Pemberontak Karen Belajar Keberhasilan Perdamaian Aceh

Nurdin Hasan
2016.02.18
Banda Aceh
160218_ID_Karen_1000 Suasana pertemuan antara delegasi pejuang Karen, Myanmar, dengan sejumlah wartawan senior Aceh di Banda Aceh, 17 Februari 2016.
Photo: Benar

Sebanyak 15 orang pemberontak etnis Karen, Myanmar, berada di Aceh selama sepekan untuk belajar keberhasilan perdamaian yang telah dicapai 10 tahun lalu di provinsi paling barat Indonesia itu.

Selama di Aceh pada 14 hingga 20 Februari 2016, tiga kelompok etnik bersenjata Karen bertemu berbagai elemen seperti akademisi, pejabat pemerintah, mantan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), politisi lokal, aktivis masyarakat sipil dan wartawan.

Ketiga kelompok tersebut ialah Karen National Union/Karen National Liberation Army (KNU/KNLA), Democratic Karen Benevolent Army (DKBA), dan Karen National Union/Karen National Liberation Army Peace Council (KNU/KNLA PC).

Pemimpin delegasi pejuang Karen, Issac Po ketika diwawancara BeritaBenar usai mengadakan pertemuan dengan sejumlah wartawan senior, Rabu sore 18 Februari 2016, menyebutkan pihaknya banyak mendapatkan pengalaman selama berada di Aceh.

“Keberhasilan perdamaian di Aceh bisa jadi contoh untuk diterapkan di wilayah kami. Tentu harus disesuaikan dengan kondisi daerah kami. Misalnya mengenai partai politik lokal, itu sangat menarik dan mungkin dapat didiskusikan ketika kami melakukan pembicaraan politik,” katanya.

Dalam pertemuan dengan jurnalis itu, beberapa wartawan menceritakan tentang pengalaman mereka saat meliput konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dan gerilyawan GAM, yang menempatkan wartawan dalam posisi dilematis.

“Kami harus benar-benar independen dalam memberitakan konflik karena kalau memihak pada salah satu pihak yang bertikai, maka pihak lain akan marah,” kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Tarmilin Usman.

“Ketika itu, media selalu mendorong perlunya penyelesaian konflik bersenjata di Aceh melalui dialog. Sedikit saja ada peluang dialog antara pihak bertikai, media menempatkan sebagai berita utama.”

Gencatan senjata

Pemerintah Myanmar (negara yang sebelumnya dikenal dengan sebutan  Burma) telah menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan delapan kelompok gerilyawan pada Oktober 2015 lalu, termasuk dengan pemberontak etnis Karen.

Perang antara pemberontak Karen dan pemerintah Myanmar yang berlangsung selama lebih dari 60 tahun disebut-sebut sebagai salah satu perang terlama di dunia.

Sejauh ini, gencatan senjata antara pasukan pemerintah dan pemberontak Karen berjalan cukup baik.

“Kami mematuhi kesepakatan gencatan senjata dan tidak pernah terjadi kontak senjata dengan tentara Myanmar,” ujar Isaac. “Betul seperti dikatakan beberapa pihak di Aceh bahwa penyelesaian konflik harus lewat perundingan dan dialog.”

Ia menambahkan bahwa misi kunjungan kelompok pejuang Karen adalah untuk belajar dan memahami proses perdamaian di Aceh. Selain itu, mereka ingin mengetahui apa saja tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan perdamaian berkelanjutan.

“Kami juga ingin mengetahui bagaimana pengalaman kelompok gerilyawan GAM bertransformasi dari pejuang kemerdekaan bersenjata sampai menjabat posisi-posisi penting di pemerintahan,” tutur Isaac.

“Memang jalan kami untuk mewujudkan perdamaian yang sesungguhnya masih sangat panjang, tapi kami optimis dapat menggapainya asalkan seperti dikatakan beberapa pihak di sini bahwa semua pihak tak saling mengkhianati,” tegasnya.

Menurut Isaac, meski tak ada yang memediasi seperti perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM, gencatan senjata di Myanmar terjadi karena ada perubahan politik dari penguasa junta militer yang berkuasa lebih dari 50 tahun, ke pemerintahan demokratis.

Kemenangan partai sipil Liga Nasional Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi dalam Pemilu 2015 diyakini semakin membuka jalan bagi Myanmar menuju pemerintahan demokratis. Namun demikian, pengaruh militer masih kuat, karena berdasarkan konstitusi seperempat jatah kursi parlemen diperuntukkan bagi militer.

Indonesia seperti juga Myanmar sempat mengalami pemerintahan authoritarian, dimana militer menguasai dan mengeksploitasi aspek politik, ekonomi dan sosial pada 32 tahun pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Bertemu Wali Nanggroe Aceh

Kunjungan delegasi Karen ke Aceh difasilitasi oleh Center for Peace and Conflict Studies (CPCS) yang bekerjasama dengan lembaga riset International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS). ICAIOS ialah lembaga riset berpusat di Aceh di bawah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry dan Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe.

ICAOS dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar menjelaskan bahwa delegasi Karen telah bertemu Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar hari Selasa. Wali Nanggroe ialah jabatan adat dan dianggap tokoh pemersatu di Aceh.

Pada pertemuan itu, Malik memaparkan panjang lebar tentang perjuangan GAM dan proses perundingan dengan pemerintah Indonesia yang dimulai sejak tahun 1999. Tetapi beberapa kesepakatan selalu gagal diimplementasikan di lapangan karena berbagai pihak tak saling percaya.

“Proses dialog tidak mulus, ada rintangan-rintangan. Hingga pada akhirnya baru terwujud pada 2005 melalui satu perundingan di Helsinki, Finlandia. Yang paling penting adalah adanya kepercayaan dari kedua belah pihak,” ujarnya.

Mantan Perdana Menteri Pemerintahan GAM di pengasingan itu menganjurkan kepada kelompok bersenjata di Myamar untuk mengikuti cara- cara melalui meja perundingan dan dialog.

“Dulu GAM berfikir tak ada solusi lain selain dengan berperang, namun ternyata ada harapan solusi lain yaitu melalui dialog yang membawa damai berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak,” katanya.

“Jika anda melakukan dialog, Anda akan mendapatkan dukungan dari rakyat dan juga komunitas internasional. Perdamaian bukan hanya untuk kelompok Karen tapi juga untuk rakyat Anda,” tambah Malik.

Delegasi suku Karen juga mengadakan pertemuan dengan pengurus Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA), dua partai politik lokal yang didirikan oleh bekas gerilyawan GAM, untuk memperoleh masukan tentang bagaimana caranya mantan pemberontak yang memanggul senjata bertransformasi ke jalur politik.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.