Pemberian Amnesti Din Minimi dan Kelompoknya Tuai Kontroversi
2016.01.08
Banda Aceh
Rencana Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang akan memberikan amnesti kepada Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi dan kelompoknya mulai menuai kontroversi karena kebijakan itu dianggap dapat membahayakan penegakan hukum di Aceh.
Seorang anggota Komisi III DPR RI, M. Nasir Djamil menyatakan, amnesti merupakan hak istimewa presiden yang biasanya diberikan kepada para pemberontak untuk misi perdamaian seperti pernah diberikan bagi gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005.
“Sedangkan kelompok bersenjata Din Minimi tidak melakukan makar dan tak terkait politik atau kegiatan separatisme. Kapolda Aceh mengkategorikan mereka kelompok kriminal bersenjata,” kata Nasir kepada BeritaBenar di Banda Aceh, Jumat.
Din Minimi dan 120 anak buahnya menyerahkan diri kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso di Kabupaten Aceh Timur, 28 Desember. Mereka juga menyerahkan 15 pucuk senjata api dan amunisi.
Dalam keterangan kepada wartawan usai Din Minimi menyerahkan diri, Sutiyoso meyatakan bahwa Din Minimi dan kelompoknya bukan pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, tetapi mereka kecewa kepada elit GAM yang kini berada di Pemerintahan Aceh.
“Jika amnesti tetap diberikan (kepada Din Minimi dan kelompoknya), maka akan membuat wibawa penegakan hukum yang dilakukan Polda Aceh menjadi melorot di mata masyarakat,” ujar Nasir.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal daerah pemilihan Aceh itu menambahkan bahwa pemberian amnesti perlu pertimbangan DPR sebab menyangkut kepentingan nasional, terutama stabilitas politik dan keamanan.
“DPR masih menunggu alasan hukum dan politik Jokowi terkait pernyataannya yang akan memberikan amnesti untuk Din Minimi Cs,” tutur Nasir, seraya menambahkan DPR belum menerima surat dari presiden karena masih reses.
Munawar Liza Zainal, seorang anggota tim pendukung delegasi GAM saat berunding dengan pemerintah Indonesia di Helsinki pada 2005, mengatakan ia setuju presiden memberikan amnesti kepada Din Minimi dan anak buahnya.
“Tapi selama proses itu berjalan, Din Minimi hendaknya diserahkan ke polisi karena dia masih masuk daftar pencarian orang polisi. Ketika pengampunan presiden sudah dikeluarkan, baru Din Minimi bebas seperti biasa,” ujar Munawar.
Tidak ada dasar hukum
Seorang mantan narapidana politik (Napol) Aceh, Muhammad MTA menilai tidak ada dasar hukum memberikan amnesti pada Din Minimi dan anak buahnya karena keberadaan kelompok itu tak mengganggu stabilitas keamanan dan politik.
“Katakanlah melawan Pemerintah Aceh, apa buktinya. Tak ada bukti, kecuali mereka melakukan teror seperti pengeboman kantor gubernur, penembakan kantor camat, penembakan mobil-mobil pemerintahan. Ini kan tidak ada,” ujarnya.
Muhammad – yang pernah divonis 8 tahun penjara karena terlibat GAM, tapi hanya menjalani masa hukuman 1,5 tahun karena mendapat amnesti setelah terwujudnya perjanjian damai antara pemerintah dan GAM – menyebutkan fakta yang ditemukan polisi, Din Minimi dan kelompoknya melakukan teror, intimidasi dan penculikan yang meminta uang tembusan.
“Kalau bukan separatis, ngapain presiden memberikan amnesti kepada Din Minimi. Meski itu hak prerogatif presiden, tapi dasarnya apa?” tegas Muhammad, yang juga jurubicara tim pengawal Undang-undang Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki – perjanjian damai antara pemeritah dan GAM.
Mestinya, kata dia, BIN yang melakukan pendekatan “lembut” sehingga Din Minimi dan kelompoknya bersedia turun gunung menyerahkan mereka kepada polisi untuk diproses hukum.
“Kemudian negara dalam hal ini BIN bisa mengajukan pengurangan hukuman karena ada itikad baik mau menyerah. Tapi jika diberikan amnesti, bagaimana keadilan bagi para korban kelompok Din Minimi selama ini,” ujarnya.
Muhammad khawatir kalau presiden tidak hati-hati dalam menyikapi masalah ini, ke depan tak tertutup kemungkinan akan muncul kelompok bersenjata lain di Aceh yang mengaku mereka tidak senang pada Pemerintah Aceh.
“Apakah nanti presiden juga akan memberikan amnesti. Itu berbahaya. Untuk jangka panjang, itu sangat berbahaya bagi Aceh,” tegasnya.
Din Minimi yang diwawancara BeritaBenar, Rabu 6 Januari lalu, mempersilakan polisi memroses hukum terhadapnya karena “itu urusan polisi.” “Tapi bagaimana jika saya tuntut mereka karena telah menembak mati anak buah saya?” ujarnya.
Dia mengharapkan apa yang sudah terjadi untuk dilupakan. “Biarlah yang sudah lalu, berlalu saja. Sekarang mari sama-sama memikirkan bagaimana membangun Aceh ke arah lebih baik,” kata Dini Minimi.
YARA akan kawal
Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin menyebutkan, pihaknya akan mengawal proses pemberian amnesti untuk Din Minimi dan kelompoknya supaya “tidak ada hambatan karena langkah tersebut sebagai upaya menjaga perdamaian di Aceh.”
“Kami selaku pengacara Din Minimi akan mengawalnya. Bukan hanya soal amnesti, tapi juga enam tuntutan Din Minimi yang lain,” ujar Safaruddin kepada BeritaBenar.
Terkait 14 kasus tindakan kriminal bersenjata kelompok Din Minimi seperti disebut polisi, Safaruddin menyebutkan hal itu “wajar dilakukan untuk bertahan hidup.”
“Itu bukan hal baru karena GAM dulu juga melakukan hal sama. Malah lebih parah lagi apa yang dilakukan GAM. Misalnya tahun 1998, banyak suku Jawa yang diusir dari Aceh,” tegas Safaruddin.
Menurutnya, langkah Presiden Jokowi melalui BIN dengan melakukan pendekatan lembut terhadap Din Minimi dan kelompoknya sudah tepat dan patut diapresiasi.
“GAM awalnya kecil, tapi terus bertambah. Kelompok Din Mimini mulanya juga kecil. Hanya 10 orang dengan empat pucuk senjata, tapi sekarang sudah lebih 100 orang meski terus diburu aparat keamanan,” katanya.
Terkait polisi yang akan memproses hukum Din Minimi dan kelompoknya, Safaruddin menyatakan, “Silakan saja. Tapi apa berani polisi melawan presiden?”