Sistem noken pemilu di Papua: Antara pelestarian budaya dan penerapan demokrasi
2024.02.09
Walesi, Papua Pegunungan
Kepala suku Sadiq Asso mengaku belakangan ini sibuk mengumpulkan tokoh lokal di honai, bangunan tradisional khas Papua yang beratap rumbia dan berlantai jerami, untuk membahas pemilu 14 Februari dan menentukan siapa pemimpin nasional yang mereka pilih.
Pemimpin adat dari suku Assolipele di Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, tersebut memimpin 2.000-an warganya bermusyawarah untuk memufakati calon presiden penerus Joko “Jokowi” Widodo yang masa jabatannya berakhir pada Oktober sekaligus memilih anggota legislatif.
Sistem musyawarah mufakat tersebut merupakan cara unik bagi mayoritas masyarakat di Papua Pegunungan dalam memilih pemimpin nasional melalui kesepakatan, yang dikenal dengan sistem noken – yang diambil dari nama tas serba-guna anyaman kayu khas Papua.
Tidak seperti kebanyakan warga Indonesia lainnya, yang mencoblos surat suara secara individu, Sadiq akan menggunakan sistem noken, di mana dia akan memilih atas nama warganya berdasarkan kesepakatan sebelumnya di antara para anggota.
“Kami sepakat untuk menggunakan sistem noken untuk melestarikan budaya kami,” kata Sadiq kepada BenarNews sambil menyeruput secangkir kopi yang disediakan oleh para warga perempuan di Distrik Walesi, tempat tinggalnya.
Sadiq bercerita, saat dia bertemu warga di dalam honai, para perempuan dari sukunya biasanya sibuk menenun noken warna-warni, tas tradisional yang terbuat dari kulit kayu, sambil duduk di atas rumput. Sementara anak-anak bermain dan saling berkejaran.
Sistem noken, atau sistem kesepakatan, berlaku di beberapa daerah terpencil di Papua, yang berpenduduk 4,4 juta jiwa, terutama di area pegunungan. Metode memilih yang juga dikenal dengan sistem ikat ini adalah keputusan kolektif yang dibuat oleh kepala suku dan klannya.
Sistem noken yang disebut juga sistem Big Man merupakan praktik tradisional yang diakui secara hukum oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2009, kata Theodorus Kossay, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Pegunungan, Jayawijaya.
“Sistem noken juga bertujuan untuk mengakomodasi masyarakat yang buta huruf, dan mengatasi permasalahan geografis,” Theodorus mengatakan kepada BenarNews.
Praktik sistem noken ini dilakukan dengan cara surat suara yang telah dikumpulkan oleh kepala suku itu dimasukkan ke dalam noken yang digantungkan di samping tempat pemungutan suara.
Ada beberapa tas yang mewakili kandidat pemimpin yang akan dipilih digantung di dekat tempat pemungutan suara. Surat suara yang dikumpulkan di dalam noken tersebut akan dicoblos panitia sebelum penghitungan suara dilakukan, kata Theodorus.
Theodorus mengatakan sistem noken pertama kali digunakan pada pemilu tahun 2009, namun beberapa pihak meyakini sistem ini sudah ada sejak 1969, ketika PBB mengawasi referendum yang menegaskan kedaulatan Indonesia atas Papua.
Referendum tersebut, yang hanya melibatkan sekitar 1.000 orang, dikritik secara luas sebagai sebuah manipulasi, namun PBB menerima hasilnya.
Sejak saat itu, sistem noken telah diterapkan dalam berbagai pemilu, termasuk pemilu kepala desa, bupati, dan gubernur, kata Theodorus.
Kali ini, enam dari delapan kabupaten di Dataran Tinggi Papua, antara lain Yahukimo, Jayawijaya, Nduga, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, dan Tolikara akan menggunakan sistem noken, ujarnya.
Papua, yang merupakan bagian barat pulau New Guinea, dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1963 setelah Belanda menarik pemerintahannya pada tahun 1962. Aneksasi tersebut dikonfirmasi oleh referendum yang disponsori PBB pada tahun 1969.
Sejak itu, gerakan pro-kemerdekaan, yang dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM), melancarkan perang gerilya melawan Indonesia. OPM mengklaim Papua adalah bangsa yang berbeda dengan Indonesia, dengan identitas suku, budaya, dan agama yang berbeda.
Jakarta memberikan otonomi khusus bagi Papua pada tahun 2001 untuk meredakan keinginan merdeka, namun aparat keamanan Indonesia dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama operasi anti-pemberontakan di Papua.
Pada 2022, DPR mengesahkan undang-undang untuk membentuk empat provinsi baru di Papua: Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya, bergabung dengan provinsi Papua dan Papua Barat yang sudah ada sebelumnya.
Langkah ini ditentang oleh banyak penduduk asli Papua, yang memperingatkan akan semakin buruknya pelanggaran hak asasi manusia dengan kehadiran lebih banyak pasukan keamanan.
Tidak demokratis
Model pemungutan suara noken bukannya tanpa kontroversi. Beberapa kritikus berpendapat sistem ini tidak demokratis, karena tidak memberikan kebebasan kepada warga negara menentukan pilihannya tanpa pengaruh kepala suku atau partai politik.
Beberapa pihak juga khawatir bahwa sistem noken ini rentan terhadap penipuan atau manipulasi, karena surat suara dapat dialihkan untuk kandidat lain.
Kalangan generasi muda Papua, seperti Irsan Yelipele, 30, seorang tokoh pemuda di Distrik Walesi, dan Loina Lokobal, 20, seorang pelajar di Wamena, lebih memilih sistem konvensional “one-man-one vote”, yang mereka yakini lebih adil dan transparan.
“Saya lebih memilih one man one vote, karena sistem noken rawan kecurangan, salah satunya adalah perpindahan suara dari calon pilihan kita ke calon lain,” kata Irsan.
Loina, seorang pemilih pemula, setuju. “Saya mendengar kasus seperti itu dari orang tua saya. Jadi, untuk pemilu presiden, saya sendiri yang akan memilih,” ujarnya.
Namun warga lain, seperti Magasalok Asso, 48, dan menantu perempuannya Sisilia Asso, 28, yang satu marga dengan Sadiq, mendukung sistem noken karena lebih sederhana dan mudah bagi mereka.
Magasalok, yang hanya berbicara bahasa lokal dan tidak pernah bersekolah, mengaku mempercayai kepala suku untuk mengambil keputusan terbaik bagi masyarakat. Sisilia, yang memiliki gelar sarjana akuntansi, mengaku menghormati tradisi dan konsensus.
“Kami lebih memilih sistem noken sesuai konsensus yang mereka sepakati,” kata Sisilia.
Otoritas pemilu di Papua telah mencoba untuk menyeimbangkan kedua sistem tersebut, dengan mengizinkan sistem noken digunakan di beberapa daerah terpencil dan pegunungan, sekaligus mendorong sistem konvensional di daerah perkotaan dan lebih mudah diakses.
Mereka juga telah menerapkan langkah-langkah untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, seperti melubangi noken dengan disaksikan kepala suku dan perwakilan dari partai politik.
Steve Dumbon, Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua, mengatakan sistem noken bersifat konstitusional bersyarat.
“Artinya, pada akhirnya sistem noken akan dihapuskan seiring dengan meningkatnya kesadaran politik dan pendidikan masyarakat,” kata Steve kepada BenarNews.
Naftali Paweka, komisioner KPU di Papua Pegunungan, mengatakan bahwa penghapusan sistem tersebut mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun, karena praktik tersebut sudah tertanam dalam budaya dan kehidupan masyarakat asli Papua.
“Noken itu simbol budaya bagi mereka. Mereka menggunakannya untuk berbagai keperluan, seperti membawa anak dan barang lainnya,” ujarnya.
Velix Wanggai, Penjabat Gubernur Provinsi Dataran Tinggi Papua, mengatakan Papua perlu mengadopsi modernitas tanpa meninggalkan budaya musyawarah mufakat.
Velix mengatakan Jakarta telah menyiapkan rencana induk percepatan pembangunan Papua pada 2022 hingga 2041 yang akan mengatasi permasalahan infrastruktur dan sosial di wilayah tersebut.
“Kami ingin mencapai kesepakatan mengenai apakah sistem noken akan diberlakukan pada tahun 2041 atau apakah akan ada modifikasi atau jalan tengah,” kata Velix kepada BenarNews.
“Noken bukan alternatif dari sistem konvensional, melainkan instrumen pelengkap,” ujarnya.
Bagi Sadiq, sang kepala suku, tampaknya noken harga mati. Dia menegaskan segala upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk menghapus sistem noken akan menuai perlawanan dari sukunya.
“Sebagai kepala suku, kami pasti akan melawan,” ujarnya, seraya bertekad menghadapi siapa pun yang berani membiarkan budaya mereka hilang.
“Kami lahir di noken, kami mengisi [surat suara] di noken, dan kami kembali ke noken.”