Pemerintah Diminta Jamin Hak Korban Aksi Terorisme
2016.02.17
Jakarta
Pemerintah diminta lebih serius memperhatikan hak-hak korban aksi terorisme. Jika perlu, penanganan dan jaminan hak korban termaktub dalam revisi Undang-undang (UU) Antiterorisme yang kini tengah digodok pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
"Harus ada klausul khusus yang mengakomodir pemenuhan hak-hak korban," kata Direktur Aliansi Indonesia Damai dan Yayasan Penyintas Indonesia Korban Terorisme (AIDA-YPI) Hasibullah Sastrawi saat diwawancara BeritaBenar di Jakarta, 17 Februari 2016.
Klausul khusus dimaksud antara lain menyangkut jaminan biaya medis akibat tindak pidana terorisme dan pemulihan trauma.
"Itu penting supaya tak ada korban yang terlantar. Butuh payung hukum supaya ada jaminan," tegasnya.
"Jadi, (revisi UU Terorisme) jangan hanya membahas tentang pencegahan dan penindakan tapi juga pemenuhan hak-hak korban terorisme," tambahnya.
Pendapat senada dikatakan anggota Komisi III DPR Nasir Djamil. Dia mendesak pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk serius menangani dan memenuhi hak-hak para korban akibat aksi terorisme.
"Sebagai wujud bahwa kita peduli dengan mereka (korban)," ujar Nasir kepada BeritaBenar.
"Tapi itu jika pemerintah menilai terorisme sebagai kejahatan khusus. Kalau khusus, perlakuan terhadap korban aksi terorisme pun seharusnya juga khusus,” tambahnya.
‘Tak ada yang mengurus’
Menurut dia, saat ini BNPT tidak ada direktorat yang mengurusi korban. Padahal hal itu sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 12 Tahun 2012 bahwa penanganan korban merupakan salah satu kewenangan BNPT.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai, pemerintah lewat BNPT seperti mengabaikan penanganan korban aksi terorisme. Padahal, menurut Nasir, penanganan korban tak bisa disepelekan.
"Jangan sampai nanti muncul dari mereka (para korban) bahwa negara lebih memuliakan pelaku dan mantan pelaku, sedangkan korban nggak diperhatikan," kata Nasir, memberi argumennya.
"Tangan sudah cacat, misalnya, tapi tak diperhatikan. Berbeda nasibnya dengan eks-pelaku yang dibimbing dan bisa tampil di beragam stasiun televisi usai menjalani masa hukuman. Bisa-bisa, akhirnya muncul dukungan batiniah para korban terhadap aksi terorisme. Bisa jadi begitu, kan?"
Namun ketika dihubungi terpisah, juru bicara BNPT Irfan Idris menyangkal pemerintah abai terhadap para korban aksi terorisme. Mengenai tidak ada direktorat khusus di lembaga yang mengurusi hal itu meski telah ada regulasi, Irfan menjabarkan alasannya.
"Direktorat khusus memang tak ada. Tapi ada yang mengurusi. Deputi II Bidang Pembinaan Kemampuan," ujarnya.
Irfan tak merinci lebih lanjut program apa yang telah dilakukan BNPT terhadap para korban, misalnya para korban teror serangan Thamrin di Jakarta pertengahan Januari lalu.
"Saya tak hafal persis, tapi adalah programnya," ujar Irfan.
Tak semua ditangani
Penanganan para korban aksi terorisme memang menjadi perhatian menyusul serangan teror di Jalan Thamrin. Ketika itu, puluhan orang tak bersalah menjadi korban, baik yang meninggal dunia ataupun luka-luka.
Meski begitu, tak semua korban lantas ditangani pemerintah. Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hanya tujuh orang yang kini mendapat jaminan bantuan medis dan rehabilitasi psikologis, dari sebelumnya sembilan yang mendaftar.
"Dua lainnya mengundurkan diri," kata Wakil Ketua LPSK Lies Suryani.
Adapun ketujuh korban itu berada dalam jaminan perlindungan LPSK setelah mengajukan permohonan bantuan.
Terkait prosedur perlindungan yang harus didahului permohonan, Hasibullah berharap lembaga-lembaga pemerintah seperti LPSK lebih proaktif.
"Sayang juga LPSK yang sudah punya kewenangan tapi tak banyak membantu," ujarnya.
"Mudah-mudahan payung hukum baru nanti (revisi UU Antiterorisme) bisa memenuhi hak-hak korban dan mengintegrasikan lembaga-lembaga yang berwenang," ujar Hasibullah.
Belum jelas apakah revisi UU Antiterorisme bakal memuat secara detail penanganan korban terorisme, seperti desakan Hasibullah.
Pasalnya, pemerintah hingga kini masih belum mempublikasikan detail draf revisi UU itu. Nasir Djamil, anggota komisi hukum yang bakal membahas revisi pun tak bisa memerinci.
"Pemerintah belum menyerahkan kepada DPR," ujarnya.
"Tapi mudah-mudahan saja draf itu nantinya bicara komprehensif, termasuk soal penanganan korban."