Polisi: Kelompok Separatis Papua Tembak Mati 4 Pekerja Bangunan, Sandera 4 Lainnya

Para gerilyawan kembali serukan warga pendatang tinggalkan kawasan konflik.
Ronna Nirmala
2021.06.25
Jakarta
Polisi: Kelompok Separatis Papua Tembak Mati 4 Pekerja Bangunan, Sandera 4 Lainnya Sejumlah aktivis asal Papua meneriakkan slogan dalam sebuah demonstrasi untuk melepaskan diri dari Indonesia di Jakarta, 1 Desember 2016.
Reuters

Kelompok separatis Papua diduga membunuh empat pekerja bangunan dan menyandera empat lainnya di Kabupaten Yahukimo dalam penyerangan yang melibatkan puluhan orang, demikian kata polisi pada Jumat (25/6), sementara Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menyerukan kepada warga pendatang untuk meninggalkan kawasan konflik wilayah timur Indonesia itu.

Penyerangan bermula pada Kamis siang saat kelompok bersenjata mengadang sebuah truk yang mengambil batu untuk proyek pembangunan jembatan di Kampung Samboga sebagai bagian dari proyek jalan Trans Papua, kata juru bicara Kepolisian Daerah Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal. 

Sopir truk kemudian memutar balik ke arah Kampung Bingky di kabupaten sama untuk mencari pertolongan dari sesama pekerja bangunan dan masyarakat setempat, yang kemudian dikejar oleh kelompok yang diduga anggota OPM, kata Kamal.

“Kemudian pukul 15.50 WIT, personel Polres Yahukimo mendapatkan informasi dari saksi mata AD bahwa telah terjadi penembakan terhadap warga Bingky,” kata Kamal dalam keterangan tertulis kepada BenarNews

Akibat penyerangan itu, empat pekerja bangunan proyek jembatan yang diidentifikasi sebagai Suardi, Sudarto, Idin, dan Saiful tewas, kata Kamal. Kepala Kampung Bingky, Obaja Nang, mengalami luka-luka akibat penganiayaan kelompok bersenjata.

Saksi mata mengatakan kepada petugas bahwa penyerangan dilakukan oleh sekitar 30 orang dengan menggunakan alat tajam berupa panah, kampak, parang, pedang katana, ujar Kamal. 

Terdapat juga dua militan yang membawa senjata api laras panjang dan terdengar dari sosok yang diduga pimpinan kelompok, Tendius Gwijangge alias Tendinus Murib, seruan untuk melaksanakan operasi, tulis pernyataan polisi.

“Tim kami sedang menuju ke sana, jaraknya cukup jauh dari pusat Kabupaten Yahukimo. Bisa empat jam perjalanan darat,” kata Kamal. 

Kepala Penerangan Militer Papua, Kol. I Gusti Nyoman Suriastawa, menyebut penyerangan sengaja dilakukan untuk menghambat jalannya pembangunan jembatan yang menjadi proyek perusahaan konstruksi swasta, PT Papua Crenoma. 

“Mereka ini kan teroris, yang tidak ingin Papua dibangun menjadi maju dan sejahtera serta menjadikan masyarakat sipil sebagai korban aksi-aksi terornya,” kata Suriastawa.

Sejak terbunuhnya kepala Badan Intelijen Daerah Papua, I Gusti Danny Nugraha Karya, pada April lalu di tangan pemberontak, pemerintah mengadakan perburuan atas kelompok separatis bersenjata dan melabeli mereka sebagai teroris.

Sebelumnya pada Desember 2018, kelompok OPM menembak mati setidaknya 20 pekerja yang sedang membangun jembatan proyek Trans Papua di Kabupaten Nduga. Sejak saat ini, konflik di Papua terus memanas.

‘Wilayah perang’

Sementara itu, sayap bersenjata OPM, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), kembali menyerukan kepada warga pendatang untuk segera meninggalkan kawasan konflik di Papua, tanpa menyinggung secara langsung insiden pembunuhan dan penyanderaan di Yahukimo 

“Sekali lagi kami sampaikan segera tinggalkan wilayah perang. Tukang bangunan kah, tukang ojek kah, segala macam. Segera tinggalkan wilayah perang terutama Puncak Papua, Intan Jaya, Ndugama, Yahukimo dan Pegunungan Bintang,” kata juru bicara TPNPB Sebby Sambom dalam pernyataan tertulis.

“Nyawa Anda tidak kami tanggung,” lanjutnya. 

Awal Juni, kelompok militan sama juga menyerukan warga pendatang untuk keluar daerah yang dilanda peperangan pasca-penembakan dua warga sipil di Ilaga, Kabupaten Puncak. TNI ketika itu merespons dengan menjamin keamanan dan keselamatan warga.

Namun, Sebby meminta warga untuk tidak begitu saja percaya dengan jaminan keamanan yang ditawarkan aparat keamanan.

“Anda jangan dengar perintah TNI/Polri mengatakan masyarakat sipil tidak jadi korban. Tidak ada jaminan. TNI/Polri tipu kamu, kalau kamu mati, keluargamu yang rugi,” ujarnya. 

Satuan Tugas (Satgas) Gabungan Nemangkawi ya ng ebrtugas memburu anggota kelompok separatis bersenjata di Papua mengatakan dalam periode 12 Mei-12 Juni 2021, telah menangkap 11 anggota kelompok militan Papua dan menewaskan empat lainnya. 

“Kelompok-kelompok teroris bersenjata di Papua sudah kami identifikasi, baik teror-teror yang mereka lakukan, jairngan kelompok, maupun lokasi kamp yang mereka tempati. Tinggal tunggu waktu saja,” kata juru bicara Satgas Nemangkawi Kombes M Iqbal Alqudussy dalam keterangan tertulis. 

Selain warga sipil, pada bulan lalu, seorang aparat kepolisian juga tewas dalam penyerangan dan perampasan tiga senjata api ke markas pos polisi di Kabupaten Pegunungan Bintang. 

Pertengahan Mei, dua prajurit, Prada Ardi Yudi Ardianto (21) dan Praka Alifnur Angkotasan (28) tewas diserang dengan senjata tajam saat melakukan pengamanan di Kabupaten Yahukimo. 

Kepolisian sebelumnya mengidentifikasikan empat kabupaten di Papua--Intan Jaya, Mimika, Puncak dan Nduga--sebagai wilayah paling rawan konflik karena kehadiran kelompok militan.  

Dialog penengah

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD, mengatakan pada akhir Mei bahwa konflik di Papua tidak bisa diselesaikan “dengan senjata dan letusan, tetapi dengan dialog demi kesejahteraan.”

Peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Pamungkas, mengatakan sebelum melakukan dialog, pemerintah perlu menghentikan operasi bersenjata mengejar kelompok separatis terlebih dahulu. 

“Situasinya sudah krisis di Intan Jaya, di Puncak, seharusnya pemerintah menghentikan operasi … kemudian melakukan jeda kemanusiaan, setelah itu baru dialog dengan kelompok-kelompok seperti TPNPB,” kata Cahyo melalui sambungan telepon. 

Cahyo mengatakan pemerintah saat ini masih jauh dari komitmennya untuk menunjukkan upaya berdialog dengan kelompok bersenjata di Papua.

“Yang dihadapi adalah kelompok yang ingin merdeka, dari awal harusnya yang dikirim juru runding bukan mengirimkan aparat keamanan,” katanya.  

Papua resmi jadi bagian dari Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 yang dianggap penuh kecurangan oleh kelompok pro-kemerdekaan dan aktivis hak asasi manusia karena hanya melibatkan sekitar 1.000-an warga yang telah ditentukan oleh pihak militer. Namun demikian, hasik Pepera itu diakui PBB.

Organisasi hak asasi manusia menilai baik aparat keamanan maupun kelompok separatis sama-sama melakukan pelanggaran HAM di wilayah itu dalam konflik yang telah berlangsung puluhan tahun.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.