Dua pemuda di Aceh divonis hukuman cambuk karena hubungan sesama jenis
2025.02.24
Banda Aceh

Dua pemuda di Aceh dijatuhi hukuman cambuk di depan umum setelah Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh pada Senin (24/2) menyatakan mereka bersalah atas hubungan sesama jenis.
Majelis hakim yang diketuai Sakwanah menjatuhkan vonis 85 kali cambuk untuk AI (24) dan 80 kali cambuk untuk DA (18) dalam persidangan. Keduanya dinyatakan terbukti melakukan liwath, istilah dalam Qanun Jinayat yang merujuk pada hubungan seksual sesama laki-laki.
Vonis terhadap AI dan DA menandai kasus keempat dalam satu dekade terakhir di mana pasangan sesama jenis diadili dan dijatuhi hukuman cambuk di Aceh. Kasus pertama terjadi pada 2017, disusul kasus serupa pada 2018 dan 2021.
“Perbuatan terdakwa telah berulang kali dilakukan dan meresahkan masyarakat karena dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan yang sama,” kata Sakwanah.
Namun, hakim juga mempertimbangkan beberapa faktor yang meringankan, seperti sikap kooperatif terdakwa selama persidangan, kejujuran dalam memberikan keterangan, serta fakta bahwa mereka belum pernah dihukum sebelumnya dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Setelah berkonsultasi dengan kuasa hukum, AI dan DA memilih menerima vonis tanpa mengajukan banding. Sementara itu, jaksa penuntut umum juga menerima putusan hakim, yang sejalan dengan tuntutan mereka, yakni 80 kali cambuk.
AI menerima hukuman lima cambukan lebih banyak karena dianggap sebagai pihak yang mengundang DA dan menyediakan tempat pertemuan.

Peristiwa ini bermula pada 7 Nov. 2024, ketika AI dan DA ditangkap oleh warga di sebuah rumah kos di pinggiran Banda Aceh.
Menurut dokumen pengadilan, AI awalnya menghubungi DA dengan alasan untuk mengerjakan tugas kuliah bersama. Namun, mereka kemudian diketahui berada dalam kondisi berpelukan setelah berhubungan intim, sebelum akhirnya digerebek warga dan diserahkan ke Wilayatul Hisbah, atau polisi syariah Aceh.
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariah secara resmi sejak 2001, sebagai bagian dari perjanjian damai antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Meskipun secara nasional tidak ada hukum yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis, Aceh memberlakukan Qanun Jinayat pada 2014, yang mengatur hukuman bagi perbuatan yang dianggap melanggar syariat Islam, termasuk homoseksualitas, zina, dan kemesraan di depan umum bagi pasangan yang belum menikah.
Hukuman cambuk di Aceh biasanya dilakukan di tempat umum, seperti di depan masjid, kantor pemerintah, atau alun-alun kota. Jaksa belum mengumumkan jadwal eksekusi hukuman, namun menyatakan akan berkoordinasi dengan Wilayatul Hisbah untuk menentukan waktu dan lokasi pelaksanaan.
Sebagai provinsi dengan status otonomi khusus, Aceh memiliki kewenangan untuk menerapkan hukum syariah, sebuah kebijakan yang sejak awal mengundang kritik dari kelompok hak asasi manusia.
Organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah berulang kali mengecam praktik hukuman cambuk, yang dianggap sebagai bentuk hukuman kejam dan tidak manusiawi.
Di tingkat nasional, meskipun tidak ada larangan resmi terhadap hubungan sesama jenis, kelompok LGBTQ+ di Indonesia sering menghadapi diskriminasi dan tekanan sosial. Di beberapa wilayah, seperti Jakarta dan Surabaya, razia terhadap komunitas LGBTQ+ pernah terjadi, meskipun secara hukum tidak ada dasar untuk penangkapan.
Baik AI maupun DA memilih bungkam saat digiring keluar dari ruang sidang.
Kuasa hukum mereka juga menolak memberikan komentar, segera meninggalkan gedung pengadilan usai sidang.