4 Anggota Kelompok Separatis Tewas dalam Baku Tembak Terbaru dengan Aparat
2020.03.16
Jakarta

Empat orang anggota kelompok separatis tewas dalam baku tembak terbaru dengan TNI/Polri akhir pekan lalu di Tembagapura, Papua, dalam konflik yang kembali memanas sejak akhir bulan lalu, yang menyebabkan ribuan warga masih mengungsi, demikian pejabat kepolisian, Senin (16/3/2020).
Sebanyak tiga pucuk senjata laras panjang dan beberapa senjata tajam diamankan aparat dari keempat orang yang tewas dalam kotak senjata yang terjadi di dekat lokasi wilayah pertambangan tembaga dan emas, PT Freeport Indonesia.
“Kontak tembak ini terjadi selama dua hari, pada Sabtu dan Minggu (14, 15 Maret 2020). Akibatnya, empat orang anggota KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) tewas,” kata Kabid Humas Kepolisian Daerah Papua, Kombes. Pol. Ahmad Musthofa Kamal.
KKB adalah sebutan yang kerap dipakai aparat kemanan bagi kelompok separatis.
Dalam kontak tembak yang terjadi di Kali Bua Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika itu, Ahmad menambahkan, senjata laras panjang yang berhasil diamankan aparat keamanan dari kelompok separatis disinyalir merupakan hasil rampasan dari dua penyerangan KKB ke Polsek Pirime pada tahun 2012 dan Pos Polisi Kulirik Puncak Jaya pada 2014.
Identitas keempat anggota kelompok separatis yang tewas adalah Pentium Muda Waker (45 tahun), Moni Waker (30), Lani Magai (30), dan seorang perempuan bernama Lera Magai (28).
Dalam rilisnya, sayap militer kelompok separatis, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), menyebut serangan aparat keamanan terjadi pada Minggu sekitar pukul 01.30 WITA di Pos Kali Bua, Tembagapura. Selain empat anggota yang tewas, dua lainnya dilaporkan terluka oleh tembakan peluru dari aparat.
“Kami umumkan duka nasional, atas tertembaknya empat anggota kami,” kata Komandan Operasi Umum TPNPB, Lekagak Telenggen, seraya menambahkan pihaknya bertanggung jawab atas segala hal baik dan buruk yang terjadi.
Baku tembak antara aparat keamanan dengan kelompok separatis di sekitar wilayah PT Freeport Indonesia terjadi sejak akhir Februari lalu.
Kejadian bermula saat TPNPB melakukan penyerangan terhadap mobil patroli dan pos polisi di wilayah tersebut. Seorang anggota Brimob, Doni Priyanto, tewas dalam serangan itu.
Sepekan kemudian, penyerangan kelompok separatis kembali terjadi di Pos Koramil, Kabupaten Mimika. Seorang anggota TNI, Sertu La Ongge, tewas.
Sejak insiden tersebut, aparat gabungan TNI/Polri mengerahkan 5.000 personel untuk memburu kelompok-kelompok separatis.
“Kami akan terus melakukan penegakkan hukum terhadap anggota KKB yang meresahkan warga,” kata Ahmad.
Sementara itu, Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengatakan operasional pertambangan tetap berjalan dengan normal dan tak terpengaruh insiden yang terjadi di sekitarnya.
“Sejauh ini tidak mengganggu produksi,” kata Riza lewat pesan singkat kepada BenarNews.
Warga masih mengungsi
Wakil Kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih, Letkol Inf. Dax Sianturi mengklaim situasi keamanan di Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, sudah berangsur kondusif.
“Kondisi di Tembagapura sudah aman dan tidak ada penambahan pasukan menyusul kontak senjata yang terjadi kemarin,” kata Dax lewat pesan singkat.
Kendati begitu, sebanyak 1.572 warga yang mengungsi karena ketakutan masih belum berani kembali ke rumah mereka. Saat ini, ribuan warga tersebut masih berada di beberapa lokasi pengungsian yang berada di Timika, sekitar 66 kilometer (km) dari Tembagapura.
Kapolda Papua, Irjen Paulus Waterpauw, ribuan warga yang mengungsi di antaranya berasal dari Kampung Waa Banti, Kampung Kimbeli, dan Kali Kabur.
Para warga ini menurut Waterpauw meninggalkan kampung mereka karena takut pada kelompok bersenjata yang mulai memasuki kawasan Tembagapura.
“Mereka punya pengalaman beberapa tahun yang lalu terutama kaum perempuan dan anak–anak, mereka mengalami kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata," kata Waterpauw kepada wartawan.
Odizeus Beanal, Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), mengatakan kekerasan bersenjata seperti ini bukan baru pertama kali terjadi di Tembagapura.
Menurutnya, sejak Oktober 2017 hingga April 2018 konflik bersenjata di lokasi yang sama juga menyebabkan gelombang pengungsian besar.
“Sebagian warga pendatang ini kemudian pulang ke kampung halaman mereka masing-masing setelah diungsikan sekian lama di Timika,” kata Odizeus.
Sejak Papua bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, konflik antara separatis dan militer terus mewarnai Papua. Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan sebagian warga melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Organisasi HAM menilai militer dan juga kelompok separatis bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM di wilayah itu.
Di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi”Widodo, pembangunan infrastruktur terus digenjot di wilayah yang kaya sumber daya alam namun penduduknya masih relatif miskin tersebut. Namun demikian, keengganan pemerintah dalam merespons kasus pelanggaran HAM di wilayah itu telah memicu tuntutan atas referendum penentuan nasib sendiri bagi warga Papua.