Pemerintah Didesak Batalkan Pungutan Dana Ketahanan Energi

Arie Firdaus
2016.01.05
Jakarta
bbm-1000 Seorang petugas pom bensin sedang melayani konsumen di sebuah pom bensin di Jakarta, 4 Mei 2015.
AFP

Setelah dikecam berbagai kalangan, pemerintah akhirnya menunda pelaksanaan pungutan dana ketahanan energi yang dihimpun dari nilai jual per liter bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat.

Awalnya pungutan itu mulai diberlakukan bersamaan dengan penurunan harga BBM, yang resmi diberlakukan sejak Senin 4 Januari pukul 00.00 WIB.

Dalam beleid tersebut, pemerintah berniat membebankan dana ketahanan energi sebesar Rp200 per liter untuk jenis bahan bakar premium dan Rp300 per liter solar.

Premium yang memiliki harga keekonomian sebesar Rp6.950 per liter, akan dijual Rp7.150 per liter untuk wilayah di luar Jawa-Madura-Bali. Sedangkan untuk kawasan Jawa-Madura-Bali, lebih mahal Rp100 per liternya. Adapun solar yang memiliki harga keekonomian Rp5.650 per liter, akan dijual Rp5.950 per liter.

Dengan adaanya penundaan tersebut, harga jual baru premium di luar Jawa-Madura-Bali kemudian ditetapkan Rp6.950 per liter, dari sebelumnya Rp7.300. Daerah Jawa-Madura-Bali dijual sebesar Rp7.050, dari sebelumnya Rp7.400. Sedangkan solar menjadi Rp5.750 per liter dari sebelumnya Rp6.700.

Meski telah menunda pelaksanaan kebijakan itu, pemerintah masih tetap menuai kecaman. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan pemerintah seharusnya tak cuma menunda pelaksanaan kebijakan tersebut, melainkan membatalkannya.

"Karena masalah pembiayaan ketahanan energi bukan tanggung jawab masyarakat," ujarnya kepada BeritaBenar, Selasa.

Apalagi, kata Tulus, dengan mekanisme tak jelas, dana itu berpotensi diselewengkan. "Potensinya besar. Jadi, seharusnya dibatalkan saja," harapnya.

Pendapat tak jauh berbeda disampaikan pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy. Menurutnya, pungutan seharusnya lebih tepat dibebankan kepada kontraktor-kontraktor sebagai kompensasi kerusakan alam akibat eksplorasi yang mereka lakukan.

"Bukan dipungut dari rakyat," tegasnya saat dihubungi BeritaBenar, Selasa siang.

"Kalau begini, menunjukkan bahwa pemerintah enggak simpatik kepada rakyat. Padahal, kan, harga minyak dunia tengah turun. Ini, kok, malah menambah beban rakyat," ujarnya lagi.

Dewan Energi Nasional sepakat dengan keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan kebijakan itu, tetapi bukan membatalkannya. Seorang anggota Dewan Energi Nasional, Tumiran, menyebutkan dana ketahanan energi diperlukan. Hanya saja harus didasari regulasi yang ketat dan jelas.

"Harus disusun dulu aturannya," kata Tumiran kepada BeritaBenar. "Saya setuju jika aturan ini akhirnya ditunda."

Usai rapat kabinet

Penundaan pelaksanaan kebijakan ini diputus pemerintah setelah menggelar rapat kabinet terbatas, Senin 4 Januari. Dalam pernyataannya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan bahwa penundaan diambil karena pemerintah ingin menyiapkan regulasi yang kuat.

"Baik berupa landasan hukum, persiapan kelembagaan, mekanisme penghimpunan maupun pemanfaatan," katanya seperti dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM.

Menurut Sudirman, keberadaan dana ketahanan energi diperlukan guna menjamin pasokan energi di masa mendatang. Bahkan, lanjutnya, negara-negara kaya minyak pun menetapkannya.

Dia menyontohkan Norwegia yang memiliki dana ketahanan energi senilai US$ 17 miliar, ditambah Petroleum Fund US$ 836 miliar. Inggris dan Australia yang masing-masing memiliki dana bantalan sebesar US$1,5 miliar dan US$1,8 miliar.

“Bahkan Timor Leste, negara tetangga yang jauh lebih kecil dan belum lama membangun sektor energinya, telah mengakumulasi Petroleum Fund sampai US$ 17 miliar,” tutur Sudirman lagi.

Berpijak pada dua aturan

Sebelumnya, dalam pertimbangan aturan dana ketahanan energi, pemerintah berpijak pada Pasal 29 dan 30 Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Penelitian dan Pengembangan Energi dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Kedua pasal di UU 30 tahun 2007 menyebutkan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diutamakan untuk energi baru dan terbarukan, demi kemandirian industri energi nasional.

Pendanaan kegiatan itu difasilitasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang antara lain bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan dana swasta. Untuk dana bersumber dari APBN dan APBD, dana diambil dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.

Sedangkan PP Nomor 79 tahun 2014 menyebutkan alokasi dana pengembangan dan penguatan infrastruktur energi yang memadai didukung oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah, lewat peran perbankan nasional.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.