Pemungutan suara ulang di 24 daerah: KPU dan Bawaslu dikritik soal kelalaian
2025.02.28
Jakarta

Perintah Mahkamah Konstitusi untuk pelaksanaan pemungutan suara ulang di 24 kabupaten dan kota akibat ditemukannya pelanggaran serius dalam pemilihan kepala daerah bulan November lalu menimbulkan kekhawatiran terhadap integritas pemilu.
Sejumlah pengamat menilai tingginya jumlah pembatalan hasil mencerminkan kelemahan mendasar dalam administrasi pemilu.
Selain persoalan integritas, pemungutan suara ulang juga menghadapi kendala anggaran. Kementerian Dalam Negeri menyatakan hanya delapan daerah yang memiliki dana untuk menggelar pemungutan suara ulang, di tengah gencarnya Upaya efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut masih membutuhkan tambahan Rp486 miliar untuk menyelenggarakan pemilihan ulang.
Para pengamat pemilu menyoroti lemahnya pengawasan oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyebab utama banyaknya pembatalan hasil Pilkada kali ini.
"KPU dan Bawaslu tidak profesional dan diduga memiliki masalah integritas," kata Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, kepada BenarNews, Kamis (27/2).
“Sangat mungkin yang lolos disengaja, mungkin kolusi, atau proses transaksional,” tambahnya.
Menurut Hadar, pemungutan suara ulang seharusnya dapat dihindari jika KPU dan Bawaslu bekerja dengan baik sejak awal karena banyak permohonan sengketa pilkada yang dikabulkan berakar pada masalah administrasi, seperti keabsahan ijazah dan ketidakjujuran mengenai status hukum calon kepala daerah.
"Menunjukkan betapa bermasalahnya pemilihan kita, demokrasi kita. Untuk pemilu kali ini, masalah paling menonjol itu dari penyelenggara," tambah mantan komisioner KPU tersebut.
Dalam putusannya pada Senin, MK memerintahkan pemilihan ulang di 24 daerah. Sementara itu, sembilan perkara ditolak, lima dinyatakan tidak dapat diterima, satu kasus memerlukan rekapitulasi ulang, dan satu lainnya mewajibkan perbaikan surat keputusan KPU.
Jumlah daerah yang diperintahkan MK untuk menggelar pemungutan suara ulang meningkat signifikan dibanding pilkada serentak sebelumnya. Pada 2018, hanya lima daerah yang menjalani pemungutan ulang, sementara pada 2020 jumlahnya mencapai 16 daerah.
Sebanyak 545 daerah melaksanakan pemilihan kepala daerah pada 2024, yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Sementara itu, Pilkada 2020 diselenggarakan di 270 wilayah di Indonesia, yang mencakup 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
MK menginstruksikan pemungutan suara ulang di Papua setelah calon gubernur nomor urut satu, Yermias Bisai, terbukti tidak jujur dalam penerbitan surat keterangan tidak pernah menjadi terpidana.
Dari total 24 pemungutan suara ulang yang harus digelar, satu di antaranya adalah pemilihan gubernur, yakni Provinsi Papua. Sisanya merupakan pemilihan bupati dan wali kota.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai tindakan Yermias, calon gubernur yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, tidak dapat dibenarkan secara hukum. Menurutnya, kejanggalan ini seharusnya sudah ditemukan sejak tahap awal verifikasi oleh KPU Papua.
"Semestinya ditemukan oleh termohon (KPU Papua) saat verifikasi berkas pasangan calon," ujar Saldi dalam putusan MK.

Kasus serupa terjadi di pemilihan bupati Pasaman, Sumatra Barat. Calon wakil bupati Anggit Kurniawan tidak terbuka mengenai statusnya sebagai mantan terpidana, sehingga MK memutuskan pemungutan suara ulang.
MK menetapkan tenggat waktu pemungutan suara ulang bervariasi di masing-masing daerah, dengan batas maksimal 180 hari.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menyebut pemungutan suara ulang ini sebagai konsekuensi dari gagalnya penyelenggara pemilu menjalankan tugasnya. Padahal di sisi lain, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah gencar melakukan pemotongan anggaran.
"Ini kewajiban yang menjadi beban negara yang disebabkan aparat negara yang bermasalah," kata Haykal kepada BenarNews.
"Ini menunjukkan bahwa penyelenggaran pemilu yang ugal-ugalan, pada akhirnya yang terbebani adalah masyarakat. Dana yang bukan diperuntukkan untuk pilkada, harus dipindahkan ke kebutuhan pilkada," kata Haykal.
Sesuai regulasi, pembiayaan pilkada menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, jika daerah dianggap tidak sanggup, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menalangi kebutuhan tersebut.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, menilai pemungutan suara ulang ini merugikan keuangan negara.
"Sudah pasti pemborosan karena tidak perlu berkepanjangan jika di awal [potensi masalah] terdeteksi oleh KPU," ujar Jeirry.
Ia menambahkan bahwa dari total 24 pemungutan suara ulang, sepuluh di antaranya disebabkan oleh kelalaian KPU dan Bawaslu dalam verifikasi administrasi.
Jeirry juga memperkirakan tingkat partisipasi masyarakat akan menurun akibat kejenuhan setelah mengikuti berbagai proses pemilu dalam setahun terakhir.
Sejak 2024, masyarakat telah menjalani pemilu legislatif dan presiden pada Februari serta pilkada serentak pada November. Selain itu, pemilihan ulang berpotensi menurunkan kualitas pemilu karena keterbatasan anggaran.
"Efisiensi anggaran jangan membuat pemungutan suara ulang dijalankan dengan kualitas buruk," kata Pengamat Politik Universitas Jenderal Soedirman, Ahmad Sabiq.
"Soal pengawasan, misal, jangan ada pengurangan karena akan berbahaya," tambahnya.
BenarNews telah menghubungi sejumlah komisioner KPU untuk meminta tanggapan, namun belum mendapat respons.
Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, dalam keterangannya seusai rapat dengan DPR, menyatakan keterbatasan waktu dan kendala administrasi menjadi alasan utama banyaknya permasalahan dalam verifikasi calon kepala daerah.
Dia merujuk verifikasi ijazah calon kepala daerah di Pesawaran, Gorontalo Utara, dan Palopo yang membutuhkan putusan pengadilan, sementara waktu pelaksanaan terbatas.
“Proses-proses itu belum terpenuhi saat teman-teman harus memutuskan seseorang itu memenuhi syarat atau tidak,” kata Afifuddin.