Pemerintah akan pulihkan kewarganegaraan pelarian politik 1960-an
2023.03.16
Jakarta
Pemerintah akan memulihkan hak kewarganegaraan orang Indonesia yang berada di luar negeri dan tidak bisa kembali karena dituduh terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1960-an, demikian Instruksi Presiden yang dirilis Kamis (16/3).
Instruksi Presiden, yang ditandatangani oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo sehari sebelumnya itu, merupakan tindak lanjut pernyataan pemerintah pada Januari lalu yang mengakui terdapat 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat antara tahun 1965 dan 2004 dan rekomendasi penyelesaian nonyudisial termasuk rehabilitasi dan kompensasi.
Inpres tersebut meminta "Menteri Luar Negeri untuk melakukan verifikasi data dan memberikan prioritas untuk memperoleh dokumen terkait hak kewarganegaraan terhadap korban atau ahli warisnya dan korban terdampak dari peristiwa pelanggaran HAM berat yang berada di luar negeri."
Inpres tersebut berlaku hingga 31 Desember tahun ini.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengaku belum memiliki data para eksil, tapi menyatakan pihaknya siap menjalankan instruksi Jokowi tersebut.
"Kami segera menindaklanjuti bersama-sama perwakilan RI di luar negeri," kata Faizasyah kepada BenarNews.
Selain Kemlu, terdapat 18 kementerian dan lembaga lain yang ditugaskan untuk membantu, termasuk Kementerian Dalam Negeri yang ditugaskan mengumpulkan dan memverifikasi korban serta memberikan layanan administrasi kependudukan di daerah.
Kementerian Hukum dan HAM diperintahkan untuk melayani pembuatan dokumen bagi korban dan ahli warisnya, dan Kementerian Sosial menyalurkan bantuan dan rehabilitasi sosial bagi korban atau ahli warisnya.
Mereka juga dibantu Tim Pelaksana yang terdiri dari tokoh beragam latar belakang, mulai dari akademisi hingga pegiat HAM yang bertugas memberikan mengevaluasi dan memberi saran kepada kementerian dan lembaga yang ditugaskan Jokowi.
Meski masa kerja tersisa sekitar sembilan bulan, anggota tim pelaksana penyelesaian nonyudisial HAM, Beka Ulung Hapsara, mengaku optimis tim dapat mentuntaskan tugas.
"Masih cukup waktu," kata Beka kepada BenarNews, tanpa merinci rencana dan saran yang disiapkan kepada kementerian dan lembaga terkait.
Tidak antusias
Tom Iljas (84), salah seorang eksil yang kini menetap di Stockholm, Swedia, tak begitu antusias dengan rencana pemulihan kewarganegaraan.
Menurut Tom, pemerintah semestinya terlebih dahulu menetapkan pelaku pelanggaran dan menyidangkannya.
"Hanya diakui ada pelanggaran HAM berat, tapi siapa yang berbuat dan aktornya tidak disebut. Minta maaf pun tidak," kata Tom yang sudah menetap di Swedia sejak awal 1973 kepada BenarNews.
Tom sempat mendapat tugas belajar di Peking Institute of Agricultural Mechanization di China oleh Presiden Sukarno tahun 1960 dan lulus 1965, tapi kemudian "terusir" dari Indonesia setelah paspornya ditahan imigrasi.
Ia juga meminta pemerintah mencabut TAP MPRS 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ideolog komunisme, marxisme, dan leninisme yang dinilainya memelihara diskriminasi terhadap keluarga korban.
Ia merujuk pengalamannya kala berupaya mencari makam orang tuanya di Pesisir Selatan, Sumatra Barat, tapi sempat diadang sekelompok orang tak dikenal, diinterogasi polisi, hingga dideportasi ke Swedia pada 2015.
Ia menilai, tindakan seperti itu masih akan terus terulang jika pemerintah tidak mencabut TAP MPRS.
"Selama masih ada aturan diskriminatif, TAP MPRS itu masih ada, perasaan aman belum terjamin," kata Tom, seraya menambahkan bahwa terdapat sekitar 20 orang eksil yang kini menetap di Swedia.
"Jika belum ada perlindungan keamanan itu, apakah mereka yang ditawarkan mau pulang ke Indonesia?"
Inpres tidak memadai
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai Inpres yang diteken Jokowi tidak memadai dan meminta pemerintah membuka laporan lengkap Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang hingga sekarang belum bisa diakses publik.
Penting agar masyarakat dan korban bisa mengetahui temuan tim secara lebih utuh karena ini akan mendorong partisipasi korban dan masyarakat luas, kata Usman.
"Keterbukaan menjadi sangat penting karena ini menyangkut kebijakan pemerintah terhadap pelanggaran HAM yang sudah belasan tahun atau puluhan tahun dibiarkan, dan bahkan sudah menimbulkan stigma seperti diketahui oleh pemerintah sendiri," kata Usman kepada BenarNews.
"Implementasi rekomendasi itu sangat penting, namun akan lebih kuat jika keterbukaan itu terlihat di setiap fase kebijakan dan tindakan pemerintah, sekaligus menunjukkan komitmen penuh agar pelanggaran HAM ini tidak terulang di masa depan."
Sejalan dengan Tom, Usman juga mendesak pemerintah mencabut beragam aturan diskriminatif, salah satunya Keputusan Presiden 28/1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat Gerakan 30 September golongan C.
Beleid tersebut menyatakan bahwa Gerakan 30 September merupakan pengkhianatan yang dilancarakan PKI. Sementara Golongan C didefinisikan sebagai mereka yang terlibat atau diduga terlibat secara tidak langsung dalam insiden tersebut.
Sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam, tawaran memulihkan hak kewarganegaraan sebagai kebijakan tergolong sulit karena para eksil rata-rata telah menjadi warga negara asing dan beroleh jaminan yang lebih baik di negara baru masing-masing.
“Kalau mereka mau pindah lagi sih silakan, namun sulit karena mereka sudah memiliki jaminan kesehatan yang besar di sana dan di sini (Indonesia) tidak sebesar di Eropa,” ujarnya.
“Usul saya, jika mereka ingin tetap menjadi warga negara sana, mungkin dimudahkan dalam dokumen lainnya seperti mendapatkan visa yang lama di Indonesia, dipermudah visa nya,” kata Asvi kepada BenarNews.
Asvi tak mengetahui total eksil yang tersebar di luar negeri, namun ia memperkirakan jumlahnya mencapai ribuan dan terbesar di beragam negara seperti Belanda, China, Kuba, Albania, Perancis, Eropa, dan Rusia.
“Banyak dari mereka yang sudah meninggal. Jumlahnya semakin sedikit,” katanya, seraya menambahkan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait ini.
Sementara pengajar sejarah Universitas Sanata Dharma, Chandra Halim, menilai tawaran pemulihan hak kewarganegaraan tersebut sebagai "langkah rekonsiliasi yang baik".
“Ini bukan berdamai dengan komunis tapi upaya mencari solusi bagi korban kekeliruan di masa lalu hanya karena kelompok tertentu yang bersebrangan politiknya,” kata Chandra kepada BenarNews.