonkan adanya pelanggaran hukum oleh pihak termohon (kepolisian) kala melakukan penyidikan. Perihal ini dinilai hakim tidak masuk dalam objek praperadilan.
"Mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan pemohon dan termohon, maka permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Agus Widodo saat membacakan amar putusan.
Enam aktivis Papua yang mengajukan gugatan praperadilan adalah Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere.
Mereka ditangkap tak lama usai berdemonstrasi damai menuntut diadakannya referendum penentuan nasib sendiri bagi Papua yang berujung dengan pengibaran bendera Bintang Kejora yang dilarang pemerintah di seputaran Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 28 Agustus 2019.
Demonstrasi itu merupakan buntut insiden tindakan rasis terhadap pelajar Papua di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus lalu.
Dengan penolakan ini, maka Surya Anta Cs kini menunggu sidang dugaan makar yang sudah dialamatkan kepada mereka.
Berkas persidangan keenamnya kini sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 13 November 2019 dan tinggal menunggu jadwal persidangan.
Abaikan substansi
Menanggapi putusan praperadilan, Muhammad Fuad selaku kuasa hukum Surya Anta Cs menilai hakim mengabaikan substansi permohonan keenam tersangka dan lebih berfokus kepada perihal formil.
"Bahwa fakta hukum yang dihadirkan di persidangan tidak dipertimbangkan oleh hakim. Seperti ada proses yang tidak sah yang dilakukan kepolisian dalam proses penangkapan," kata Fuad seusai persidangan.
Tak berbeda pendapat kuasa hukum lain, Oky Siagian yang menilai penangkapan para tersangka sangat terburu-buru, hanya dua hari setelah kepolisian menerima laporan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Para tersangka bahkan tidak pernah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi.
"Klien kami tidak pernah dipanggil sebagai saksi, tapi tiba-tiba ditangkap dan langsung disebut sebagai tersangka,” ujar Oky.
Dia menambahkan, penyidik semestinya berpegang pada Peraturan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Nomor 3 Tahun 2014 tentang standar operasional prosedur pelaksanaan penyidikan yang menyebut penangkapan semestinya wajib memiliki surat izin pengadilan negeri setempat dan disaksikan dua orang saksi dari rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) setempat.
Kedua hal ini, disebut Oky, tidak ditempuh kepolisian kala menangkap Surya Anta Cs.
"Jadi yang dilakukan pihak termohon terhadap klien kami merupakan perampasan dan tidak sah," tuturnya.
Perihal ketidaklaziman proses hukum yang ditempuh kepolisian memang sempat pula disinggung pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kala bersaksi di persidangan pada Rabu pekan lalu.
"Waktu dua hari dari laporan kemudian menetapkan tersangka. Kalau ditanya keabsahan itu tetap sah, tapi apakah biasa? Menurut saya itu tidak biasa," kata Abdul Fickar Hadjar, dikutip dari laman CNN Indonesia.
Adapun kuasa hukum kepolisian Ajun Komisaris Besar Surentu menerima keputusan hakim.
"Dengan penolakan ini, sudah sesuai dengan jawaban termohon dalam eksepsi," katanya.
Kasus lain
Berbeda dengan Surya Anta Cs yang masih menunggu jadwal persidangan, sebanyak 12 orang kini sedang menjalani persidangan di wilayah hukum Papua.
Mereka dijerat beragam pasal usai kerusuhan meletus di sejumlah titik di daerah ujung timur Indonesia itu, merespons insiden rasisme di Surabaya.
"Selain itu, masih ada juga yang menunggu proses sidang," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigadir Jenderal Argo Yuwono, saat dihubungi.
Hanya saja Argo tak merinci jumlah yang menunggu persidangan.
Ia hanya menambahkan bahwa kepolisian secara total menetapkan sepuluh tersangka di Timika, 14 orang di Paniai, 19 di Wamena, dan 37 orang Jayapura.
Selain penangkapan beberapa orang usai kerusuhan pada Agustus dan September lalu, polisi juga menangkap puluhan orang menjelang hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1 Desember lalu.
Mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka makar, ditangkap tak jauh dari Bandar Udara Sentani setelah dianggap berniat memperingati “Hari Manifesto Bangsa Papua” di Lapangan Trikora Abepura serta di Kabupaten Fakfak.
Kapolda Papua Barat, Brigjen Herry Rudold Nahak, beberapa hari lalu mengatakan bahwa 11 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam pengibaran Bintang Kejora di Puncak Malanu Distrik Sorong Utara, Kota Sorong, pada 1 Desember 2019.
Berdasarkan catatan Human Rights Watch (HRW), setidaknya ada penambahan 22 tahanan politik terkait Papua sejak Agustus lalu. Padahal sebelumnya hanya tersisa tiga narapidana politik – semuanya terkait Republik Maluku Selatan – di Indonesia.