Pemerintah Klaim Punya Bukti Kuat HTI Bertentangan dengan Pancasila
2017.05.12
Jakarta

Ketika seorang perempuan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) membagikan siaran pers kepada para wartawan saat jumpa pers, 9 Mei 2017, di kantor pusat organisasi massa (ormas) itu di kawasan Menteng, Jakarta Selatan, ia menolak memberikan ke jurnalis pria yang mendekatinya.
Dia menyarankan sang wartawan meminta ke ‘ikhwan’, merujuk pada pria rekannya sesama anggota HTI, yang juga sedang membagikan siaran pers di sisi lain ruangan.
Pemisahan wartawan pria dan wanita juga terlihat dari pintu masuk yang dibedakan, walau akhirnya berkumpul dalam ruangan yang sama dan tak ada sekat pemisah.
Beberapa kalangan komunitas Muslim di Indonesia dalam percakapan sehari-hari biasa menyebut laki-laki memakai istilah bahasa Arab, ‘ikhwan’, yang artinya saudara laki-laki dan untuk perempuan dengan istilah ‘akhwat’ atau saudara perempuan.
Juru bicara Muslimah HTI, Iffah Ainur Rochmah, mengatakan pemisahan sudah biasa dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga nilai-nilai Islam dalam semua aspek kehidupan sehari-hari.
Namun, menurutnya, tidak tertutup dalam satu kegiatan mereka melibatkan laki-laki dan perempuan, walau pengaturan duduk tetap dipisahkan.
“Ini bagian dari sosialisasi syariah Islam, bagaimana menjaga kehormatan perempuan tanpa mendiskriminasikan salah satu di antaranya, laki-laki atau perempuan,” ujar Iffah kepada BeritaBenar, Jumat, 12 Mei 2017.
Masuk ranah politik
HTI yang kegiatannya difokuskan dalam bentuk dakwah dengan tujuan akhir penerapan syariah Islam di Indonesia, terancam dibubarkan pemerintah karena dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, menyatakan walaupun aktivitas HTI adalah dakwah, namun ormas itu adalah gerakan politik yang mengusung ideologi khilafah transnasional untuk mendirikan pemerintahan Islam dalam konteks dunia, sehingga meniadakan negara bangsa, termasuk Indonesia.
“Masyarakat harus paham betul bahwa khilafah ingin meniadakan negara bangsa, maka dari itu Hizbut Tahrir sudah lebih dahulu dilarang di 20 negara,” katanya dalam jumpa pers di kantornya, Jumat.
HTI sempat berencana menggelar Forum Internasional Khilafah, 23 April lalu, tetapi dibatalkan karena tidak mendapat ijin kepolisian.
Ormas ini juga berada di baris terdepan bersama Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dalam sejumlah “Aksi Bela Islam” menuntut ditangkap dan dipenjarakannya Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, Gubernur Jakarta saat itu, atas tuduhan penistaan Alquran. Ahok yang ditahan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan dirinya bersalah dalam kasus tersebut dengan hukuman 2 tahun penjara, kini sedang dalam proses pengajuan banding.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan Kejaksaan Agung sedang menyiapkan proses pembubaran HTI melalui jalur hukum untuk diajukan ke pengadilan.
Tjahjo mengaku pemerintah sudah mempunyai bukti-bukti pendukung klaim mereka bahwa HTI terindikasi anti-Pancasila, berupa rekaman, tulisan, dan video, yang diperoleh dari berbagai daerah melalui instansi-instansi pemerintah.
Menurut Tjahjo, video yang dikumpulkan menunjukkan beberapa tokoh ormas itu kerap menyampaikan pidato mengenai pertentangan dengan Pancasila dan bentuk negara kesatuan.
“Asasnya menyebut (Pancasila), tapi sehari-harinya tidak,” ujar Tjahjo kepada para wartawan, Rabu, 10 Mei 2017.
Ia menyakini pengadilan akan mengabulkan gugatan pembubaran HTI karena ormas tersebut sudah dinilai melanggar aturan. Tapi belum jelas kapan proses pengadilan akan dimulai.
Ikut berkontribusi
Juru bicara HTI, Ismail Yusanto, menolak tudingan pemerintah bahwa khilafah bertentangan dengan Pancasila.
“Khilafah itu ajaran Islam. Menurut pasal 59 Undang Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Massa, ajaran Islam tidak bertentangan dengan Pancasila,” ujarnya.
Ismail menambahkan, melalui kegiatan dakwahnya di seluruh Indonesia, HTI telah memberikan kontribusi bagi negara dengan membangun sumber daya manusia, mengkritisi berbagai peraturan perundangan dianggapnya merugikan bangsa.
Mereka juga melakukan sosialisasi anti-narkoba, menentang gerakan separatisme dan upaya disintegrasi dan terlibat dalam usaha membantu para korban bencana alam di berbagai tempat di Indonesia.
“Oleh karena itu, tudingan bahwa HTI tidak memiliki peran positif (bagi Indonesia) tidaklah benar,” ujar Ismail.
Namun, Ismail membenarkan HTI mempunyai kritik keras terhadap demokrasi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai perumus hukum.
“Ini bertentangan 180 derajat dengan ajaran Islam yang mengatakan hukum dibuat oleh Allah. Manusia bukan pembuat hukum tapi pelaksana hukum. Menurut Islam, pemimpin dipilih untuk menjalankan hukum syariah,” jelasnya.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto (tengah) yang didamping dua pengurus HTI saat menggelar jumpa pers di Jakarta, 9 Mei 2017. (Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar)
Gerakan di kampus
Menurut laporan International Crisis Group (ICG) berjudul "Radical Islam in Central Asia: Responding to Hizbut Tahrir” yang terbit Juni 2003, HTI pertama kali muncul di Indonesia pada 1983 yang dibawa seorang warga Australia keturunan Yordania-Lebanon bernama Abdurrahman al-Baghdadi.
Selama 15 tahun terakhir, HTI berkembang sebagai gerakan bawah tanah di kampus-kampus di Jawa. Pergerakan HTI semakin berkembang saat kontrol politik berkurang setelah era Presiden Suharto berakhir tahun 1998.
Tapi, Akhmad Solihin, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, menyatakan kegiatan organisasi mahasiswa dengan afiliasi keagamaan di kampus telah berkurang sejak lima tahun lalu.
Hal ini karena karakteristik generasi mahasiswa milenial tidak terlalu tertarik dengan kegiatan kemahasiswaan, ditambah beban kuliah lebih banyak sehingga membuat mereka tidak punya banyak waktu untuk berkumpul.
“Bila diminta datang untuk rapat, yang hadir hanya sedikit. Tidak seperti dulu, ketika organisasi-organisasi mahasiswa giat untuk berebut pengaruh di kampus, setidaknya sampai di era 1990-an,” ujarnya kepada BeritaBenar.
“Sekarang kegiatan organisasi mahasiswa di kampus sudah kehilangan massanya. Jadi tidak perlu kawatir,” tambah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu.
Ismail mengatakan bahwa selama keberadaan mereka di Indonesia, kegiatan dakwah berjalan lancar dan tidak pernah mendapat halangan.
“Baru kali ini saja,” ujarnya, yang menambahkan HTI siap menghadapi upaya hukum di pengadilan.
Iffah menambahkan, keleluasaan mereka dapat di era reformasi sebatas hak sebagai warga yang bebas berekspresi, yang dalam kegiatan HTI berbentuk dakwah untuk menyebarkan pandangannya.
“Kami tidak bandingkan secara spesifik perlakuan tiap rezim, tapi kenapa ini terjadi sekarang? Langkah ini bisa jadi dapat membenarkan persepsi sebagian publik bahwa rezim ini represif dan anti-Islam,” katanya.